Sukses Itu Ibarat Gambar - Bunga Rahmah Andini

 

Sukses Itu Ibarat Gambar
Bunga Rahmah Andini - SMAN 1 Tambang

Lavanya Kaluna, seorang gadis yang sangat tertarik pada dunia seni terutama seni rupa. Kecintaannya terhadap seni sudah ada sejak usianya empat tahun. Namun, hobinya itu tidak didukung oleh orang tuanya karena, menurut orang tuanya, menggambar dan melukis itu hanya hal yang membuang-buang waktu dan menghabiskan uang saja. Hal itu membuat lavanya sedih. Namun, ia tak menyerah. Ia terus menghasilkan banyak karya. Namun, orang tuanya tak peduli akan hal itu.  Mereka hanya terus menuntut Lavanya untuk menjadi  sosok sesuai harapan mereka.

Masa-masa sekolahnya tak seindah masa-masa sekolah anak-anak yang lainnya. Sejak duduk dibangku SD hingga SMP, Lavanya tak pernah memiliki banyak teman apalagi teman dekat, kalaupun ada mungkin hanya dua bahkan satu orang saja. Hari demi hari yang ia lalui pun selalu hambar, bahkan menyedihkan. Masa-masa SMP Lavanya juga tidak bahagia, terkadang ia terasingkan oleh teman-temannya dan tak jarang ia duduk sendiri sambil membuat beberapa sketsa untuk menghibur dirinya dan membuatnya tenang. 

Tiga tahun telah berlalu, kini Lavanya telah lulus SMP, dan ia sudah menjadi siswi SMA. “Ya Tuhan, semoga... masa SMA aku berjalan lebih baik,” batinnya dengan penuh harapan saat ia bersiap untuk berangkat menuju kelasnya. Setibanya di kelas, suasana kelas sangat sepi. Lavanya mencari-cari tempat duduk di mana ia bisa tenang dan tidak mendapat gangguan dari murid lain. Tak lama kemudian murid-murid lainnya mulai berdatangan. Kelas yang awalnya sepi, kini  mulai ramai akan suara para murid yang memasuki kelas. Lavanya tak memperdulikan kondisi kelasnya. Ia  hanya duduk tenang sembari mengeluarkan buku sketsa serta beberapa alat tulisnya dan membuat gambar baru. Saat ia fokus pada gambarnya,  Lavanya mendapat perilaku kurang baik dari teman-teman kelasnya. Salah satu siswi dikelas  itu merebut bukunya dengan kasar “Haha! Kamu sudah SMA masih saja  membuat gambar seperti ini!? Tch! Nggak berguna banget. Seperti anak kecil! Haha!”. Ucap gadis itu dengan kasar pada Lavanya. Lavanya hanya terdiam  sambil mengepal kedua tangannya dengan emosi, Lavanya berdiri dan memukul meja dengan keras hingga seisi kelas terfokus padanya. Matanya berkilat tajam, tetapi ia memilih diam, berusaha mengendalikan gejolak yang ada pada dirinya. Merasa tak dihargai oleh Lavanya, siswi itu pun dengan malu mengembalikan buku yang direbutnya kepada Lavanya.  

Tak lama setelah itu, suara langkah kaki terdengar menandakan seorang guru yang akan memasuki ruangan kelas. “Selamat siang semua” sapaan yang lantang  dari seorang guru yang telah memasuki kelas. Jam pelajaran pun dimulai, semua murid terpaku pada guru yang sedang menerangkan materi di depan kelas. Berbeda dengan murid-murid lainnya, Lavanya asyik menyelesaikan sketsa-sketsanya, tak memperhatikan penjelasan guru. Materi demi materi dijelaskan. Tak terasa waktu istirahat telah tiba. Saat di mana semua murid beramai-ramai menuju kantin sekolah. Berbeda dengan murid lainnya, Lavanya hanya duduk di kelas sambil mendengarkan album lagu kesukaannya melalui gawai bluetooth yang ia kenakan. Lagu-lagu itu menari-nari dengan indah di pikiran Lavanya, sesekali ia tersenyum salah tingkah mendengar lagu-lagu itu. Melodi yang indah seakan akan mengendalikan hampir sepenuh pikirannya. Bait demi bait lagu ia nikmati dengan tenang. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama karena jam istirahat telah selesai. “ Aakh !... Cepat banget istirahatnya,” keluh Lavanya di dalam hati.

Murid-murid mulai memasuki kelas. Suara obrolan yang ramai dan tawa siswa memenuhi kelas, menciptakan kebisingan yang membuat Lavanya muak, di tengah kebisingan kelas itu, seorang guru memasuki kelas, sontak semua siswa berlarian ke tempat duduknya masing - masing. “Selamat siang semuanya, sekarang kita belajar matematika ya?” Ucap seorang guru dengan lantang di depan kelas. “Buka halaman tiga puluh lima yang membahas tentang aritmatika” sambung guru itu dengan tegas. “Aaah! Aku benci matematika” bisik Lavanya dengan kesal, ternyata ada seorang murid yang mendengar bisikan Lavanya itu “Heii?!  Bukan kamu saja yang benci matematika, hampir seluruh murid tidak suka matematika kok haha!!“ ucap seorang siswi yang duduk di samping Lavanya “Oh iya, kalau boleh tahu, nama mu siapa?” tanya siswi itu pada Lavanya. “oh, namaku ... Lavanya Kaluna, panggil aja Lavanya” Jawab Lavanya dengan gugup. “Wah nama yang bagus, cocok banget sama kamu yang cantik.” Puji siswi itu pada Lavanya. “Oh iya. Hampir lupa, nama aku Niskala Eleena, panggil aja kala” ucap siswi itu dengan mengenalkan namanya pada Lavanya. Semenjak perkenalan singkat itu, Lavanya dan Niskala semakin dekat, layaknya sahabat. 

Waktu terus berlalu, tak terasa jam pulang sekolah telah tiba. Murid - murid sangat bersemangat untuk pulang, tak seperti Lavanya.  Ia  merasa berat sekali untuk pulang. Mengingat  suasana dingin di rumah yang selalu mengimpit hatinya, seolah setiap langkahnya menuju pintu itu mengingatkan pada kesepian dan ketegangan yang menunggu di dalam. Lavanya terus berjalan ke  tempat parkir  dengan sangat lesu tanpa semangat. Saat menuju tempat parkir, sontak Lavanya terpikir untuk mengisi waktu menyendiri ke kafe, tempat di mana aroma kopi dan musik lembut bisa mengalihkan pikirannya dari kerumitan yang membebani jiwanya. Tanpa membuang buang waktu, lavanya langsung mengendarai motornya dari sekolah menuju kafe. Ia mengendarai sepeda motornya dengan pelan sambil melihat-lihat beberapa kafe yang ada di tepi jalan. Tak lama kemudian mata Lavanya tertuju pada sebuah kafe yang indah dengan nuansa natural yang menghidupkan suasana asri kafe tersebut. 

Suasana yang mendung menandakan sebentar lagi akan turun hujan, dengan cepat lavanya memarkirkan sepeda motornya dan berjalan menuju kafe tersebut. Cahaya remang-remang menciptakan suasana tenang di kafe itu, sementara hiasan daun dan motif sederhana yang menghiasi dindingnya menambah pesona, membuat Lavanya jatuh cinta pada kehangatan dan kedamaian yang terpancar di setiap sudut. Setelah ia memasuki kafe itu, Lavanya memesan minuman favoritnya, lalu pergi menuju salah satu meja di kafe itu. 

Lima menit berlalu, dan minuman Lavanya telah selesai, “Pesanan atas nama Lavanya?” Terdengar suara dari operator di kafe tersebut, mendengar suara itu ia  langsung berjalan menuju meja di mana pesanannya disiapkan dan membayar pesanannya itu. Dia menikmati setiap tegukan minumannya, seolah setiap rasa membawanya jauh dari beban pikiran yang membelenggu, menciptakan momen tenang di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Setelah ia merasa tenang, ia kembali mengambil buku sketsanya dan kembali menggambar sketsa - sketsa yang ada di imajinasinya. Di tengah kegiatannya itu telepon Lavanya berdering, “Grrtt... Grrrttt” dering telepon Lavanya. Dengan sedikit jengkel ia mengangkat telepon itu “iya? Halo?” Ucap Lavanya via telepon. “Lavanya Kaluna! Kamu ke mana saja? Kamu nggak ingat jalan pulang? Cepat pulangnya!” Bentak seseorang dari telepon itu, terdengar dari suaranya ia adalah mama Lavanya. “T-tapi mah,  di sini masih hujan” ucap Lavanya dengan gugup. “Mama nggak peduli! Pokoknya kamu harus pulang dan belajar!” bentak mama Lavanya di telepon. “Iya ma, Lavanya pulang sekarang.” Ucap lavanya sambil mengakhiri teleponnya. Ia berjalan menuju tempat parkir  dan cuaca di luar masih mendung disertai gerimis. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas memakai helmnya dan mengendarai sepeda motornya dengan cepat.

Sesampainya di rumah, tak ada  seorang pun yang menunggunya diruang tamu. Mama lavanya yang berada di dapur mendengar suara langkah kaki anaknya itu terus berkata “Dari mana saja kamu?!  Bukannya langsung pulang, malah keluyuran dulu. Apa kamu sudah tak peduli dengan nilai mu?!!”. Lavanya hanya terdiam menunduk “Maaf ma,” ucap Lavanya dengan suara pelan dan ia langsung menuju kamarnya untuk membersihkan dirinya dan mengganti bajunya. Kemudian dengan berat hati ia mulai belajar di meja belajarnya sambil mendengarkan lagu - lagu melalui gawainya. Suasana mendung disertai rintikan hujan serta suasana kamar lavanya yang tenang di sinari lampu  proyektor yang indah, menciptakan suasana tenang dan sejuk di kamar itu. Dua jam berlalu, ia telah menyelesaikan belajarnya ia terus meletakkan kepalanya di meja belajar dan tertidur. “Lavanya! Ayo makan!” Panggil mama Lavanya dari dapur “baik ma” jawab Lavanya yang terbangun. Ia keluar dari kamarnya menuju meja makan. Kesunyian menyelimuti ruangan itu, tak ada percakapan antar dua anak dan ibu di sana, hanya suara sendok dan garpu yang beradu memecah kesunyian itu. Setelah makan, mereka melanjutkan pekerjaannya masing-masing, Lavanya beranjak menuju kamar dan mama Lavanya mencuci piring kotor. 

Di kamarnya, merenung di kasur menatap langit-langit kamar yang kosong. Di tengah lamunan itu, terlintas dalam pikirannya pada suatu hal “ Eh, aku kan punya bakat. Gimana kalau aku publikasikan di Instagram aja ya? Siapa tahu di gubris sama seniman yang terkenal.” Gumam Lavanya dalam hatinya. Tanpa berpikir panjang, ia beranjak ke meja belajarnya dan mengeluarkan buku sketsanya dari dalam tas kemudian ia mengabadikan karyanya dalam sebuah foto lalu mempublikasikannya di akun Instagramnya dengan antusias. “huhhftt.... semoga saja di gubris.” Ucapnya dengan penuh harapan. Setelah semua itu selesai ia kembali ke kasurnya dan menunggu notifikasi dari headphonenya dan berharap karya-karya yang ia publikasikan di respons oleh seniman terkenal favoritnya. 

Setelah menunggu selama tiga jam tanpa notifikasi, akhirnya ia tertidur dengan penuh harapan hingga keesokan harinya, ia terbangun dan langsung melihat notifikasi dari gawainya. Betapa terkejutnya Lavanya, ternyata karyanya itu menuai banyak pujian termasuk pujian dari para seniman terkenal. Ia terus melihat-lihat komentar positif yang ia dapat hingga ia terfokus kan  pada komentar dari salah satu akun bisnis alat tulis yang cukup terkenal. “Wah.. karya kamu sangat bagus! Apakah kamu tertarik untuk menjadi bagian dari promosi kami?” ujar salah satu akun bisnis itu di kolom komentar. Lavanya yang melihat itu sangat senang. Tak lama kemudian, ia mendapati pesan dari akun tersebut, dan tanpa berpikir panjang ia menyetujui permintaan akun tersebut. Setelah kejadian itu, ia dibanjiri oleh komentar positif serta pujian. 

Waktu demi waktu berlalu, kini impiannya menjadi seniman telah terwujudkan walaupun hanya menjadi seniman di media sosial. Ia pun telah memiliki beberapa teman dekat di kelasnya. Ia juga  memiliki banyak pendukung dan sering mendapatkan banyak kiriman dari para pendukungnya baik alat tulis maupun hadiah lainnya. Hidupnya yang dulu ibarat gambar hitam putih kini telah berwarna sedikit demi sedikit ibarat gambar yang telah disempurnakan. Orang tuanya pun kini telah sadar bahwa bakat dan prestasi Lavanya ada pada hobinya. 




Posting Komentar

0 Komentar