Gedubrak!
Sontak teman-temannya terpingkal-pingkal tak kenal adab kala si Acel "ketua komplotan, terjun bebas dari pohon mangga Pak Ahmad. Tengah hari di Kampung Rapuk terasa panas sekali, enam orang anak penuh kuman, keringat, dan bau matahari yang khas, mengembara disekitar wilayah‟ mereka. Mirisnya, enam sejoli itu berseliweran dengan lunglai, kering kerontang setelah diusir dari kedai Bik Enim.
Beberapa saat lalu, si Acel yang berlagak pintar menobatkan dirinya sendiri sebagai ketua dari kawanannya. Hal itu ia umumkan dengan memanjat sebuah kursi kayu dan berseru ria, entah apa yang dikatakannya tidak jelas, ia hanya menggebuk-gebuk dadanya seolah hebat, dan berkata “Mulai saat ini, akulah yang menjadi pemimpin kalian! Aku pintar dan cerdik, tampan dan berani, kalian semua pasti sejahtera kalau dipimpin olehku!” meyakinkan lima temannya yang lebih dungu. Mereka yang tidak tahu apa-apa hanya bisa bertepuk tangan dan bersorak ria, akhirnya mereka punya pemimpin.
Dan untuk merayakannya, si Acel memutuskan untuk mengajak teman-temannya, atau sekarang „anak buahnya‟ ke kedai Bik Enim disamping lapangan. Pecahlah gendang telinga satu kampung karena mereka, salah satu dari mereka bahkan menghamba relakan pundaknya rasa patah membopong si Acel. Katanya, mereka bebas mengambil apapun, sebanyak apapun, sepuasnya, asal mereka akui bahwa ia adalah pemimpin mereka. Meja Bik Enim lekas penuh akan belanjaan enam sejoli, mereka gendong semua jenis barang yang dijual seolah belanjaan mereka adalah bekal untuk setahun.
“Oh my God hello? Gak salah lihatkah mata mami? Belanjaan untuk siapa ini?” Bik Enim terkekeh geli, ia lekas tinggalkan cat kukunya yang belum kering, dibiarkan belepotan begitu saja dan memilih untuk menata seluruh belanjaan enam sejoli yang menggunung kedalam kresek besar. Empunya jawab dengan bangga bahwa semua ini adalah traktirannya, karna sekarang ia adalah bos‟ dari komplotan ini, Bik Enim hanya mengangguk-angguk saja.
Total ada enam kantong besar, pas sekali mereka ada berenam orang.
“Terima kasih, bro!” Ucap si topi miring, dramatisnya ia sujud syukur. Yang lainnya mengikut saja.
Sementara yang ditunggu-tunggu oleh Bik Enim tak kunjung sampai ke tangannya, ia panggil si Acel dengan bibirnya yang tak tahan berkedut.
“Hei konglomelarat, mana duitmu?” Yang dituju menyeringai, tertawa sepele dan merogoh kocek dicelananya, dikeluarkannya dua lembar kertas malang keabuan dan sisanya adalah koin-koin yang sepertinya ia temukan di jalanan.
Lihatlah rautnya yang bangga itu, siapapun tak akan segan memukulnya, sungguh, menyebalkan sekali, sudah hebat Bik Enim mau menerima si Acel ke kedainya. Bagaimana pula tidak cukup? Tengok saja angka-angka di koin-koin ini, besar sekali. “Ada yang dua ratus, ada yang delapan ratus, ada yang lima ratus pula. Saya yakin sekali saya bisa membeli kedai bibik dengan uang sebanyak ini.” Tiap kata yang keluar dari mulut kecil itu semakin yakinkan Bik Enim untuk layangkan tinju.
Tubuhnya yang besar mengejar enam sejoli bak gergasi dengan setangkai sapu lidi digenggamannya, yang dikejar berlari tunggang-langgang dan terpaksa meninggalkan sekantong hartanya. Mana si Acel tahu, ia tidak pandai berhitung. Dua menit terpontang-panting, sampailah mereka ke depan pintu gerbang Pak Ahmad, dengan kondisi kekeringan, pohon mangga yang tertanam subur dan sepertinya sedang panen tentu saja menguji iman diterik matahari yang menikam ubun-ubun.
Tanpa berlama-lama, enam sejoli itu mulai menyusun strategi. Dibuatnya sebuah lingkaran rangkul-merangkul saling menyampaikan usul, sementara warga lain hanya melihat mereka seperti sedang adu siapa yang paling bodoh. Kemudian semuanya berakhir dengan wajah si Acel yang penuh pasir dan tanah hitam. Sudahlah gagal menjadi dermawan, hajat memakan mangga pun berakhir jatuh terkapar, malang sekali. Olok „anak-anak buahnya‟ sukses cari perhatian satu kampung.
Kampung Rapuk terbilang ramai, mereka kenal dengan pasti siapa si Acel. Itu bukan namanya, „Acel‟ hanyalah julukan yang ia dapat setelah bermain bola dan memecahkan jendela mobil mewah punya orang kaya. Si kaya tersebut kemudian mengutuk bocah dengan ingus yang meleleh-leleh itu dengan suara melengking.
“Dasar anak celaka!” Pekiknya. baru kali itulah si Acel dianggap ada di kampung tersebut karena sebelumnya tidak ada yang perduli dengannya, walaupun dikenal dengan tidak baik. Jadi orang-orang harap maklum saja. Pasalnya di Kampung Rapuk ini belum tersedia pendidikan, hanya bagi mereka yang mampu saja untuk pergi ke kota, sisanya andalkan ajaran orang tua masing-masing.
Alhasil si Acel yang yatim piatu hanya bisa menggilir teras rumah siapa yang akan menjadi tempatnya malam ini. Teras favorit si Acel adalah teras Mak Ilam, karena setiap malam televisi dirumahnya ada acara yang menarik, si Acel sering sekali mengintip dari sela-sela jendela rumah Mak Ilam.
Kadang sepetak layar itu menampilkan orang dermawan yang menghamburkan hartanya untuk orang miskin. Jadi, jika ditanya dari mana ia mendapatkan ide cemerlang saat di kedai Bik Enim tadi, maka jawabannya dari televisi Mak Ilam mantan Pak RT.
Tapi, jangan berprasangka dulu, sejatinya si Acel hanya meniru apa yang ia lihat, kebetulan saja dikampungnya tak terdefinisi mana yang benar dan mana yang salah, semua anut hukum rimba. Yang berada di atas melihat ke atas, dan bak dihimpit oleh kapal Titanik, mereka yang berada di bawah akan tersangkut, tenggelam dalam bodoh danmiskin tiada ujung. Kalimat sok keren itu hampir setiap hari si Acel koarkan saat ternampak orang kaya bergaya norak. Salahkan anak bujangnya Mak Ilam yangmeyakinkan hal katrok itu pantas. Dirasa sudah muak dengan kejahilan si Acel, warga yang merasa terganggu‟ beramai-ramai menyeret si Acel ke rumah Pak RT, kata nya anak kurang ajar ini sudah cukup meresahkan warga. Mulai menyalahkan si Acel yang bertingkah tolol, buat onar tak kira-kira, intinya mengganggu lah! Anak seperti ini harus dikondisikan!
Bagaimana cara mengadili ini? Walaupun ia berupa iblis, ia hanya anak kecil, yatim piatu pula, tidak ada yang bisa bertanggung jawab atas anak ini.
“Yang bodoh itu kalian!” Pekiknya tiba tiba. Anak kecil yang tampaknya malnutrisi itu maju kedepan menghadap warga seakan siap membacok semua orang.
“Apalagi Pak RT! Seperti makan gaji buta!” Melengking beradu dengan suara umpan balik mikrofon, uniknya warga yang menonton terdiam seribu bahasa.
“Kalian kan tahu aku tidak punya orangtua, seharusnya aku mendapat subsidi, dong! setidaknya untuk pendidikan, masa setiap hari aku hanya belajar dari radio surau dan televisi Mak Ilam!” Ia berkacak pinggang mengomel ria, insan yang mana yang ia tirukan di kampung ini? Serupa ibuk-ibuk! Karena namanya disebut, Mak Ilam mau tidak mau ikut membela si Acel yang matanya mulai merah berkaca-kaca, ia juga kasihan dengan anak itu.
“Buk, pak. Apa kalian tidak iba melihat anak yang malang ini? Dia tidak lagi punya orang tua, tidak ada yang mengurusnya selain orang surau. Apa yang menjadi keluhan ibuk dan bapak tidak sepantasnya dilampiaskan dengannnya.” Mak Ilam memang paling pandai mengambil hati.
Setiap si Acel berbuat kesalahan, ia pasti akan meminta maaf dengan caranya. Saat ia tidak sengaja merusak kandang ayam, si Acel memang langsung kabur terbirit-birit, takut dimarahi. Tetapi saat ia lihat sudah sepi, ia langsung perbaiki seperti semula, bahkan menambah bonus seperti mencabuti rumput- rumput liar di rumah korban. Warga jadi merasa bersalah hanya dalam seperkian menit.
“Hei, Pak RT! Tidakkah kau dengar anak itu? Dimana subsidi untuk pendidikannya? Dimana sekolah yang kau janjikan sejak awal?” Ucap seorang wanita bangkot.
“Ya, apakah benar kata si Acel kau makan gaji buta?” mungkin setelah ini Pak RT akan langsung lengser tidak terhormat dari jabatannya. Sejujurnya orang-orang yang hadir disini tidak seramai itu, tetapi bisa jadi sangat heboh adalah karena lima anak buah si Acel yang menggendang-gendang baskom sayur dan galon besar, tak lupa juga dengan sorakan yang buat makin panas situasi. Memang yang paling jago dalam merusuh.
Warga yang awalnya hanya mengeluh soal si Acel, jadinya malah beriya- iya unjuk rasa di depan rumah Pak RT, minta ia agar segera turun dari jabatannya. Astaga, jika sudah begini, yang salah itu Pak RT, warga di kampung, atau televisi di rumah Mak Ilam yang menjadi landasan informasi si Acel?
0 Komentar