Qayla Putri Maharani - SMAN 4 Pekanbaru
Di sebuah desa kecil di Riau, tepatnya di tepi Sungai Siak, Rafi selalu menatap dengan penuh harap bendera merah putih yang berkibar di depan rumahnya. Bendera itu selalu berkibar gagah, meski angin yang menerpa sering kali datang dengan kasar, membawa debu dan panas yang mencekik. Bagi Rafi, bendera itu bukan sekadar kain berwarna merah dan putih, tetapi simbol perjuangan yang diwariskan oleh kakeknya, seorang veteran perang kemerdekaan.
Rafi masih ingat cerita kakeknya tentang masa-masa sulit ketika Indonesia berjuang merebut kemerdekaan. Saat itu, semua orang bersatu, melawan penjajah dengan segala daya. Bendera merah putih menjadi simbol persatuan dan harapan. Namun, kini zaman sudah berubah. Desa mereka tak lagi hanya hidup dalam ruang lingkup lokal. Arus globalisasi merambah hingga ke sudut-sudut desa, membawa teknologi, budaya, dan pengaruh asing yang perlahan mengikis jati diri bangsa.
Suatu sore, di saat langit berwarna jingga kemerahan, Rafi duduk di tepi sungai bersama sahabatnya, Mira. Mereka berdiskusi tentang perubahan yang mereka rasakan di desa mereka. Anak-anak muda sekarang lebih sering menggunakan bahasa asing, terpengaruh oleh media sosial dan budaya luar. Bahkan, banyak yang merasa malu menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.
"Apakah kita mulai kehilangan identitas kita, Raf?" tanya Mira dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Rafi terdiam sejenak. Pertanyaan itu menggantung di udara, seolah bergaung di antara riak-riak kecil sungai yang tenang. Dia memandang ke arah bendera merah putih yang tetap tegak berdiri, meskipun kini tak lagi diperhatikan seperti dulu.
"Aku rasa, identitas itu ada di dalam hati kita. Bendera itu tidak akan pernah lelah berkibar, selama kita tidak lupa pada akar kita," jawab Rafi mantap. Mira tersenyum tipis. "Tapi, bagaimana caranya kita bisa tetap mempertahankan itu di tengah dunia yang semakin terbuka? Semuanya berubah begitu cepat." Rafi berdiri dan berjalan mendekati bendera yang berkibar di depan rumahnya.
"Aku tidak menolak globalisasi, Mira. Dunia memang berubah, dan kita tidak bisa menghindarinya. Tapi kita harus ingat bahwa di balik setiap perubahan, ada hal-hal yang tidak boleh hilang. Bahasa, budaya, sejarah, dan kebanggaan kita sebagai orang Indonesia. Bendera ini... dia tidak akan lelah berkibar selama kita masih mau mengingat apa yang dia wakili."
Mira mengangguk setuju. "Mungkin kita perlu mengajak yang lain juga untuk lebih menghargai apa yang kita miliki. Globalisasi bukan berarti melupakan asal-usul kita."
Hari demi hari, Rafi dan Mira mulai aktif mengadakan kegiatan di desanya. Mereka mengundang anak-anak muda untuk bergabung dalam diskusi tentang sejarah Indonesia, mengadakan lomba-lomba kebudayaan, dan menyemarakkan hari-hari besar nasional dengan penuh semangat. Mereka ingin menunjukkan bahwa meskipun globalisasi melanda, nilai-nilai luhur bangsa tetap bisa dijaga dan dilestarikan. Bendera merah putih yang selalu berkibar di depan rumah Rafi menjadi saksi bisu perubahan kecil namun berarti di desanya. Di tengah dunia yang semakin terbuka, Rafi percaya bahwa identitas bangsa tidak akan hilang selama ada orang-orang yang dengan tulus mempertahankannya.
Pada akhirnya, globalisasi bukanlah ancaman, melainkan kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia, dengan segala kekayaan budaya dan sejarahnya, masih teguh berdiri. Dan bendera merah putih, tak peduli seberapa kencang angin globalisasi bertiup, akan terus berkibar dengan gagah.
.....TAMAT....
.png)
0 Komentar