Merangkai Kembali Sastra yang Terlupakan
Oleh Nur Aziza Muly
Di sebuah desa kecil yang terletak di lereng gunung, hiduplah seorang pemuda bernama Adika. Adika bukanlah pemuda biasa, ia memiliki minat yang besar terhadap dunia literasi dan sastra. Meskipun masih duduk di bangku SMA, Adika telah menunjukkan ketertarikannya pada budaya sastra sejak kecil. Adika tumbuh dalam keluarga yang mencintai budaya dan sastra. Ayahnya, Pak Slamet, adalah seorang guru Bahasa Indonesia Sekolah Dasar di desa tersebut, sedangkan ibunya, Bu Ani, seorang penenun songket. Kedua orangtuanya sering mengajak Adika untuk mendalami dongeng, legenda maupun cerita rakyat daerah. Sehingga Adika tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan cerita-cerita tradisional dan puisi lama. Adika belajar menghargai keindahan bahasa dan kearifan lokal melalui interaksi harian dengan keluarganya. Namun, di desa kecil tempat Adika tinggal, budaya literasi tidak begitu dihargai. Teman-temannya lebih tertarik pada aktivitas di luar seperti bermain di lapangan atau mengikuti trend terbaru, sehingga minat Adika terhadap literasi dan sastra dianggap aneh oleh mereka.
Meskipun begitu, Adika tidak pernah kehilangan semangatnya untuk mengeksplorasi dunia bahasa dan sastra. Suatu hari, ketika sedang membaca buku di perpustakaan desa, Adika menemukan sebuah buku tua tertimbun debu yang bersembunyi di sudut perpustakaan desa. Dengan penuh semangat, Adika membersihkan debu-debu yang menempel pada buku tersebut dan menemukan bahwa buku itu berisi kumpulan cerita-cerita tradisional. Adika tersenyum lebar karena menemukan harta karun itu, ia pun mulai menyelami halaman-halaman buku itu dengan penuh antusias. Ia terpesona oleh keindahan bahasa dan makna yang terkandung di dalam cerita-cerita itu. Diantara halaman-halaman itu, Adika menemukan catatan seorang penulis terkenal yang pernah tinggal di desa itu
puluhan tahun yang lalu. Penulis itu membagikan pengalamannya menulis dan mengekspresikan cinta dan kepeduliannya terhadap sastra.
Catatan itu menginspirasi Adika untuk mulai menulis cerita pendek tentang kehidupan di desanya. Ia mengekspresikan keindahan alam, kearifan lokal, dan nilai-nilai budaya yang diterapkan oleh penduduk desa. Setiap hari, setelah pulang sekolah Adika datang ke perpustakaan untuk meneliti buku itu lebih lanjut. Ia menulis cerita-cerita pendek dengan gaya bahasa yang lebih mudah dipahami oleh teman-temannya, karena Adika ingin membagikan kekayaan budaya dan sastra yang ia temui kepada orang-orang di sekitarnya. Meskipun diawali keraguan, Adika terus menulis dengan penuh semangat, percaya bahwa karyanya dapat membangkitkan minat akan budaya dan sastra di desanya.Tak lama sejak Adika menuliskan cerita pendek dan membagikannya, karya Adika mulai mendapat perhatian dari warga desa. Mereka terinspirasi oleh cerita-cerita Adika yang memperlihatkan kekayaan budaya mereka sendiri.
Penduduk desa yang awalnya skeptis terhadap literasi dan sastra mulai menghargai keindahan sastra dan budaya lokal mereka. Adika mendapat pujian dan penghargaan atas usahanya menulis cerita pendek karena mewujudkan dan mempertahankan keindahan budaya dan sastra Indonesia. Beberapa warga desa bahkan mulai menulis sendiri, membagikan cerita-cerita mereka kepada Adika untuk mendapatkan masukan dan saran. Sejak itu, Adika membentuk sebuah kelompok sastra dan seni yang aktif di desa mereka. Bersama-sama, mereka mengadakan berbagai kegiatan seperti menulis cerpen, diskusi sastra, dan pementasan seni. Dengan bantuan teknologi Adika berhasil mempublikasikan karya-karyanya secara online hingga menjangkau pembaca di berbagai penjuru dunia. Desa yang dulunya sepi dari kegiatan literasi, budaya, dan sastra, kini menjadi pusat perhatian. Desa ini diakui karena kekayaan budaya dan kreativitas sastranya.
Puncak dari perjuangan Adika adalah ketika sebuah festival sastra diadakan di desanya. Penulis-penulis dari berbagai daerah datang untuk berbagi karya dan pengalaman mereka. Desa itu dipenuhi dengan keceriaan dan semangat sastra yang mengalir begitu kuat. Adika duduk di antara para penulis tamu, menatap keindahan desanya yang sekarang begitu hidup dan dipenuhi dengan apresiasi terhadap budaya dan sastra. Dalam hatinya, ia merasa bahagia telah mewujudkan impian untuk membangkitkan budaya literasi di desanya. Setelah menyelesaikan pendidikan tingginya, Adika kembali ke desanya untuk mengabdikan diri sebagai seorang guru bahasa dan sastra. Ia ingin menginspirasi generasi muda desanya untuk mencintai dan melestarikan budaya dan sastra Indonesia. Setiap kali ia melihat wajah-wajah ceria mereka yang terinspirasi oleh cerita-cerita lama, Adika merasa upayanya telah membuahkan hasil. Budaya dan sastra hidup, berkembang dan terus berkembang di desa mereka. Berawal dari sebuah ceritanya yang sederhana, lahirlah sebuah jejak yang akan terus dikenang dalam sejarah budaya dan sastra desa itu.
0 Komentar