Berita Nira dari Dapur
Khalilah Az Zahra - SMA Sains Tahfizh Islamic Center Siak
Riuh celoteh obrolan memenuhi dapur. Istimewanya hari ini bergetar diantara tawa renyah para ibu-ibu. Acara pernikahan saudara perempuanku diselenggarakan hari ini, semua tetangga berkumpul di rumah bibiku. Bapak-bapak menyusun tenda, sebagian lainnya membantu para ibu-ibu di tungku. Aku yang baru saja tiba disambut dapur yang mengepulkan asap beraroma sedap, perutku yang belum sarapan menyorak.
“Awas, Nira!” Seru Pak Dayat. Dia membawa setumpuk piring yang terlihat seperti bisa jatuh kapan saja.
Aku bersegera menghindar, berharap tidak ada piring yang jatuh hingga Pak Dayat menurunkan piring-piring itu. Aku menyingkap tirai ungu yang membatasi dapur dan rumah utama. Suara para chef kampung memotong sayur, panci dan penggorengan, serta suara obrolan mereka.
Sekelilingku dilengkapi berbagai macam orang, berpenampilan tubuh beragam, berlogat bicara berbeda yang mengisi telingaku dengan pengalaman unik. Aku jarang bisa mendengar berbagai macam cara bicara dalam satu kesempatan.
Sekejap setelah salah satu tetangga menangkap keberadaanku di dapur aku ditarik masuk kedalam pasukan pemotong cabai. Aku bahkan tak mengingat bagaimana aku direkrut kedalam pasukan. Bersamaku beradu dengan cabai bersenjatakan pisau dan talenan, para wanita yang berbicara menggunakan berbagai bahasa. Sebaskom cabai sudah ada di sisiku, di sajikan bersama cerita hangat dari mulut ibu-ibu kampung. Seorang menceletuk menggunakan bahasa Jawa yang lain menanggapi dengan bahasa Minang.
Aku sejujurnya tidak terlalu mengerti bahasa daerah, hanya memahami beberapa kalimat. Namun, tidak dapat menimpali percakapan. Sungguh takut bila tidak mengikuti alur pembicaraan, takut dianggap tidak sopan dan sebagainya.
Bagaimana jika ibu-ibu itu tengah memperhatikanku? Aduh aku bingung dan takut sekali! Rasanya seperti ribuan lebah berdengung di sekitar telingaku.
Aku hanya menatap kebawah. Mataku terarah di pisau dan cabai yang menggunung. Aku berusaha fokus memotong cabai. Tidak mungkin ibu-ibu itu memperhatikanku, aku mengulang kalimat itu di kepala. Saat yang lain tertawa kepalaku riuh, seperti tawa mereka menjajah lekukan otakku dengan gaduh yang berlebihan.
“Nira ngerti bahasa Jawa?” Tanya Bu Ipeh, tetangga yang dekat dengan Ibuku. Pertanyaan dari wanita bermata sendu itu menyadarkan aku dari keruh pikiran. Aku membalas pertanyaan Bu Ipeh dengan gelengan dihiasi senyuman canggung.
“Paham bu, tapi tidak bisa fasih berbicara bahasa Jawa.” Aku manjawab sejujurnya, toh, memang begitu adanya. Terpikir tadi hendak menjawab dengan kalimat lain, tapi tak sempat lagi mencari kata-kata lain yang cocok.
“walah tau gitu ya ngomong bahasa Indonesia saja dari tadi, wong Nira-nya ra paham.” Bu Ipeh terkekeh bersama ibu-ibu yang lainnya.
Hatiku seketika terlepas dari berbagai sesak yang tadi mengurung, berat di kepalaku luruh menyisakan lega dan sedikit malu karena berpikir para wanita kampung ini akan menghakimi aku.
“Kemarin kamu menang lomba sain sain apalah itu, ya, Nira?” Seorang ibu bertanya kepadaku. Aku hendak menjawab, namun yang lain menyerang aku dengan pertanyaan juga. mereka tidak memberi aku celah untuk menjawab!
“Kan lombanya diadakan di Universitas di Jakarta, kamu kapan perginya Nir? Perasaan ibu kamu berkeliaran terus.”
“Iya, tau-tau dengar kabar kamu menang lomba sain.” Ucap Bu Tatik. Mendengar itu Bu Ipeh memotong kalimatnya.
“Kok, sain, toh, Tik? Sains loh.” Bu Ipeh memperbaiki pengucapan Bu Tatik yang keliru.
“Oh, iyo, sains.” Bu Tatik cengengesan menanggapi koreksi yang dilontarkan wanita di sebelahnya.
Aku tertawa kecil melihat betapa wajah tua itu menyembunyikan malu. Wajar saja jika mereka tidak dapat mengejanya dengan benar, mereka adalah para wanita kampung yang lugu. Tapi tawaku seketika memudar, aku tidak boleh berpikiran seperti itu, sungguh arogan.
“Nir, dijawab itu loh pertanyaannya Bu Suci. Kamu kapan pergi ke Jakartanya?” Sekali lagi Bu Ipeh mengguncang lamunanku.
“Nira memang mengikuti lomba yang diadakan salah satu universitas di Jakarta, tapi lombanya diadakan online jadi tidak perlu datang ke lokasi.” Aku menjelaskan. Aku berusaha agar bahasaku dapat dipahami mereka.
“Online, berarti pakai hp, Nir?”
“Iya, Bu, berbasis internet.”
“Enak, ya, Nira. Zaman Ibuk dulu mana ada yang begini.” Bu Suci menyeletuk.
“Iya, zaman kami muda kalau mau berkabar pun sulit. Dulu saat ibu tinggal jauh dari Pak Dayat menunggu balasan surat lama sekali, Nir!” Bu Tatik menecritakan pengalamannya dengan wajah menggebu-gebu.
“Padahal hati sudah tak kuat menahan deras gelombang rindu. Tapi, apalah daya... balasan surat masih dalam perjalanan.” Para wanita tertawa mendengar Bu Ipeh yang terlalu mendramatisasi gaya bicaranya. Pipiku seakan dielus perasaan aneh. Mereka yang aku kira lugu ternyata memiliki ketabahan yang aku yakin tak sanggup aku capai.
“Sepertinya kalau Nira hidup di zaman itu Nira tidak akan kuat.” Aku menyatakan yang sebenarnya. Aku bukan orang yang sabar seperti mereka. Para wanita itu tertawa mendengar tanggapanku.
“Sekarang semua serba mudah. Kamu harus memanfaatkan kesempatan ini, Nira,” Bu Ipeh mengelus kepalaku dengan tangannya yang tertelan waktu. “Jangan biarkan dunia yang serba cepat ini mengalihkan kamu dari mimpi dan tujuan yang harus kamu capai. Tapi, kalau sudah begitu jangan lupakan juga bahwa darah kamu adalah darah Indonesia yang mulia, kamu harus menjunjungnya tinggi-tinggi. Jangan lupakan itu!” Ah, wanita ini bukan hanya tabah, mereka bijaksana dalam balutan tawa rempeyek yang membutakan penilaianku. Aku benar benar arogan.
“Iya Buk.” Hanya jawaban itu yang sanggup aku keluarkan dengan keadaan tersentuh seperti saat ini.
Kami kemudian melanjutkan perang dengan setumpuk cabai lainnya. Namu, kali ini aku tidak cemas lagi. karena aku tahu betul, rekan seperjuanganku adalah para wanita hebat yang setia memberiku nasehat sepanjang pertempuran. Selama ini aku hanya berpikir bahwa internet adalah fasilitas yang wajar aku nikmati. Namun setelah perang ini aku menyadari bahwa internet ternyata bisa menjadi senjata mematikan yang dapat aku gunakan untuk menebas benalu sepanjang jalan menuju mimpiku. Para wanita hebat yang berjuang di balik layar ini menyadarkan aku.
Terimakasih, telah menyadarkan aku.
0 Komentar