Cahaya dari Tanah Melayu
Najwa Athaya Ahnaf - Siswi SMA Negeri Plus Provinsi Riau, kelas X
Nusantara Raya, kawasan dengan kekayaan alam dan kebudayaan yang tak tertandingi. Di antara wilayahnya yang paling kuat adalah Tanah Melayu, terletak di sepanjang sungai raksasa, dikelilingi hutan lebat dan laut yang luas. Wilayah ini tidak hanya dikenal karena kekayaannya, tetapi juga karena bahasa dan sastranya, di mana setiap syair dan pantun memiliki kekuatan magis yang dapat menghubungkan dunia nyata dengan dunia gaib.
Den, seorang pemuda dari Tanah Melayu, tumbuh mendengarkan syair-syair gurindam yang mengandung ajaran kebijaksanaan. Dalam setiap pantun yang diucapkan oleh orang-orang tua di kampungnya, tersimpan kekuatan yang dapat menghubungkan dunia nyata dan dunia gaib. Bahasa Melayu yang mereka gunakan bukanlah sekadar alat komunikasi, tetapi juga jembatan antara alam dan manusia, antara roh leluhur dan keturunan. Sejak kecil,Den sering mendengarkan cerita dari kakeknya, seorang Pawang Kata, yang menjaga syair-syair kuno yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kakeknya berpesan di ujung nafasnya, tepat ditelinga Den sebelum menutup bola mata legamnya, "Cucuku, Den, bahasa kita bukan sekadar kata penuh kiasan indah. Di latar dan dasar setiap bait pantun, ada kekuatan yang bisa mengubah dunia. Jagalah bahasa ini, jagalah bahasa kita, jangan biarkan ia tenggelam di tengah arus global yang semakin kuat." Kata-kata dari kakek Den kala itu terus terukir keras didalam pikiran Den, seolah memang Den lah yang terpilih untuk melanjutkan amanah dari sang kakek yang seorang Pawang Kata. Tanpa sadar Den sendiri menjadikan kalimat-kalimat terakhir kakeknya itu sebagai pahatan hidupnya, tujuan nya. Hingga pada akhirnya tujuan Den untuk melanjutkan amanah kakeknya pun mulai berjalan, takdir telah memilihnya pada saat matahari tepat diatas kepala hari itu, kala Den, seorang pemuda yang gemar membaca syair di tepi Sungai Siak nan megah. Siang harinya yang tenang seketika berubah drastis ketika ia merasakan getaran hebat berasal dari Bukit Tiga Puluh.
***
Terungkap dari mana asalnya, Dari kejauhan ia melihat hewan-hewan dari berbagai ukuran dan jenisnya berlarian dari hutan, tampak ketakutan. Penasaran, Den memanggil salah satu Burung Serindit yang tampak khawatir, bertengger di ranting-ranting pohon.
“Wahai, burung Serindit yang indah disana, apa yang sedang terjadi? Mengapa kalian para hewan agung Bukit Tiga Puluh tergesa-gesa sekali?” Burung Serindit itu menoleh kearah Den, Perlahan mendekat dan mendarat dibahu pemuda Melayu itu, menjelaskan segalanya, terungkap bahwa tanahnya telah terancam oleh kekuatan asing. Pasukan dari negeri jauh yang dipimpin oleh penguasa bayangan bernama Globa datang dengan kekuatan sihir yang diambil dari bahasa-bahasa gelap. Mereka datang bukan hanya untuk menaklukkan, tetapi untuk menghilangkan identitas dan kebudayaan Nusantara Raya, termasuk Tanah Melayu. Semua negeri di Nusantara Raya sudah jatuh di bawah kekuatan Globa, dan kini giliran Tanah Melayu yang akan diserang. Den yang mendengar hal itu sontak memutar otak, sebagai seorang pemuda Tanah Melayu pastilah ia menantang pihak asing yang seenaknya mengancam tanah Melayu agung, apalagi Den adalah Cucu dari seorang Pawang Kata, waktunya untuk melanjutkan amanah sang mendiang kakek. Den pun berusaha mencari solusi. Ia membalik buku-buku kuno milik kakeknya yang tampak menguning lembarannya untuk mencari petunjuk. Tiap lembar usang itu dibacanya, bertuliskan huruf arab melayu kuno, dengan fasih Den mengeja tiap hurufnya. Dari ratusan halaman yang dibacanya hanya terdapat satu halaman yang dapat dijadikan petunjuk untuknya. Tertulis disana, satu-satunya cara untuk melawan adalah dengan membangkitkan kembali kekuatan Pantun Magis, sebuah bentuk puisi kuno yang hanya bisa diucapkan oleh mereka yang benar-benar memahami kedalaman Bahasa Melayu. Pantun ini tidak hanya sekadar bersajak, tetapi mengandung mantra-mantra sakti yang dapat menggerakkan angin, menghentikan badai, dan bahkan mengendalikan air Sungai Siak agung yang tenang riaknya namun dipenuhi misteri. Den pun memutuskan untuk mengunjungi Desa Muara Takus, mengikuti petunjuk dari
buku kuno kakeknya. Desa itu merupakan tempat dimana Candi Muara Takus berdiri megah. Dikatakan Candi tersebut merupakan tempat suci di Tanah Melayu di mana syair-syair kuno disimpan oleh para penjaga agung. Disanalah banyak pemuda Melayu yang berbakat dan berpegang teguh dengan kesaktian syair-syair dan pantun melayu.
Di sana, ia langsung bertemu dengan para tetua yang telah lama menjaga naskah-naskah magis dalam bentuk gurindam dan pantun, merekalah para penjaga agung yang dikatakan buku kuno kakeknya, Den langsung memperkenalkan dirinya sebagai cucu sang Pawang Kata dan menjelaskan tujuannya datang, begitu mengetahui tujuan Den, warga Desa Muara Takus menyambutnya dengan upacara adat yang penuh
khidmat, lengkap dengan tabuhan kompang dan alunan zapin yang membangkitkan semangat. Salah satu tetua, diserukan namanya oleh warga desa sebagai Tuan Khalifah, seorang tetua desa yang tampak agung dengan memakai baju kurung berwarna emas. Beliau memberikan nasihat penuh makna pada Den dihadapan perkumpulan tetua lainnya di dalam rumah panggung raksasa, balai desa. "Anakku, Tanah Melayu kita takkan selamat hanya dengan senjata. Pantunlah yang menjadi perisai dan pedang kita. Sebab, bahasa kita tak hanya hidup di lidah, tetapi juga di jiwa. Engkau harus merangkai pantun yang tepat untuk menghadapi Globa. Pantun yang bukan hanya indah, tetapi juga penuh makna dan kekuatan."
Kala itu Den dengan mantap mengucap sumpah untuk melindungi Tanah Melayu dari serangan Globa dan bala tentara kegelapannya dihadapan Tuan Khalifah dan juga disaksikan puluhan pasang mata para tetua. Setelah hari itu Den pun belajar siang dan malam, membaca syair-syair yang diturunkan dari Kesultanan Siak yang agung. Pantun demi pantun ia hafalkan tanpa henti. Hingga di suatu malam dengan purnama seperti biasa ia duduk di tepian Sungai Siak, tengah merangkai kata demi kata untuk puisi indah lainnya, lalu membacanya dengan lantang.
"Di tepi sungai airnya dalam,
Riak kecil hilang ditelan.
Jika jiwamu penuh dendam,
Bahasa hilang, negeri terbenam."
Tepat setelah pantun itu selesai dibacanya, sebuah cahaya lembut keluar dari kedua telapak tangan Den. Perlahan cahaya itu semakin terang, membungkus kedua tangan nya. Kemudian entah dari mana muncul sebuah keris yang mata pedangnya indah berbalut cahaya keemasan lembut. Menggema di telinga Den, suara lembut yang sayup-sayup berbisik.
“Aku keris bersinar bak purnama,
Terangi gelap di tiap langkah.
Bahasa ialah senjata bangsa,
Menghadapi rintangan tanpa lelah.”
Den tertegun. Keris ditangannya seolah berbisik padanya, Menyadarkannya bahwa bahasa Melayu lebih dari sekadar warisan budaya, tetapi adalah inti dari kekuatan yang menyatukan rakyat Tanah Melayu dengan alam dan leluhur mereka. Den bersemangat, ia mengangkat tinggi-tinggi keris indah itu, lantas berseru lantang memecah hening malam. “Bahasa ialah senjata!”
***
Bersamaan dengan sapaan mentari di langit timur, Den mengajari para pemuda Desa Muara Takus tentang pantun, dan sesuai dengan kabar angina, para pemuda Melayu dari desa itu memang cakap dalam bersyair dan berpantun. Dengan mudah Den dapat mengajak mereka untuk mengucapkan kata-kata penuh sakti, mempersiapkan diri ketika serangan Globa tiba. Hingga waktu tak terasa telah berbulan-bulan mereka berlatih keras mempersiapkan pertahanan dan perlawanan, Saat pertempuran akhirnya tiba, langit di atas Tanah Melayu gelap, penuh dengan awan hitam yang berputar-putar. Pasukan Globa, muncul dari sisi lain Bukit Tiga Puluh, mulai menyerang dengan mantra-mantra gelap. Angin bertiup kencang, laut bergolak, dan Sungai Siak hampir meluap. Namun, Den tidak gentar. Ia berdiri tegap di tepi sungai, mengenakan pakaian adat Melayu yang diwariskan dari kakeknya. Di tangannya, ia menggenggam kuat Keris cahaya
dengan bangga.
***
Dengan tenang, Den mulai melafalkan pantun magisnya. Suaranya bergetar di udara, bergema sepanjang sungai hingga ke laut. Setiap bait yang ia ucapkan memanggil kekuatan dari alam.
“Angin bertiup dari utara,
Menyentuh lembut daun mengilau.
Bahasa kita pengikat jiwa,
Menahan badai, menghempas awan.”
Bersamaan dengan tiap bait yang dibaca, Den mengangkat kerisnya, segera angin yang tadinya membawa malapetaka berbalik arah. Laut yang bergelora pun mulai tenang. Pasukan Globa, yang terbuat dari bayang-bayang kegelapan, mulai berjatuhan satu per satu ketika pantun itu menggetarkan udara. Kekuatan bahasa dan budaya Melayu, yang selama ini dianggap lemah, ternyata lebih kuat dari yang pernah
dibayangkan. Globa, yang menyaksikan pasukannya runtuh, berteriak marah, langsung mencoba menyerang Den dengan kata-kata gelapnya. Namun, Den lebih dahulu membalas dengan pantun terakhir yang ia dapatkan dari bisikan Keris malam itu.
“Keris tajam di tangan pahlawan,
Tak goyah meski diterpa bencana.
Bahasa ialah senjata andalan,
Menjaga bangsa, mempersatukan kita.”
Globa membeku, tubuhnya ditahan oleh cahaya terang, diikat kuat oleh rantai-rantai cahaya yang muncul dari berbagai arah. Den berseru di udara, melempar kerisnya hingga menembus tubuh Globa yang telah terkunci tak berdaya. Globa kembali berteriak marah.yang kemudian itu menjadi teriakan terakhir sang penyihir kegelapan. Tubuh Globa menghilang, seolah disedot masuk kedalam keris yang dilemparkan Den. Globa sang penyihir kegelapan telah disegel dengan keris cahaya.
***
Setelah kemenangan itu, Tanah Melayu dan seluruh Nusantara Raya kembali damai. Kekuatan bahasa dan budaya mereka kembali dihormati, tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi sebagai jiwa yang mengikat mereka dengan alam dan leluhur. Rakyat Tanah Melayu kini lebih sadar akan kekuatan yang mereka miliki, bahwa dalam setiap pantun dan gurindam, tersimpan kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang terlihat. Den, yang kini dikenal sebagai Pawang Pantun, terus melanjutkan tugasnya untuk mengajarkan bahasa Melayu kepada generasi berikutnya. Ia tahu bahwa selama bahasa dan budaya mereka dijaga, Nusantara Raya akan selalu kuat, meskipun dihadapkan pada kekuatan asing yang mencoba menenggelamkan mereka. Dan di setiap upacara adat, di tepi sungai atau di bawah bayang-bayang pohon besar, rakyat Tanah Melayu selalu mengingat bahwa kata-kata mereka adalah senjata, dan bahasa mereka adalah jiwa bangsa.
***
Pesan Tersirat:
Mengajarkan bahwa warisan leluhur seperti pantun dan syair memiliki kekuatan besar jika dijaga dan dipahami dengan mendalam. Dalam menghadapi tantangan globalisasi dan kekuatan luar, kekayaan budaya lokal bisa menjadi senjata yang kuat. Pesan penting lainnya adalah pentingnya generasi muda untuk terus melestarikan tradisi dan budaya agar tidak hilang di tengah perkembangan zaman.
0 Komentar