Jejak Cerita Diujung Dunia - Fatimah Azzahra Ali


Jejak Cerita Diujung Dunia

Fatimah Azzahra Ali - SMAS IT MUTIARA

 Sorot mata lelah, menilik langkah kaki tak beraturan. Muda mudi menuju  masa emas. Ranah Pendidikan menjadi tujuan seseorang untuk sukses. Alam tak  lagi sama, perubahan demi perubahan terjadi. Kini menuntut ilmu tak se-kuno  dahulu. Jika di masa lampau kita menggunakan kertas dan pensil, berbeda hal  dengan sekarang. Globalisasi mendorong penuh terjadinya aktivitas yang tampak  baru bagi manusia dan lingkup pendidikan. Berbicara mengenai pengaruh global  dan teknologi tentu pasti terdapat hal baik maupun buruk. Sebagian orang  menyambut perubahan dan sebagian lagi, kaum tua, menolak keras. Banyaknya  kesenangan singkat dari efek globalisasi, para remaja mengalami kecanduan yang  abnormal. 

Berperan sebagai pengajar bahasa di sekolah menengah, menemukan  sedikit kendala merupakan hal biasa. Tugasku mengenalkan kepada anak didik  mengenai budaya lokal. Banyak cemooh terdengar, bukan hal tabu untuk di  acuhkan. Umumnya sebagian siswa menyapa ku dengan “Pagi, Buk bella.” Kala  saat aku mengajar dikelas, sebuah kebiasaan selalu aku terapkan, yaitu mencari  waktu untuk menghadirkan kisah kisah yang menarik tentang budaya local.  Melihat puluhan mimik wajah, hanya sedikit terlihat antusias. Kepala yang  tergeletak di meja sudah menggangap suaraku sebagai pengantar tidur.  

Melihat hal ini secara berulang kali, bisa dikatakan aku sedikit pesimis.  Aku banyak berpikir apakah cara mengajarku sangat membosankan atau semangat  yang aku perlihatkan kepada mereka kurang. Bahkan kurikulum sekarang lebih  menuntut untuk bahasa asing, mengabaikan budaya dan tradisi disekitar. Sekeras  apapun aku bersuara rasanya seperti teredam ditengah hiruk-pikuk desakan untuk  meladeni tren gblobal yang lebih menarik. 

Hari biasa dengan kegiatan biasa. Mencoba bersemangat. Aku memulai  kegiatan di kelas. Sesuai materi, lantang berbicara di depan kelas. Ketika mulai 

berbicara mengenai kulture yang terjadi dimasyarakat, aku menilik satu persatu  ekpresi dari muridku. Mereka terlihat sangat antusias, kupancing dengan  pertanyaan tentang film terbaru atau aplikasi yang sedang trend, wajah mereka  menunjukan binar yang penuh semangat. Namun, Ketika aku mencoba  mengalihkan perhatian mereka ke cerita cerita rakyat, seperti biasa mereka  langsung menguap. Seakan akan bisa menyedot seiisi dunia. Seram. 

Berpikir tiada henti, aku memikirkan cara apa yang dapat menjelaskan  bahwa budaya local juga punya daya tarik yang sama. Terlintas, mungkin bisa  dengan menceritakan kisah rakyat dengan gaya lebih modern atau  mengkaitkannya dengan sentuhan sentuhan pop, tentunya digemari para siswa.  Upaya telah banyak dicoba, aku pun merasakan frustasi saat melihat hilangnya  minat anak bangsa terhadap kisah kisah yang menjadi identitas kita. Sebagai  manusia awam, tentu aku akan merasa lelah dengan ini semua.  

Khalustiwa cup, kesempatanku untuk menjadi penanggung jawab. Terpikir  di benak untuk mengadakan lomba menulis cerita, tak berharap banyak setidaknya  ini bisa menjadi cara menarik perhatian siswa siwaku. Ambisi meluap luap, aku  mengajak mereka untuk berpastisipasi dalam hal ini dan mengekspresikan  kereativitas mereka dengan menulis dalam bahasa mereka sendiri. Ketika  mengumunkan lomba ini, gugupku sirna. Wajah wajah siswa bersinar karna rasa  penasaran. Mereka tampak tertarik membayangkan bagaimana cerita rakyat dapat  bersatu dengan unsur unsur yang mereka temui di kehidupan nyata. Memberikan  kebebasan berimajinasi aku harap meraka mendapatkan sesercah kenyataan dan  kebanggan dalam warisan budaya, sekaligus merasa senang dalam menulis.  

Lomba diadakan di dalam kelas. Suasana kelas terasa berbeda. Sebagai  penanggung jawab, aku pun mulai mengatakan detail mengenai lomba. Sedikit  wejangan dari ku, inspirasi bisa berasal dari keluarga, pengalaman pribadi bahkan  orang lain. Menangkap sebuah pergerakan, aku mendapati para peserta mulai  berdiskusi, tertawa dan saling berbagi ide. Respon dari mereka membuatku  merasa seolah olah ada kemenangan yang menunggu.

Selama tiga hari, para siswa diberi kesempatan untuk menyelesaikan  sebuah cerita. Kelas yang biasanya terasa seperti kasur kini berubah menjadi  ruangan penuh ide. Siswa siswa yang biasanya tampak acuh kini memperlihatkan  antusias. Waktu banyak berlalu, mereka seperti tak kenal Lelah. Berkeliling  melihat progress, aku bahagia ketika kertas kosong penuh dengan tulisan. 

Sangat terasa kesulitan yang dialami tapi aku yakin mereka akan  menyelesaikannya. Di penghujung lomba, kami mengadakan acara puncak untuk  membaca hasil karya siswa maupun siswi. Setumpuk kertas terdampar di mejaku,  dari penampilannya sudah usang, ini pertanda betapa berusahanya sang penulis.  Memahami setiap kata dan kalimat aku tahu, banyak hal yang dapat dijadikan  sebagai inspirasi, sangat kreatif. Ketika acara berakhir, suasana di kelas terasa  hangat, sendu dan penuh harapan. Siswa-siswaku tampak bangga dengan hasil  kerja keras mereka. Melihat tarikan manis di garis muka membuat semua usaha  dan rsa frustasi yang aku alami terasa berharga. Teringat Dimana aku mengalami  masa terpuruk dan khawatir. Kini, semua itu terasa seperti kenangan jauh yang  membentuk perjalananku. 

Acara telah usai, sudah waktu untuk beristirahat dalam tenangnya dunia.  Merenung sebuah hal, mungkin tidak semua perubahan harus ditolak dan ditakuti.  Globalisasi dan teknologi memang memiliki tantangan bisa juga menjadi jalan  kita menuju perubahan yang dimana genarasi dapat saling terhubungan dengan  budaya dan era modern.  

Aku sebagai seorang guru, tahu betul, banyak jalan untuk mengajak siswa  mencintai dan menghargai budaya lokal masih Panjang. Untuk saat ini, aku sudah  merasa sedikit optimis. Satu lomba menulis mungkin bukan solusi terkahir, tatpi  ini adalah Langkah awal yang sangat penting. Dan dalam waktu yang sangat lama,  aku merasa terlahir kembali dan teringat bagaimana aku sangat mencintai budaya  sendiri. Di Tengah segala kesulitan, ada harapan, dan itu membuatku bertekad  untuk terus berjuang.

Posting Komentar

0 Komentar