Bahasa Adalah Jati Diri - Putri Nurhafizah Az-Zahra

Bahasa Adalah Jati Diri 
Putri Nurhafizah Az-Zahra - SMAN 1 Tembilahan

    Pagi itu, matahari perlahan menyinari Desa Kembang Wangi, membangunkan embun yang masih menyelimuti dedaunan. Jaya duduk di tepi sungai, merenungi arus air yang tenang. Tempat ini selalu menjadi tempatnya melarikan diri dari kesibukan desa yang sederhana. Hidupnya terbagi antara sawah dan buku—sawah untuk membantu ayahnya mencari nafkah, dan buku untuk membuka wawasannya ke dunia luar. Sekolah Jaya di desa sebelah tak begitu megah. Kelasnya sempit, buku-bukunya usang, namun itu tak pernah membuatnya patah semangat. Bagi Jaya, ilmu tidak diukur dari megahnya gedung, tapi dari semangat belajar.

Jaya paling suka belajar bahasa. Baginya, bahasa adalah cara untuk merangkai cerita dan menjaga identitas. Ayahnya sering mengajarkan pentingnya bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan. “Bagaimana kalau suatu saat bahasa kita hilang di tengah globalisasi?” pikir Jaya sering kali.

Ketika gurunya mengumumkan lomba pidato tentang “Bahasa dan Peran Pemuda di Era Globalisasi”, Jaya merasa tema itu begitu dekat dengan dirinya. Tapi keraguan juga muncul.

Di sekolah, ia sering diejek karena kecintaannya pada buku. “Ngapain ikut lomba pidato, Jaya? Itu gak bikin kaya!” cemooh teman-temannya. Tapi Jaya tak pernah marah. Ia tahu mimpinya lebih besar daripada ejekan mereka.

    Suatu malam, ia berbicara dengan ayahnya, Pak Herman, seorang petani yang keras. “Ayah, menurut Ayah, aku pantas ikut lomba pidato? Aku takut kalah,” kata Jaya dengan nada ragu.

Pak Herman menatap Jaya dengan lembut. "Jaya, kemenangan bukan soal kepintaran, tapi keberanian. Ayah bangga padamu, apapun hasilnya, yang penting kamu mencoba."

Kata-kata itu memberi Jaya semangat baru. Setiap sore, setelah membantu di sawah, ia menulis pidato dengan hati-hati, terinspirasi dari perjuangan bangsa dan pentingnya menjaga bahasa. Ia tahu ini kesempatan untuk menyuarakan hal yang penting baginya—bahwa bahasa Indonesia harus tetap hidup meski dunia berubah.

Hari perlombaan tiba. Aula kabupaten dipenuhi siswa-siswa. Jaya tiba dengan seragam terbaiknya, meski sedikit lusuh. Di sana, ia bertemu Rian, siswa dari sekolah unggulan, yang mengejeknya, "Kamu pikir anak kampung bisa menang?"

    Jaya tak membalas, namun ejekan itu menusuk hatinya. Saat gilirannya tiba, ia naik ke panggung, menggenggam pidato erat-erat. Pandangannya menyapu aula, melihat teman-temannya, dan di belakang, ayahnya duduk mendukungnya. Dengan napas dalam, Jaya siap berbicara. Namun, saat ia membuka mulut untuk memulai pidato, tiba-tiba semua terasa kosong. Kata-kata yang telah ia susun dengan susah payah mendadak menghilang dari ingatannya. Tenggorokannya terasa kering, dan lidahnya seolah tak bisa bergerak. Suasana aula yang tadinya penuh suara tiba-tiba menjadi sunyi, semua orang menunggu dengan penuh antisipasi. Jaya bisa merasakan tatapan Rian yang penuh ejekan dari belakang panggung. Rasa panik mulai merayapi dirinya, membuatnya ingin menyerah dan melarikan diri.

    Jaya memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Ia teringat kembali saat-saat di tepi sungai, tempat ia menulis dan merenung. Ia teringat kata-kata ayahnya yang penuh kebijaksanaan, “Beranilah mencoba, apapun hasilnya, Ayah tetap bangga.” Kata-kata itu memberikan Jaya keberanian yang ia butuhkan. Dengan mata yang masih terpejam, Jaya mengumpulkan kembali keberaniannya. Saat ia membuka mata, perlahan-lahan kata-kata mulai kembali. Ia ingat tujuan utamanya berada di sini. Ia bukan hanya berbicara untuk memenangkan lomba, tetapi untuk menyampaikan pesan yang ia yakini. Jaya pun mulai berbicara dengan suara yang tenang namun mantap, suaranya menggema di seluruh aula. Ia berbicara tentang bagaimana globalisasi membawa perubahan besar bagi dunia, tetapi di tengah perubahan itu, bahasa Indonesia harus tetap dijaga.

“Bahasa adalah jati diri kita. Ketika kita kehilangan bahasa, kita kehilangan identitas sebagai bangsa,” tutur Jaya dengan penuh keyakinan.

    Ia melanjutkan pidatonya, menggambarkan bagaimana bahasa menjadi penghubung antar generasi, bagaimana bahasa adalah sarana untuk merawat kebudayaan. Di tengah globalisasi yang terus melaju, kita harus tetap menjaga warisan ini, agar tidak tergerus oleh zaman. Jaya melanjutkan pidatonya dengan semakin lancar. Ia mulai merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, di tengah laju kata-katanya yang mengalir, tiba-tiba pintu aula terbuka dengan keras. Semua mata, termasuk Jaya, menoleh ke arah suara tersebut. Seorang pria berjas rapi masuk dengan tergesa, diiringi beberapa orang yang tampaknya adalah panitia lomba. Pria itu mendekati dewan juri, berbisik singkat, lalu mengarahkan pandangannya ke arah Jaya. Pandangan tajam itu membuat Jaya sedikit terguncang. Dia berusaha mempertahankan fokusnya, tapi suasana mulai berubah.

Pria itu, yang ternyata adalah Pak Darto, seorang pejabat pendidikan di kabupaten tersebut, tiba-tiba menginterupsi. "Maaf, Jaya, bisa kita hentikan sebentar?" ucapnya dengan nada yang kaku.

Jaya, yang sudah mulai terbawa oleh aliran pidatonya, terdiam kaget. Sorak-sorai dan tepuk tangan dari penonton yang tadi sempat menggema perlahan memudar menjadi keheningan.

“Kenapa dihentikan, Pak?” tanya Jaya, sedikit bingung dan cemas.

Ia menoleh ke dewan juri yang tampak kebingungan dengan interupsi yang tiba-tiba ini. Beberapa guru juga mulai berbisik, tak mengerti situasi yang sedang terjadi.

Pak Darto menatap Jaya dengan tatapan tajam, lalu melirik naskah pidato yang ada di tangan Jaya. “Ada laporan bahwa naskah pidato ini bukan sepenuhnya buatanmu. Apakah benar kamu menulisnya sendiri?”

    Pertanyaan itu menghantam Jaya seperti pukulan keras. Ia terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Seluruh aula kini sunyi, menunggu jawabannya. Tuduhan itu begitu mendadak dan mengejutkan. Jaya menatap penonton, mencari dukungan, tapi semua tampak membisu. Bahkan ayahnya, yang duduk di baris belakang, tampak terkejut dan bingung.

“Aku... aku menulisnya sendiri, Pak,” jawab Jaya, suaranya bergetar. “Setiap kata dalam naskah ini aku tulis dengan tanganku sendiri. Aku tidak meniru atau meminta bantuan siapa pun.” Pak Darto menatapnya lekat-lekat, seolah mencoba membaca kebenaran di balik kata-kata Jaya.

    Namun sebelum pria itu bisa berkata lebih lanjut, seorang gadis berdiri dari barisan penonton. Gadis itu adalah Tika, salah satu peserta lain yang diam-diam mengagumi Jaya. "Pak, saya tidak percaya Jaya menyontek. Saya pernah melihatnya menulis di perpustakaan sekolah. Dia sering berjam-jam duduk di sana, menyusun kata-kata dengan sangat hati-hati." Tika menatap Jaya dengan penuh keyakinan, memberikan sedikit ketenangan pada hatinya yang sempat terguncang. Namun, meskipun dukungan Tika membuatnya merasa lebih baik, situasi tetap tegang. Di belakang panggung, Rian hanya tersenyum licik, seolah menikmati kekacauan yang terjadi. Ia tahu, dengan munculnya keraguan ini, peluang Jaya untuk menangkan semakin kecil.

    Pak Darto tampak ragu sejenak, namun ia tetap ingin menindaklanjuti tuduhannya. “Baik, jika benar kamu menulisnya sendiri, maka lanjutkan. Tapi ingat, kami akan memeriksa kembali naskahmu setelah ini.” Jaya mengangguk, meskipun hatinya masih terguncang. Pandangannya sempat bertemu dengan Rian, yang menyeringai seolah puas melihat Jaya dalam situasi yang sulit. Meski perasaannya campur aduk, Jaya memutuskan untuk tetap melanjutkan pidatonya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran dan hatinya yang sedang berkecamuk.

"Seperti yang saya katakan," lanjut Jaya, suaranya kini sedikit goyah tapi tetap berusaha tegar, "bahasa adalah jati diri kita. Jika kita kehilangan bahasa, kita kehilangan sebagian besar dari siapa diri kita sebagai bangsa."

    Namun, suasana yang sebelumnya penuh semangat mulai pudar. Jaya merasa setiap kata yang ia ucapkan seperti beban, seolah seluruh aula menunggu momen di mana ia akan tergelincir. Bayangan tuduhan tadi terus menghantui benaknya, membuatnya sulit berkonsentrasi. Tapi ia tahu, ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya. Jika ia berhenti sekarang, semua yang ia perjuangkan akan sia-sia. Sementara itu, di baris belakang, Pak Herman menatap anaknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu betapa besar impian Jaya untuk menunjukkan bahwa seorang anak desa seperti dirinya bisa meraih mimpi di tengah arus globalisasi. Dan sekarang, semuanya seperti di ambang kehancuran hanya karena sebuah tuduhan yang belum terbukti.

    Semua mata tertuju pada Jaya setelah pidatonya, tapi ia tetap berdiri tegak. Dengan suara yang penuh keyakinan, Jaya berkata, “Aku memang berasal dari desa, tapi mimpi dan keyakinanku tak dibatasi oleh tempat asal. Setiap kata dalam pidatoku adalah hasil dari kerja keras dan cintaku pada bahasa, jati diri bangsa kita. Jika kamu meragukanku karena aku anak desa, itu bukan masalahku, tapi cara pandangmu yang sempit.” Ruangan sejenak hening, lalu tepuk tangan mulai bergema, semakin lama semakin keras. Pak Karso yang menyaksikan dari sudut aula melangkah maju, “Jaya telah menunjukkan bahwa asal-usul bukanlah penghalang. Yang penting adalah semangat dan tekad untuk mempertahankan warisan bangsa.” Ayahnya, yang duduk di barisan belakang, berdiri dan menyeka matanya yang berkaca-kaca, penuh kebanggaan. Di antara sorak-sorai penonton, Pak Karso menepuk bahu Jaya dan berbisik, “Ini baru permulaan, Nak. Perjuanganmu baru saja dimulai.”

    Dengan senyum penuh syukur, Jaya menatap ke depan. Di tengah derasnya globalisasi, ia tahu satu hal pasti: bahasa bukan hanya alat komunikasi, tapi jiwa dan kebanggaan bangsa yang harus dijaga.

Posting Komentar

0 Komentar