Meski Belakangan Bumi Agak Mengerikan - Nurul Khalisa

Meski Belakangan Bumi Agak Mengerikan
Nurul Khalisa - MAN 1 Kampar

    Bagi manusia yang bersinggah dan berkelana di dunia yang fana ini, hal terpenting adalah memberi asupan agar manusia tetap bernapas untuk melihat awan berlari-lari di puncak langit, dengan segala keinginan yang setinggi angkasa demi harapan yang tertanam itu. Meski belakangan ini bumi agak mengerikan, seharusnya manusia tidak pantas menyalahkan dirinya karena karsa milik kita harus tumbuh dan mekar. Begitu pun halnya dengan Aidan Bahtiar, ia termasuk manusia yang memiliki karsa dalam mewujudkan mimpinya. Aidan tumbuh dalam keluarga yang tidak berkecukupan. Ayahnya seorang petani yang bernama Bima Suryanto dan ibunya bernama Leni Aisyah, seorang pedagang kecil. Dengan penghasilan yang sekadar cukup, untuk bermimpi saja Aidan sudah tidak diperbolehkan, apalagi bercita-cita menjadi penulis. 

    Pernah suatu ketika, Ibu Aidan bertanya. “Kamu cita-citanya jadi apa?” Aidan tidak berkutik, ia terlihat bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. 

“Boleh tidak Bu, kalau Aidan tidak punya cita-cita?” “Kenapa gitu, Nak?

“Masalahnya Bu, di tengah globalisasi ini orang-orang yang punya pengaruh kuat selalu bersaing secara tidak sehat. Di era sekarang, orang-orang seperti Aidan selalu tidak dibiarkan untuk memiliki cita-cita”

“Nak, dari dulu penduduk bumi ini selalu melakukan persaingan. Kalau kamu tidak melakukan perlawanan, maka manusia kecil seperti kita akan selalu dibenci tanpa alasan. Ibu pernah baca kata-kata Thomas A Edison, ia bilang "Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi."

‟Jadi Sayang, kamu berhak mencoba tanpaperlu tergesa-gesa. Kamu bisa berjalan pelan-pelan karena ada keindahan yang tidak boleh kamu lewatkan di tengah jalan.” Nasehat dari ibunya membuat Aidan merasa mimpinya hidup kembali. Dengan semangat yang baru, ia mulai menulis aksara-aksara di atas kertas kosong untuk merangkai cerita demi mewujudkan cita-cita di era globalisasi. Ia ingin menunjukkan pada dunia, bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah alasan untuk tidak boleh bermimpi tinggi-tinggi.

    Dengan semangat baru yang semakin membara, setiap hari Aidan berjualan di sekolah sembari menghadapi komentar-komentar jahat manusia yang tidak punya nurani. Aidan sering menulis cerita-cerita pendek di sudut kelas dan terkadang membagikan kepada teman sekelasnya. Namun, setiap hari banyak kritikan pedas yang ia dapatkan.

“Eh, Aidan! Lagi nulis cerita tentang kehidupan anak petani ya?”

“Jangan terlalu berharap deh! Semua orang tahu kamu nggak ada harapan.”

“Tulisan-tulisan sampah!”

“Dengan tulisan jelek seperti itu, kamu cuma buang-buang waktu.”

“Lebih baik kamu tidur aja, itu yang paling cocok untuk orang kayak kamu!”

    Di balik kalimat-kalimat jahat itu, Aidan menemukan pelipur lara. Di antara banyaknya kritikan yang tidak membina, kekasih Aidan bernama Kalia menjadi satu-satunya obat paling ampuh dalam merawat lukanya.

“Kamu punya bakat, Aidan. Ceritamu bagus, bahasanya pun bagus. Suatu hari, mereka semua akan melihat betapa hebatnya kamu. Babe, jangan biarkan komentar orang lain bertamu di telingamu membentuk gagasan baru yang harus diterima. Manusia seindah kamu seharusnya tidak pantas berkelahi dengan kalimat jahat manusia yang tidak punya nurani.”

    Dukungan dari dua wanita yang ia cintai, Aidan tidak peduli meskipun satu semesta membenci aksaranya. Ia terus menulis tanpa kenal lelah. Hari demi hari berlalu, masa putih abu-abunya hampir habis. Dengan tekad yang kuat, Aidan berniat untuk melanjutkan mimpinya menjadi penulis. Tetapi lagi-lagi Aidan mendapat hambatan, tapi kali ini dari ayahnya sendiri.

“Ayah, Aidan ingin menjadi penulis,” ucapnya penuh harap.

“Nak, penulis itu penghasilannya gak tetap. Mending kamu mencari pekerjaan yang menjamin. Penulis itu dapat duit kalau tulisannya laku, kalau tidak terkenal maka tulisanmu hanya sia-sia.”

“Aidan akan berusaha semaksimal mungkin untuk itu.”

“Jangan membantah!” teriak Ayah dengan nada meninggi. “Kita bahkan tidak punya koneksi, Aidan. Jadi bagaimana mungkin tulisan kamu bakal dikenal orang.”

    Semantara Ibu tidak mampu menjadi penengah mendengar perdebatan mereka.

“Tapi Ayah, Aidan pasti bisa.”

“Berhenti bermimpi! Kau hanya membuang-buang waktu! Kalau kau terus bersikeras, silahkan buktikan kalau begitu!”

“OKEEE!!!” teriak Aidan penuh amarah sambil berjalan meninggalkan rumah.

“Nak, kamu pergi? Lalu Ibu bagaimana?” tahan ibu.

“Kan Ibu yang bilang kalau aku tidak melakukan perlawanan, maka manusia kecil seperti kita akan selalu dibenci tanpa alasan, jadi aku akan kembali seperti yang Ayah mau. Pokoknya Ibu janji harus tunggu aku kembali.”

    Setelah berpamitan dengan Ibu, Aidan keluar dari rumah. Ia merantau ke Pekanbaru sendirian bahkan tanpa memberi kabar pada siapa pun termasuk Kalia. Selama satu tahun ia pontang-panting kerja serabutan untuk membiayai hidupnya. Di samping itu, Kalia juga berusaha untuk mencari kabar tentang Aidan. Ia khawatir karena Aidan sekali pun tidak pernah menghubunginya. Setelah cukup lama, berkat bantuan dari orang-orang sekitarnya Kalia berhasil menemukan Aidan. Dengan mata berkaca-kaca ia melihat Aidan sedang bekerja menjadi kuli bangunan.

“Oh, jadi hidup seperti ini yang kamu pilih? Kamu bahkan tidak memberitahuku. Apakah kamu tidak menganggapku ada?”

“Ya gimana lagi? Aku tidak mau membuat kamu susah.”

“Setidaknya kita bisa cari solusinya bareng-bareng. Kamu tau nggak, Tsana si penulis itu pernah bilang, jangan jadi manusia sendirian, bareng-bareng! Jadi, ayo menjadi manusia yang saling membutuhkan, kalau tidak dengan orang lain, setidaknya sama aku.”

Berkat kedatangan Kalia, Aidan merasa lebih baik. Meski ia tetap bekerja serabutan, tetapi di samping itu ia masih menulis. Sementara Kalia membantu untuk membagikan tulisan-tulisan Aidan, mulai dari sosial media bahkan di dunia nyata. Setelah melewati perjalanan yang berliku, muncul satu email dari akun Kalia.

“Halo! Kami dari penerbit clover. Tulisan-tulisan ini cukup menarik, bolehkan kami untuk menerbitkan tulisan ini menjadi buku?”

    Tanpa panjang lebar Kalia langsung membalas email sambil kegirangan. Ia memberitahu Aidan kabar baik tersebut. Lelaki itu menatap Kalia dengan binar di matanya. Di antara tulisan Aidan yang dipublikasikan Kalia salah satunya tertera:

“Dalam hidup tidak ada yang salah dan tidak ada yang harus disalahkan. Lalu, mengapa orang-orang selalu menggunakan kata „semesta‟ untuk menyalahkan semuanya? Padahal, semesta tak mengerti apa-apa. Manusia saja yang sebenarnya mencari perkara ketika semesta bekerja. Kita hanya tidak pernah mengenal kata cukup dan selalu menginginkan hal lebih. Manusia kurang bersyukur dengan yang didapatkannya. Padahal, Tuhan telah memberikan yang terbaik.”

    Beberapa hari setelahnya, buku pertama Aidan dipinang oleh penerbit. Aksara-aksara tersebut berbuah manis pada akhirnya. Semangat yang selama ini ia pupuk memberikan hasil yang mengesankan. Buku Aidan menjadi bestseller hingga diadaptasi menjadi film. Disusul dengan buku-buku lain yang berhasil Aidan terbitkan. Aidan memutuskan kembali untuk membawa kabar gembira kepada keluarganya, ia akan menunjukkan pada Ayah buku-bukunya diterbitkan, ia ingin memberitahu Ibu bahwa manusia kecil seperti mereka tidak akan lagi dibenci tanpa alasan. Ia berjalan ke rumahnya bersama Kalia, namun tampak bendera putih bertengger di halaman rumahnya dan melihat kerumunan orang di sana tertunduk lesu. Dengan hati yang bergemuruh, ia masuk ke dalam rumah dan melihat Ayah sedang menangis histeris.

“Ayah,” panggil Aidan dengan suara bergetar.

“Ibu... Ibumu sudah berpulang, Nak.”

“Kenapa Ayah? Bukannya Ibu selama ini sehat-sehat saja?” tanya Aidan sembari memeluk Ibu.

“Kemarin bahkan Ibu juga baik-baik saja, tapi memang sudah ajalnya. Pagi tadi Ayah panggil Ibu berulang kali, tapi tenyata dia sudah tiada.”

    Kepergian Ibu membuat Aidan diam berhari-hari. Ia membiarkan buku-buku yang baru diterbitkan terbengkalai begitu saja. Dalam hati kecilnya ia ingin sekali marah, padahal Ibu sudah berjanji untuk menunggunya kembali. Tapi mungkin 5 tahun terlalu lama untuk Ibu. Kini semua mimpi yang ia kejar selama ini terasa sangat tidak berarti.

“Ayah, Aidan minta maaf ya. Harusnya Aidan menuruti permintaan Ayah. Harusnya...”

“Kita akhiri semuanya di sini ya, sudah cukup kita menyalahkan diri sendirinya. Mau sampai kapan kita tidak bisa berdamai dengan semesta, karena mau sampai kapan pun kita nggak akan pernah sempura.”

“Aidan salah ya Ayah mengejar mimpi Aidan?”

“Engga Sayang. Ayo kita sembuh bareng-bareng Aidan, sampai luka-luka tak kasat mata itu berhenti menikung dari dalam. Jangan sampai lupa ya kita ini juga manusia.”

    Oleh karena itu, manusia harus menyadari bahwa kelahirannya bukanlah kesalahan. Meski langkah kecilnya selalu terluka akibat kerikil tajam, kita mampu berdiri diatas kaki kita sendiri. Bahkan, meski belakangan ini bumi agak mengerikan, tolong hidup lebih lama. Lagi pula bumi bukan playlist lagu yang bisa diputar sesua selera. Selama nalar dan nurani masih menuju rute yang sama, doa-doa baik kita akan terus menyala. Semoga kita terus tumbuh dan mekar, semoga kesedihan-kesedihan yang tidak tahu jalan pulang itu menemukan sebuah rumah layak huni untuk rasa ketidakamanan kita selama ini.

Posting Komentar

0 Komentar