Sadar oleh Putri Hidayanti Nasution


Sadar

Oleh Putri Hidayanti Nasution

Angin bertiup tenang seolah-olah tak ada keraguan yang mengguncang. Suara  aliran air makin terdengar di telinga. Suara nyanyian kodok pun menambah  kesempurnaan malam ini. Langit tengah bersedih menurunkan tetesan air hujan  yang tak deras. Siapakah aku? Aku yang benawat dan semenjana. Andaikata aku  tenggelam dalam mala, siapakan peduli? Aku menatap langit yang tak dihiasi  bintang, bertanya-tanya mengapa bintang tidak menemani langit disaat ia sedih?. Nenek berjalan ke arahku dan menatapku dengan lembut “sudah malam,  cepatlah tidur! Nenek tidak ingin kamu sakit. Jangan terlalu memikirkan sesuatu  yang membuatmu pusing!”. Aku menghela nafas “Anya hanya ingin menatap  langit nek”. Namaku Anya era yani, aku tinggal di desa bersama nenek. Kedua  orang tuaku meninggalkanku sejak kecil di sini. Bahkan sampai saat ini kedua  orang tuaku sama sekali tak mengunjungiku. Aku tak membenci mereka,  bagaimanapun mereka tetaplah orang tuaku. Tapi apakah mereka tak ingin  mengetahui keadaan anaknya di sini?. Nenek berdiri, melewati rintik hujan yang  turun. Memetik beberapa bunga dan dedaunan. Seperti biasa nenek akan  melakukan ritual malamnya. Aku sedikit bingung dengan nenek, setiap malam  nenek selalu bernyanyi dengan lirik yang sama sekali tak kumengerti. Aku sudah  17 tahun tinggal di Desa ini, desa yang mayoritasnya bersuku Jawa termasuk  nenekku. Aku paham sedikit tentang bahasa Jawa, tetapi aku tak paham dengan  lirik yang dinyanyikan oleh nenek. Semua orang menjauhiku karena sifatku yang  sombong dan keras kepala. Jujur sebenarnya aku sangat lembut dan sopan, tapi  entah mengapa setiap bertemu seseorang sifatku berubah. Seperti ada seseorang  yang menguasai tubuhku. Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya,  tetapi kali ini aku harus mencari tau penyebabnya. Di balik tirai aku melihat  nenek menari sambil bersenandung dengan lirik itu. Badanku seketika  bergemetar, jantungku berdetak lebih kencang. Ada apa ini? Aku mulai  merasakan seluruh tubuhku sakit. Perlahan aku berjalan mundur dan mencoba  untuk kembali ke kamar. Ada yang tidak beres! Nenek selalu melarangku untuk 

menari, padahal aku sangat suka menari dari kecil. Aku menarik selimutku dan  mencoba untuk tidur hingga akhirnya aku benar-benar terlelap.  

“Liluuu…liluuu….putri kecil liluuu”. Sinar matahari menembus jendela  kamarku, aku sedikit terganggu dengan cahayanya. Tetapi, aku lebih terganggu  dengan suara itu. Aku sangat mengenal suara itu, kali ini aku tidak salah, aku  memang mengenal suara itu. Aku menyibakkan selimut dan berlari mencari  suara itu. Tiba-tiba suara itu menghilang ketika aku mencoba mencarinya. Aku  berbalik dan mendapatkan sosok wanita paruhbaya beridiri tepat di belakangku.  “Hai sayang, siapa namamu?” ucapnya lembut kepadaku. Suara ini, suara ini  sepertinya aku tidak asing dengan suara ini. “namaku anya, bu”. Wanita itu  tersenyum “nama yang cantik, kalau begitu ibu pergi ya. Ada urusan yang perlu  ibu lakukan” ucapnya berjalan meninggalkanku. Aku segera kembali ke rumah  dan menceritakan kejadian tersebut kepada nenek, namun yang kudapatkan  amarah dari nenek karena berinteraksi dengan orang asing. Aku sudah  mengatakan pada nenek bahwa wajah dan suaranya tidak asing bagiku. Tetap  saja nenek memarahiku. Aku mengingat sesuatu, aku merasa tidak seperti anak  jahat, tetapi seperti gadis baik yang berbicara dengan sopan. Ya, hanya dengan  ibu itu. Aku yakin ibu itu berhubungan dengan sifatku selama ini. Aku mencari  ibu tersebut untuk bertanya tentang sesuatu. Lagi-lagi aku mendengar ibu itu  menyanyikan lagi Lilu Putri Kecilku. Aku melihatnya menyanyikan lagu itu  untuk menidurkan anaknya yang masih balita. Aku melangkah mendekati  mereka. “Ibu, sepertinya aku pernah mendengar lagu yang ibu nyanyikan.  Namun, aku lupa kapan aku mendengarnya. Lagu itu tidak asing di telingaku”.  Ibu itu menyergitkan dahinya “Aku hanya menyanyikan lagu ini saat anakku  berumur 7 tahun, tetapi dia sudah tidak ada saat ini. Risa adalah anak keduaku,  aku membawanya ikut bersamaku karena aku merindukan anak pertamaku yang  hilang di desa ini. Wajahnya sangat mirip denganmu” ibu itu menjelaskannya  kepadaku. Timbul pertanyaan dalam kepalaku, apakah aku anak kandung  mereka yang hilang? Ah, bagaimana mungkin? nenek bilang aku sudah  ditinggalkan sejak masih bayi sedangkan anak ibu ini hilang diumur 7 tahun. 

 

“Aku tau perasaan ibu sangat rindu pada anak ibu, tapi apakah aku boleh  bertanya satu hal?”. Baru saja aku ingin bertanya, namun nenek menarikku  terlebih dahulu “Sudah nenek katakan, jangan berbicara dengan orang asing  Anya!”. Aku terkejut melihat nenek datang dengan wajah yang tidak bersahabat.  Belum pernah aku melihat nenek semarah ini. Aku berusaha menjelaskan kepada  nenek bahwa aku hanya ingin mengobrol dengan ibu itu. Nenek tetap tidak mau  mendengarkanku dan menarik pergelangan tanganku dengan kuat. Ia  menyeretku di sepanjang jalan. Aku benar-benar tidak tahan, aku mendorong  nenek dan tidak sengaja menjatuhkan sebuah kantong hitam. Aku langsung  mengambilnya dan membukanya. Mataku membulat sempurna melihat ini isi  kantong hitam itu. Fotoku dengan ayah dan ibu, aku segera membakar kantong  tersebut. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap, aku melihat para warga lari ke  arahku untuk menolong. Sekilas aku melihat ibu paruhbaya itu menghampiriku  dengan wajah khawatir dan memanggilku dengan sebutan Lilu. “Lilu, ini ibu  nak! Bertahanlah ibu akan membawamu dari sini”. Tidak tau apa yang terjadi,  aku merasakan semua orang memanggil-manggil nama Lilu. Perlahan aku  membuka mataku, melihat sekeliling menatap gadis di sampingku dengan wajah  khawatir. Tidak ada yang bertanya tentang keadaanku, bahkan untuk melihatku  saja tidak ada. 

Aku melihat nenek menangis dan meminta maaf pada ibu  paruhbaya itu. Ternyata nenek setiap malam melakukan ritual untuk  memasukkan jiwaku dalam tubuh gadis di sampingku. Ya, dia anak ibu  paruhbaya itu yang bernama Lilu. Nyanyian itu, suara itu adalah ingatan dari  Lilu bukan diriku. Aku menyadari bahwa aku telah beda dunia dengan mereka.  Bukan orang tuaku yang tak ingin melihat kondisiku tetapi karena memang aku  yang telah tiada. Nenek mencuri seorang anak demi bisa bersamaku, nenek  sangat merindukan sosokku selama ini. Orang tuaku sering mengunjungiku,  namun selama ini aku tidak sadar bahwa orang terdekat masih bersamaku saat  ini. Aku berjalan ke arah jendela, langit kembali bersedih membuat suasana  hampa. Siapa yang mengetahui takdir? Hanya Tuhan yang tau. Kita tidak bisa  merubah takdir, setidaknya kita bisa merubah skenario hidup kita agar tidak  menyesal dikemudian hari. Bintang bukan tidak mau menemani langit ketika  bersedih, tetapi bintang hanya akan mempercantik langit ketika ia tersenyum.  Sekarang aku sadar, aku akan selalu sendiri, dan sendiri ditemani langit yang  sedang bersedih. 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar