Arya dan Warisan Bahasa
Nelis Yanti
Nelis Yanti
Arya, seorang pemuda berusia 21 tahun, berdiri di depan sebuah rumah kayu tua yang tampak sunyi. Tidak ada lampu yang menyala, seolah rumah itu sudah lama tidak berpenghuni. Meskipun begitu, hati Arya dipenuhi harapan. Ini adalah satu satunya rumah yang ia temui sepanjang perjalanan menuju desa terpencil ini, tempat yang hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki selama berjam-jam. Di desa ini, Arya ingin melihat langsung kondisi pendidikan dan berharap bisa membantu.
Perjalanan panjang dan sunyi itu memberi banyak waktu untuk berpikir. Di tengah sepinya alam, pikiran melayang pada tujuan besarnya membawa ilmu dan harapan ke desa-desa terpencil, terutama dalam menjaga bahasa dan budaya yang kian tergerus zaman.
Sejak kecil, Arya di ajar untuk mencintai bahasa, tidak hanya bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa-bahasa daerah. Arya teringat pesan ibunya yang begitu berkesan. Ibunya sering menekankan, "Bahasa itu bukan hanya alat komunikasi, Nak. Itu adalah jati diri kita, warisan yang harus dijaga." Pesan itulah yang terus terngiang di benak, mengingatkan Arya akan pentingnya peran bahasa dalam kehidupan masyarakat. Hal itu yang membuatnya bertekad untuk mengembangkan pendidikan bahasa di desa-desa terpencil, agar generasi muda tidak melupakan akar budaya mereka.
Dengan rasa percaya diri, Arya mengetuk pintu kayu itu perlahan sambil mengucapkan salam, "Assalamualaikum..." Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih kuat, berharap seseorang mendengarnya. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dengan suara berderit. Seorang kakek tua dengan rambut putih dan tubuh kurus berdiri di depan pintu. Matanya penuh kerutan, tetapi di dalamnya terdapat ketenangan yang mengundang.
Nelis Yanti, Arya dan Warisan Bahasa
“Izin, Kek. Saya Arya, mahasiswa dari kota Yogyakarta. Saya datang ke desa ini untuk melihat kondisi pendidikan dan berbagi ilmu. Bolehkah saya mampir?” Arya menyalami tangan sang kakek dengan hormat.
Kakek itu tersenyum ramah. “Masuklah, Nak. Maaf kalau rumah kakek sederhana.”
Arya mengangguk dan masuk. Ruangan di dalam rumah itu terkesan sederhana, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian Arya. Rak-rak kayu memenuhi dinding, penuh dengan buku yang tersusun rapi. Buku-buku itu terlihat bersih dan terawat, meskipun beberapa tampak sudah tua dan usang.
“Kakek suka sekali membaca ya?” Arya memecah kesunyian sambil mengagumi koleksi buku di hadapannya.
Kakek itu tersenyum kecil. “Buku adalah jendela dunia, Nak. Walaupun hidup di desa, kakek percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa membawa kita ke mana saja.”
Arya mengangguk setuju, mengingat bagaimana buku-buku membantu dirinya belajar banyak hal saat ia terhambat dalam pendidikannya.
Kakek melanjutkan, “Namun, sayangnya, sekarang banyak anak yang lebih tertarik pada gawai dan teknologi modern. Mereka memang belajar banyak dari internet, tetapi mereka mulai melupakan hal yang paling dasar—membaca buku dan memahami bahasa kita sendiri. Kakek melihat banyak anak di sini yang lebih suka menonton video daripada membaca atau menulis.”
Arya berpikir sejenak, lalu menambahkan, “Benar, Kek. Sekarang banyak orang yang memilih berbicara bahasa asing, padahal bahasa Indonesia juga bisa memperkaya ilmu dan budaya kita. Malah, banyak karya sastra kita yang luar biasa, tetapi tak lagi dikenal oleh generasi muda.”
Nelis Yanti, Arya dan Warisan Bahasa
Kakek mengangguk setuju. “Benar sekali. Bahasa adalah identitas kita, dan tanpa menjaga bahasa, kita juga perlahan kehilangan jati diri sebagai bangsa.”
Arya mengangguk, tetapi seketika termenung, seperti memikirkan sesuatu.
Kakek yang menyadari perubahan ekspresi Arya bertanya dengan lembut, “Sepertinya kamu punya pengalaman pribadi tentang ini, Nak. Apa yang membuatmu begitu peduli dengan pendidikan dan bahasa?”
Pertanyaan itu membuat Arya mulai menceritakan tentang pengalamannya “Iya, Kek. Dahulu, ketika saya masih kecil, Ibu saya selalu menekankan pentingnya menjaga bahasa, bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang. Ibu saya adalah perempuan yang sangat mencintai bahasa,” ucapnya lirih mengenang sang ibu yang telah pergi.
“sebelum Ibu meninggal, ada satu pesan yang memotivasi saya untuk terus mengembangkan bahasa, di mana ibu saya selalu menekankan bahwa bahasa itu bukan hanya alat komunikasi, tetapi jati diri kita, dan warisan yang harus dijaga. Itulah yang memotivasi saya untuk terus mengajar dan menjaga bahasa.”
Arya tersenyum lagi, kali ini mengenang seorang kakek yang telah membawanya ke dunia pendidikan pada masa ia sulit mendapatkan pendidikan. "Waktu kecil, saya mengalami masa sulit dalam pendidikan. Hampir saja saya menyerah, tetapi ada seorang kakek yang datang ke desa kami. Beliau memberikan pelajaran kepada anak-anak tanpa meminta imbalan sedikit pun. Berkat beliau, saya dapat melanjutkan pendidikan hingga lulus SMA. Itulah alasan yang menguatkan saya untuk mau berbagi ilmu kek, mengajar dengan ikhlas seperti yang telah saya dapatkan pada waktu itu, dan ini semua murni dari hati saya kek.” ucapnya dengan senyum tulus dan terpancar keikhlasan di dalamnya
Nelis Yanti, Arya dan Warisan Bahasa
Kakek itu terharu mendengar cerita Arya. “Anak muda sepertimu jarang sekali ada saat ini. Banyak yang melupakan akar budaya dan bahasa mereka demi mengikuti tren luar negeri.”
Arya tersenyum. “Saya hanya ingin memberikan kontribusi, Kek. Saya ingin membantu anak-anak desa memahami betapa pentingnya menjaga bahasa dan budaya di tengah arus globalisasi.”
Kakek tersenyum memandang Arya yang begitu cerdas dalam menyikapi pendidikan di tengah arus globalisasi ini, mereka terus bercerita hingga tidak terasa malam pun tiba.
Malam itu, Arya menginap di rumah sang kakek. Meski sederhana, rumah itu memberikan rasa hangat dan aman.
Pagi-pagi sekali, sang kakek mengajak Arya berjalan kaki menuju sekolah satu satunya di desa tersebut. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara tentang masa lalu, tentang bagaimana desa ini dahulu lebih hidup, dengan anak-anak yang berlari-lari dan bermain di jalanan, berbicara dalam bahasa mereka sendiri tanpa malu.
“Sekarang banyak anak yang lebih suka berbahasa asing,” kata kakek dengan nada prihatin. “Kakek khawatir, lama-lama bahasa kita sendiri akan punah.”
Arya pun mengangguk dengan perasaan yang prihatin. Hingga tak terasa, mereka telah tiba di sebuah gedung yang disebut sebagai sekolah.
Sesampainya di sekolah, Arya merasa terkejut melihat kondisinya. Bangunannya sederhana, dengan cat yang mulai terkelupas di sana-sini, tetapi halaman dan ruang kelasnya sangat bersih. Hanya ada beberapa guru dan murid yang tampak di sana, tetapi semangat yang terpancar dari mereka membuat Arya terharu.
Nelis Yanti, Arya dan Warisan Bahasa
Setelah dipersilakan masuk ke ruang guru, Arya bertemu dengan kepala sekolah— seorang pria paruh baya dengan senyum ramah. Suasana ruangan itu sederhana, tetapi penuh kehangatan. Beberapa buku tersusun rapi di meja, menandakan dedikasi para guru meskipun dengan keterbatasan fasilitas.
“Kami jarang sekali kedatangan tamu dari luar, apalagi dari kota,” kepala sekolah membuka percakapan dengan nada bersahabat. “Apa yang membawamu ke desa ini, Nak?”
Arya tersenyum sopan, lalu memperkenalkan diri, “Perkenalkan, Pak. Saya Arya, mahasiswa dari Yogyakarta. Saya datang ke sini karena ingin melihat langsung keadaan pendidikan di desa ini.”
Kepala sekolah mengangguk. “Oh, mahasiswa dari Yogyakarta. Jauh sekali perjalananmu.”
Arya melanjutkan, “Sebenarnya Pak, saya sudah lama mendengar tentang desa ini. Saya tergerak untuk mengetahui bagaimana keadaan pendidikan di sini.” Ia menatap buku-buku di ruangan itu sejenak, sebelum melanjutkan, “Melihat semangat para guru dan anak-anak di sini, rasanya saya ingin ikut berkontribusi.”
Kepala sekolah tersenyum lebar, tampak terkesan dengan niat baik Arya. "Kami sangat menghargai niat baik darimu Nak. Pendidikan di sini memang membutuhkan banyak dukungan."
Merasa waktunya tepat, Arya melanjutkan dengan lebih serius, “saya ingin membantu mengajar di sini jika diperbolehkan pak. Saya percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk menjaga identitas bangsa, terutama dalam menghadapi globalisasi.”
Nelis Yanti, Arya dan Warisan Bahasa
Kepala sekolah mengangguk setuju. “Kamu benar. Oleh karena itu, kami selalu menekankan pentingnya bahasa Indonesia kepada para siswa, tetapi pengaruh global makin kuat. Kami membutuhkan lebih banyak anak muda seperti kamu yang peduli dengan pendidikan dan budaya.”
Arya tersenyum dan mengucapkan banyak terimakasih karena, niat baiknya di terima di desa ini.
Keesokan harinya, Arya pun mulai mengajar. Ia membimbing anak-anak desa dalam pelajaran bahasa Indonesia, mengajarkan mereka tentang kekayaan dan keindahan bahasa yang sering dianggap remeh. Ia menceritakan kepada mereka tentang pentingnya bahasa dalam menjaga identitas di tengah perubahan zaman.
Setiap hari, Arya melihat antusiasme anak-anak yang mulai memahami bahwa bahasa mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka. Anak-anak desa itu, yang awalnya malu berbicara dalam bahasa yang seharusnya, kini mulai bangga menggunakan bahasa mereka sendiri. Arya juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, cinta terhadap tanah air, dan betapa pentingnya menjaga warisan leluhur.
Kini tibalah sore yang begitu indah, dengan matahari yang tampak cantik menghiasi langit itu. Arya duduk bersama sang kakek di teras rumah. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang harapan agar generasi muda tidak melupakan akar budaya dan bahasa mereka. “Kakek yakin, dengan anak-anak muda sepertimu, masa depan bangsa ini akan lebih baik,” kata kakek sambil menepuk bahu Arya pelan.
Arya tersenyum, merasa lega bahwa misinya di desa ini berjalan dengan baik. Meski tantangan globalisasi begitu besar, ia percaya bahwa dengan pendidikan dan kecintaan pada bahasa, cita-cita bangsa akan tetap terwujud.
0 Komentar