Gema dari Ujung Waktu - Tesa Aulia Putri


Gema dari Ujung Waktu
Tesa Aulia Putri - SMAS Plus Taruna Andalan

    Seperti baskara yang enggan memancarkan pesonanya. Daun-daun menari bebas tatkala semilir angin menyapu halus bulu kuduk seorang gadis cantik nan jelita. Namaku Arunika Pangestu, tidak hanya sekedar nama namun makna tersirat dalan nama yang telah diberi oleh perempuan hebatku. Darah Belanda mengalir di dalam tubuhku yang kini telah melokal. Terduduk dengan berbagai media elektronik di hadapanku sudah menjadi hobiku. Tak heran orang memberiku dengan julukan “Manusia Komputer”. Tanganku sibuk bergulir kesana-kemari dengan berbagai website yang sudah kutelusuri. Aku baru saja menyelesaikan pendidikan S2-ku di Aussie. Kuterbangkan raga ini ke Tanah Air untuk melanjutkan kehidupan.

    Sontak mataku terfokus pada salah satu artikel yang mampu mengundang atensiku. “Tantangan yang Dihadapi Generasi Muda” itu judul artikel yang membuat rasa penasaranku bergejolak bak ingin dituntaskan. Sorot mata tajamku membaca seksama artikel tersebut. Satu tangan kugunakan untuk menggerakkan kursor komputer, sebelah tangan yang menganggur kumanfatkan untuk mengetik
beberapa huruf di keyboard ponsel milikku. Sambungan telepon mengganggu kesibukan seseorang yang entah di mana keberadaannya. Setelah puas berbincang dengan insan di seberang sana. Tanganku mulai gencar mencari kontak seseorang yang belakangan ini menghiasi kesibukanku. Setelah berdiskusi dengan kedua insan tersebut. Aku segera berlari heboh bak orang kesetanan menyelidik sudut- sudut lekukan kamarku untuk mencari ransel marunku itu.

    Kini badan tegapku bersandar di kap mobil Honda CR-V sembari menunggu kedatangan sahabatku. Derap langkah sepatu boot menyapa indra pendengaranku, sontak kepalaku tertoleh ke arah pintu utama. Gadis tomboy yang umurnya tidak berbeda jauh denganku melambaikan tangan ke udara. “Hai, Run!” sapa sahabatku, Gendis Pramita. “Hai, Ndis. Tidak ada barang yang tertinggal kan?” tanyaku kepada Gendis yang notabenenya dia anak pelupa. “Aman. Yuk ah cabut!” kami beriringan masuk ke dalam mobil milikku.

    Honda CR-V milikku mengitari kota metropolitan yang padat penduduk itu. Aku melajukan mobilnya keluar dari kota serba modern tersebut. Tujuanku adalah rumah nenek. Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, mobil mewahku memasuki hutan rimba yang dihiasi minim pencahayaan, tanda perbatasan kota. Tubuh kami merinding disertai bulu kuduk yang berdiri. Pemandangan hutan kini silih berganti dengan beberapa hektare lahan sawah milik seorang juragan. Padi merunduk malu seakan menyambut kedatangan kami. Kuparkirkan mobil di pekarangan luas nan rindang nenek. Seorang lansia dengan kerutan menghiasi wajah pucatnya menyambut semangat kedatangan kami. Kucium tangan layu nenekku. Nenek menyuruh kami untuk menjamu hidangan makanan yang telah beliau masak. Rasanya aku nostalgia kala itu.

    “Jadi kapan kita akan memulai kegiatan di sini, Run?” Gendis membuyarkan lamunanku. “Sepertinya besok kita akan memulainya, Ndis. Karena aku tidak punya waktu lama di sini,” putusku setelah menerawang jauh tentang agenda yang akan kami lakukan besok. “Baiklah, ayo kita istirahat. kamu pasti membutuhkan energi yang banyak untuk besok.” Kututup segera bindai jendela dan menyeret langkah mungil menuju kasur kecil yang mulai usang. Kubawa raga terlelap di bawah alam mimpi.

    Kicauan burung saling berbalas satu sama lain membentuk alunan melodi di bumantara. Hembusan angin lembut merayu pepohonan untuk berdansa ria mengikuti iramanya. Di sinilah kami, sebuah pondok dengan nuansa cokelat disertai daun kelapa tua yang menjadi pondasi atapnya. Ralat tidak hanya aku dan
Gendis, namun beberapa anak-anak desa juga ikut bergabung bersama kami. Aku merasakan atmosfer di sekitar kami terasa tegang. Mereka saling berdehem satu sama lain lantaran canggung dengan kehadiran kami. Baiklah akanku mulai semua ini. 

“Halo adik-adik manis!” sapaku dengan riang gembira. 

“Hai kakak-kakak cantik!” balas mereka tak kalah semangat. Mataku berbinar melihat antusias mereka.

    “Jadi kakak-kakak di sini ingin berbagi pengalaman dengan adik-adik. Tidak hanya berbagi pengalaman, namun kita juga bisa bermain bersama. Karena kakak orang baru di sini, kakak ingin lebih dekat dengan kalian,” ucapku dengan nada lemah lembut yang mampu menyihir anak-anak kecil tersebut. Perlahan mereka menganggukkan kepala tanda setuju dengan ajakanku..

    “Nah sekarang kita mulai cerita-cerita tentang kehidupan di sini ya, setelah itu baru kakak ceritain kehidupan di kota.” ujar Gendis. Aku pun duduk melingkar bersama anak-anak kecil dan kedua tanganku terangkat untuk merangkul tubuh kecil nan mungil mereka. Tak terasa sang baskara ingin menenggelamkan permukaannya. Canda dan tawa berhasil kami gradasi dalam setiap cerita yang diungkapkan. Kini separuh tugas kami hampir selesai. Ada beberapa pelajaran yang bisa kutangkap dari cerita kami tadi. Besok aku akan mengajak mereka untuk menjelajah dunia luar.

    “Ndis, transportasi semua sudah ready?” tanyaku kepada Gendis yang kini sedang diricuhkan oleh berbagai macam barang perlengkapan. 
    “Aman, kita tinggal berangkat. Lokasinya sudah pasti kan?” tanya Gendis meyakinkanku perihal tempat sementara yang akan mereka tempati. 
    “Sudah, nanti mobilku yang akan menuntun jalannya. Kamu tenang saja, Ndis.” aku segera mengambil alih kemudi untuk membawa anak-anak desa ke dunia luar.

    Bagaikan nayanika menatap nabastala jingga, anak-anak desa terpukau melihat gedung-gedung pencakar langit yang mendominasi kota metropolitan itu. Pikiran mereka berkecamuk berkelana memikirkan kehidupan di kota modern ini. Aku terbahak-bahak melihat ekspresi polos mereka. Kuhantarkan mereka ke rumah minimalis sederhana yang letaknya di sebelah kanan rumahku. Rumahnya asri dan sejuk, cocok sekali untuk mereka beradaptasi di kota ini. Kupandang lamat-lamat mereka yang sibuk menikmati momentnya. Sedikit lagi, tujuanku tercapai.

    Mentari tanpa sungkan memancarkan baswaranya. Kutarik sejumput bindai jendela membiarkan cahaya mentari menyorot celah-celah rumahku. Kubawa ragaku menghirup udara segar. Pagi ini, aku harus membuat agenda dengan anak-anak desa itu. Sapa hangat menyambut pagi indah mereka. Aku mengajak anak-anak sekitar komplek untuk bermain bersama di rumah minimalis sebelah kananku. Sontak mereka tercengang melihat beberapa anak-anak yang terlihat sangat asing dan dengan wujud sederhana. 

   “Halo adik-adik hebat. Pasti kalian bingung ya karena tidak saling mengenal satu sama lain kan?” tanyaku dengan antusias. Mereka yang ditanya pun sontak menggelengkan kepala.

    “Ya sudah tidak apa-apa. Kita bisa berkenalan sambil bermain,” imbuh Gendis. Ia menarik pergelangan tangan anak perempuan dengan rambut ikal sebagai karakteristiknya. Aku dan Gendis memiliki pengalaman ber-volunteer ketika menduduki bangku SMA. Aku terduduk menung di hamparan angin sejuk. Pikiranku berkelana menerawang jauh target yang sebentar lagi akan kucapai. Kubuka media
elektronik yang belakangan ini jarang dibelai. Jemariku sibuk menari-nari di atas papan keyboard. Kubuatkan jurnal tentang rangkaian cerita yang sempat kami tukarkan. Anak-anak desa menceritakan kepada kami budaya-budaya lokal yang sudah mendarah daging. Dan anak-anak komplekku menceritakan kemajuan dan perkembangan teknologi di kota. Sebagian besar anak-anak komplek tidak mengerti dengan budaya lokal. Begitupun anak-anak desa yang tidak tahu-menahu mengenai perkembangan teknologi. Jurnal yang sudah kubuat, kupamerkan ke media sosial dengan harap menambah minat membaca audiens terkait budaya-budaya lokal yang hampir punah di tengah kalangan muda yang terlena dengan perkembangan teknologi.

    Aku tidak sabar melihat jurnal ku trending nomor 1 di Indonesia. Namun antusiasku perlahan memudar berganti dengan raut murung yang mendominasi pahatan wajahku. Setelah beberapa minggu aku menelusuri jurnal yang sudah kubuat, “two views” dua kata yang mampu membuat darah ku berdesir dengan hebat. Ternyata ekspektasiku terlalu tinggi untuk menjadikan jurnalku sebagai trending topic. Belakangan ini aku merasa malas untuk sekedar menjalani hidup. Bunyi dering ponsel membuyarkan lamunanku. Tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel, aku menggeser ikon hijau untuk mengangkat panggilan dari seseorang itu. Deheman awal menjadi pembukaan perbincangan kami. Dengan nafas terengah-rengah, seseorang di balik telepon menyampaikan berita yang sangat kutunggu.

    “Run, selamat ya! Jurnal kamu trending topic di Indonesia! Coba deh kamu buka di media sosial,” suruh Gendis kepadaku. Tanganku gencar mengotak-atik ponsel yang sedang kugenggam. Binar mata terpancar dari sorot mata teduhku, aku merapalkan doa tanda bahagia dengan berita ini.

“Ndis, aku berhasil! Makasih atas support-nya, Ndis.” ujarku bahagia dengan mulut komat-kamit.

    Perbincangan hangat mengenai jurnalku yang sedang trending topic sudah menjuru di kota metropolitan. Langkah lebar membawaku ke salah satu gedung pencakar langit yang terletak di sudut kota. Aku dipanggil oleh direktur ternama tersebut untuk mengkonfirmasi jurnal yang telah kubuat. Setelah diundang oleh seorang direktur ternama, dengan lugas dan tegas aku mengatakan setuju untuk bekerja sama dalam proyek yang bertujuan menciptakan generasi emas sambil tetap menghormati budaya lokal. Segeralah aku menghubungi Gendis untuk menginformasikan anak-anak agar ikut berpartisipasi dalam inisiatif tersebut, yang mengundang kebahagiaan di antara mereka.

Posting Komentar

0 Komentar