Kata Menyatukan Kita
Oleh Sofiya Annadiya
Azura selalu terkagum saat memandang ke arah jendela. Langit, itu yang ia suka. Azura, ialah seorang gadis yang hidup dengan sejuta mimpi di dalam sebuah rumah berdinding tinggi. Azura merupakan gadis yang tumbuh di dalam keluarga berkecukupan, bahkan bisa dibilang sangat kaya. Namun sayangnya Azura tuli dan bisu, sehingga ia merasa diacuhkan bahkan saat berada di rumah mewah tersebut.
Dalam kesehariannya, Azura selalu membawa sebuah buku dan pena untuk berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Kedua orang tua Azura selalu mengacuhkannya karena merasa tidak ada yang bisa diharapkan dari gadis tuli dan bisu tersebut. Sementara kakaknya mungkin saja malu mempunyai adik seperti itu.
Karena Azura kesepian, setiap sore ia selalu menghabiskan waktunya di taman dekat komplek perumahannya. Ia selalu datang untuk menceritakan indahnya langit. Karena ia sangat menyukai langit dan karena ia tidak bisa bicara maupun mendengar. Ia selalu menulis semua hal yang berhubungan tentang langit. “Langit itu tenang”, gumamnya dalam hati. Ia selalu tenang dan bebas saat memandang langit, karena ia merasa terkurung dirumahnya yang megah itu.
Suatu sore ketika ia duduk di taman, ia melihat seorang anak menggunakan bahasa isyarat saat berkomunikasi dengan ibunya. Azura yang tertarik melihat hal itupun menghampiri ibu dan anak itu. Ia pun duduk disamping anak itu, sambil menoel anak itu, lalu ia menulis “halo, namaku Azura”. Lalu anak itupun membaca tulisan Azura, dan membalasnya dengan bahasa isyarat. Namun, Azura tidak mengerti bahasa isyarat kemudian Azura memberikan kertas dan pena kepadanya supaya ia bisa menuliskan namanya. Kemudian anak itu membalas dengan menulis, “halo juga, namaku Aura”.
Seketika itu juga mata Azura berbinar karena nama mereka hampir sama. Mereka pun saling tersenyum. Tampak kebahagiaan dalam raut wajah kedua gadis yang baru berkenalan itu. Namun matahari tenggelam memisahkan kedua gadis tersebut. Sebelum berpisah, Azura kembali menulis “besok sore kita jumpa lagi ya!”, dan dibalas anggukan oleh Aura.
Azura pun pulang dengan hati yang gembira. Ia senang, karena ia mendapatkan kawan baru. Ia tak pernah punya kawan sebelumnya. Setelah sampai dirumah, agar pertemuan mereka besok menyenangkan, ia pun menulis banyak hal yang akan dia tanyakan kepada Aura di esok harinya, dan mempersiapkan kamera kesayangannya. Akhirnya, setelah lama ia hanya memandang langit, dan berbicara kepada langit melalui tatapan matanya, ia mempunyai kawan.
Ke-esokan harinya, mereka bertemu lagi di taman itu. Mereka duduk ber 2 berkomunikasi lewat tulisan-tulisan mereka. Mereka tertawa bersama saat membaca cerita-cerita yang mereka tulis. Kadang-kadang, mereka juga meneteskan air mata, ketika membayangkan kesedihan atau kegembiraan yang terdapat dalam tulisan tersebut. Namun, yang paling penting, mereka saling memahami satu sama lain tanpa perlu berkata-kata. Walau sulit berkomunikasi, mereka tetap bisa saling memahami dengan tulisan-tulisan mereka. Tidak lupa menjepret langit yang indah, dan juga mereka. Semakin lama, mereka semakin akrab hingga menjadi sahabat. Pertemanan yang indah. Tanpa kata, namun pertemanan ini nyata. Semakin lama, pertemanan mereka semakin kuat. Mereka menjadi sahabat yang setia, tanpa pernah mengungkapkan kata-kata. Mereka tahu, bahwa bahasa tak selalu harus diungkapkan dengan suara, kadang-kadang, bahasa bisa diungkapkan dengan tulisan, dengan tatapan, bahkan dengan senyuman.
Hari-hari pun berlanjut. Banyak langit senja yang menemani persahabatan mereka, jepretan indah wajah mereka, dan tulisan cerita-cerita mereka yang memenuhi satu buku khusus yang mereka punya. Meraka selalu mengabadikan momen mereka lewat tulisan kata yang tak bisa mereka ucapkan. Dengan lukisan lukisan indah tangan mereka, dan juga jepretan kamera tentunya.
Namun suatu sore, saat mereka duduk ber 2, langit gelap menemani mereka. Entah ada hal apa, namun langit itu mendukung pertemuan sedih mereka hari itu. Aura memberikan sebuah surat ke Azura. Surat itu berisi tentang Ayahnya yang dipindah tugaskan ke luar negeri. Seminggu lagi Aura akan pergi meninggalkan sahabatnya yang baru ia kenal itu. Tangis Azura pecah di tengah-tengah taman yang sunyi itu. Dia merasa kehilangan satu-satunya sahabat yang baru saja ia temukan. Aura, yang menjadi sumber kehangatan dan keceriaannya di masa-masa sepi, akan segera pergi meninggalkannya.
Mereka berdua duduk bersama di bawah langit yang kini gelap. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan mereka, hanya ada tangisan yang terputus-putus di antara mereka. Mereka merangkul satu sama lain dengan erat, seakan-akan mencoba untuk menahan waktu agar tidak berlalu terlalu cepat.
Setelah sore itu, Azura tetap duduk di taman. Namun, ia hanya duduk sendiri melihat langit tanpa Aura karena Aura harus mempersiapkan kepergiannya ke luar negeri. Hari yang sepi itu berlanjut hingga 1 hari sebelum keberangkatan Aura.
Satu hari sebelum keberangkatan Aura, Azura memberikan sebuah buku, sebuah lukisan, dan Alamat Azura, agar mereka bisa tetap berkomunikasi melalui surat. Begitupun Aura, memberikan sebuah buku, sebuah lukisan, dan gelang persahabatan. Buku yang masing-masing mereka berikan berisi tentang indahnya persahabatan mereka yang terjadi lewat kata yang ditorehkan melalui kertas. Sore itu mereka menangis karena harus berpisah. Langitpun mendukung sore itu walaupun hujan, tapi tetap ada senja yang indah menemani tangis mereka.
Setelah 4 tahun kemudian, keluarga Azura sudah menerima kekurangannya, dan kakaknya bangga memiliki adik sepertinya. Azura dan Aura tetap bersahabat. mereka berkomunikasi dengan baik melalui surat. Saat ini Azura sudah menjadi penulis terkenal. Dengan kemampuan menulisnya, ia berhasil menerbitkan beberapa judul buku. Sementara Aura sudah mempunyai galeri lukis karena hobinya. Dalam kekurangan mereka, mereka berhasil sukses dengan kertas dan pena.
Azura Bahagia dengan hidupnya sekarang. Berada disekitar orang-orang yang menyayanginya saja sudah cukup. Ia tak pernah merasa kesepian lagi. Langit selalu menemaninya kemanapun ia pergi. Ia selalu melangitkan semua tulisannya karena tak bisa bercerita. Pena dan kertas selalu menemaninya. Pena menuliskan semua hal yang menganggu pikirannya. Seluruh kejadian yang ada dihidupnya ia torehkan melalui pena. “Jika dipikir-pikir, sudah bisa menjadi novel”, gumamnya dalam hati.
Kata yang ia tulis berasal dari hatinya, diam tak selalu buruk, namun tulisan juga tak selalu baik. Ia bersyukur akan semua hal baik yang datang padanya. Kata yang tak bisa diucapkan bukan berarti menjadi penghalang kita dalam berkomunikasi. Kata bisa menyatukan kita. Kekurangan bisa menjadi kelebihan yang luar biasa apabila kita syukuri. Aura, terima kasih sudah menjadi sahabatku. Aku menyayangimu.
0 Komentar