Bahasa Ibu Kota
Wulandari Simatupang - SMAS Plus Taruna Andalan
Denting suara sendok dan mangkuk yang beradu serta riuh kantin di pagi hari. Duduk berhadapan ditemani bakso panas dan es teh serta kerupuk yang menjadi pelengkap. Tak ada percakapan, keduanya sibuk dengan makanan masing-masing. Menyeruput kuah merah pekat akibat saus dan sambal membuat wajah memperlihatkan rona terbakar, bulir air pun turut membasahi pelipis.
“Minggu depan aku mau pindah ke Jakarta, Na.” Sontak nayanika mereka beradu tatap, denting sendok yang berhenti serta sorot mata sendu si pemberi kabar membuat gundah menyelimuti sekitar.
“Kok tiba-tiba, Nin? Kan kemarin kita baru saja membahas tentang lomba yang akan dilaksanakan bulan depan, padahal kamu juga sudah semangat banget mau jadi perwakilan sekolah.” protes Reina tidak terima. Mereka sudah memiliki rencana mengikuti lomba bahasa bulan depan, Anin yang akan mengikuti lomba pidato serta Reina yang akan mengikuti lomba baca puisi. Anindya Putri dan Reina Restupati merupakan sahabat seperti pada umumnya. Lahir di Pasir Pengaraian membuat mereka mengenal serta jatuh cinta pada sastra Melayu. Menorehkan tinta pada secarik kertas, kemudian mulai merangkai aksara menjadi bait penuh makna. Tidak sampai di situ, dengan kepribadian yang dimiliki membuat mereka berani untuk tampil di depan umum. Memiliki penghayatan yang sempurnanya, tak membuat rasa malu sedikit pun muncul dalam benak mereka.
“Ayahku pergi kerja lagi ke luar kota, Na. Kali ini, aku dan mama harus ikut,” suara Anin terdengar bergetar seiring bulir-bulir air keluar dari nayanikanya. Sangat berat baginya untuk meninggalkan kampung halaman setelah 16 tahun lamanya.
“Tetapi pada lomba bulan depan kita harus bertemu ya, Anin, aku akan datang ke Jakarta untuk memenangkan perlombaan itu dan juga menemui kamu.” Reina tidak henti-hentinya menggumamkan asa untuk dirinya dan Anin agar bertemu lagi, serta untuk lomba yang mereka elu-elukan sedari lama.
Satu minggu berlalu, mau tidak mau, suka tidak suka, Anin tetap pergi meninggalkan tempatnya dalam menanam masa kecil. Dipandangnya setiap sudut kampung halaman agar renjananya dapat sedikit terobati di kemudian hari. Kaki yang tergesa menuruni tangga membawa Anin menuju ruang makan. “Pagi Ma, Pa,” ucapnya setelah duduk. Ini sudah hari ke dua dia tinggal di Jakarta, dan merupakan hari pertamanya masuk ke sekolah baru.
“Cepat sarapannya, Anin, jangan lupa juga minum susunya. Ini hari pertama kamu masuk sekolah di sini jangan sampai terlambat!” ujar mama memberi arahan. Dengan celemek yang masih membalut tubuh, mama menghidangkan nasi dengan sayur asam dan ikan goreng serta susu yang rutin diminum setiap paginya. Kaki jenjang Anin memasuki halaman sekolah, menatap bangunan tiga lantai itu dengan takjub. Terlihat perbedaan yang kentara antara sekolah lama dan barunya. Tidak sulit bagi Anin untuk membaur dengar lingkungan sekitarnya, memiliki paras jelita dengan senyum yang dahayu juga kepribadian yang ramah membuat Anin dapat memiliki banyak teman dengan mudah.
Hal yang membuat Anin terkejut saat pindah ke Ibu Kota adalah pada bahasa yang digunakan oleh orang-orang di lingkungan sekitarnya sudah berbeda. Banyak bahasa gaul serta umpatan kasar yang bermunculan. “Hai, Anin,” sapa teman barunya. “Aku Fayazana, panggil saja Fay atau Faya.” Lanjutnya memperkenalkan diri. Faya adalah teman sebangku Anin, memiliki kepribadian yang ceria membantu Anin untuk berteman lebih dekat dengan Faya. Ternyata Faya juga suka bersastra. Tiba-tiba siswi yang duduk di hadapan Anin menoleh. “Hai Anin, aku Jessica.” Dengan senyum ramahnya Jessica memperkenalkan diri. Dia adalah sahabat Faya yang juga memiliki ketertarikan dalam dunia sastra.
“Anin, bagaimana kalau kita keliling sekolah? Supaya kamu mengenal sekolah kita lebih jauh lagi!” Dengan senyum cerahnya Faya mengajak Anin saat bel istirahat berbunyi. Sekolah ini cukup luas dengan 2 bangunan yang berdiri kokoh. Faya sibuk berceloteh dan terkadang ditanggapi oleh Jessica dan Anin selama mereka berkeliling, Anin juga turut aktif berbagi kisah mengenai kehidupannya di tanah Melayu. Pemberhentian terakhir mereka tertuju pada taman asri yang indah. Duduk pada kursi panjang di sudut taman dan menatap hamparan bunga chamomile yang tumbuh liar.
“Apakah di daerah asalmu masih berbicara menggunakan bahasa daerah Nin?” Bicara soal bahasa, rasa ingin tahu Jessica pun muncul.
“Terkadang Jes, jika mengobrol bersama ibu-ibu dan juga teman-teman asli dari Riau masih menggunakan bahasa Melayu. Tetapi kami juga menggunakan Bahasa Indonesia, terutama pada pendatang yang berasal dari daerah atau suku lain.” jelasku, diikuti anggukan tanda mengerti oleh mereka berdua.
“Bahasa remaja di sini sudah berubah pesat ya. Bahasa gaul yang tidak pantas bermunculan juga kata baku dan kalimat efektif yang tidak terdengar lagi,” ujar Anin mengenai prespektifnya terhadap remaja sekarang.
“Iya nih Nin, aku asli Cirebon yang menggunakan Bahasa Sunda saat di kampung halaman juga jadi tidak nyaman dengan perubahan bahasa remaja di sini. Padahal, Bahasa Indonesia itu alat pemersatu keberagaman bangsa. Tetapi mengalami perubahan signifikan, di mana sangat disayangkannya perubahan
tersebut banyak yang mengarah pada hal negatif, ya walaupun tidak semua.” ujar Faya menyampaikan semua keluh kesahnya.
“Oh ya Anin, sebentar lagi akan ada lomba bulan bahasa se-nasional. Kamu mau ikut tidak? Aku dan Jessica rencananya mau ikut lomba cipta puisi.” Seketika memori Anin membawanya pada janjinya dan Reina. Membuat sedikit lara singgah pada relung hatinya. Dia rindu Reina dan segalanya tentang mereka. “Aku juga sudah ada rencana untuk mengikut lomba pidato Fay, Jes.” aku pun memberi tahu.
“Wah, bagus dong. Nanti kita ajukan ke Bu Mila saja. Mulai minggu depan kita sudah mulai persiapan, Nin.” jelas Faya dengan mata berbinar. Hari-hari tersebut kini datang, lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan.
Aroma buku yang menguar selalu Anin hirup setiap harinya. Meja tidak kalah berantakan, penuh dengan buku referensi serta sumber yang menjadi topik pembahasan atas karya yang akan mereka buat. Berkutat dengan kertas dan pena, mereka sibuk merakit kata demi kata, menciptakan frasa yang indah penuh makna. Gencar mencari fakta-fakta yang konkret. Terbukti oleh data-data persentase dari sumber terpercaya. Berusaha merapikan untaian benang-benang kusut dikepala yang penuh dengan ide, fakta, alur, serta kata-kata yang ada kemudian menuangkannya dalam baris kalimat.
Latihan membaca juga dilakukan, tidak luput dari pengawasan Bu Mila sebagai guru pendamping. Anin yang sudah terbiasa dalam membaca pidato menuai banyak pujian dari guru maupun teman-temannya. Pembawaan yang khas serta intonasi yang jelas dan juga mimik wajah yang mendukung. Anin kini sudah menguasai banyak hal tentang berpidato. Topik yang diangkat Anin tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Dengan judul ‘Revolusi Bahasa Remaja’ Anin mengungkapkan perubahan yang dialami oleh Bahasa Indonesia, terutama dalam kalangan remaja. Dampak negatif dan positif pun turut Anin jabarkan. Mulai dari generasi penerus bangsa yang seharusnya, rendahnya kualitas sumber daya manusia, serta opini-opini juga ikut disertakan.
Dengan persiapan yang matang, perlombaan berjalan lancar. Suara Anin terdengar bergema di langit-langit Aula. Sorot matanya yang tajam menusuk kesadaran pendengar. Dengan lantang dia berucap, “Generasi muda harus memiliki kesadaran pada dirinya! apa yang akan terjadi jika penerus bangsa ini rusak? dari etika, pola pikir, kebiasaan, serta cara berbahasa masih banyak yang harus di perbaiki. Berbahasa, Bahasa Indonesia merupakan identitas kita sebagai bangsa Indonesia! Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai alat pemersatu suku bangsa.
Sudah banyak bahasa luar yang masuk ke dalam negeri ini! Bahasa Inggris yang sudah menjadi mata pelajaran wajib, Bahasa Korea dalam kalangan penggemar K-Pop, Bahasa Jepang bagi pecinta Wibu, dan masih banyak lagi. Saya sangat berharap bangsa Indonesia terutama generasi penerus negeri ini dapat melestarikan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Ditutup oleh kesimpulan dan salam, Anin telah menyelesaikan pidatonya tanpa hambatan. Seluruh peserta dari berbagai cabang perlombaan berkumpul di aula. Sedari tadi, fokus Anin terpecah, mata bundarnya sibuk melirik ke seluruh penjuru ruangan. Mencari sosok sahabat lama yang telah berjanji akan kedatangannya. Nama Anin terdengar lantang, di sambut oleh meriah tepuk tangan tanda selamat. Dengan jantung yang berdebar, Anin maju sembari merapalkan rasa syukur tanpa henti, menebarkan senyum andalannya kepada ribuan penonton yang berfokus padanya. Hingga pada cabang perlombaan selanjutnya, nama yang Anin tunggu terdengar lantang sebagai juara satu, Reina Restupati. Keduanya saling melemparkan senyum seolah tersirat sebuah makna di dalamnya. Mata Anin terasa panas, hendak menjatuhkan bulir-bulir air dari pelupuk matanya.
“Selamat Anin,” begitulah ucap Reina sebagai awal dari pembicaraan mereka.
“Selamat juga kepadamu Reina.” Balas Anin yang juga menjadi kalimat terakhir dalam pertemuan mereka.
Terkadang tutur kata menjadi gambaran pribadi seseorang. Bahasa ibu kota yang semakin terasa asing membuat Anin berprinsip, dirinya akan tetap menjaga Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia tetap tertanam dalam dirinya. Banyak penulis sastra yang menjadi inspirasinya. Menghasilkan ribuan karya berkualitas. Karya-karya yang penuh moral sebagai pengingat bangsa. Tidak melupakan Bahasa Indonesia sebagai identitas mereka.
0 Komentar