Kanvas Penuh Warna
Nurul Hafizah - SMK IT AL IZHAR
Malam itu adalah langit kesepian dan suram yang memantulkan kesedihanku. Di kamar kecil yang aku huni, kuas dan cat di sudut meja tak tersentuh itu. Sebelumnya, ini adalah duniaku. Tempat aku bisa merasa bebas, menumpahkan semua imajinasiku ke dalam kanvas. Tapi sekarang, dengan melihatnya saja sudah membuat luka lamaku kembali terbuka, yang aku rasakan hanya rasa sakit. Pengingat akan kekecewaan yang selalu kubiarkan menggangguku. Seolah mereka pun ikut bisu, tidak lagi bisa memberikan rasa damai yang dulu selalu kudapatkan. “Ayah berapa kali harus bilang, TIDAK perlu jadi seniman! Kamu tidak mendapatkan apa-apa! Jangan bego bermimpi menjadi seniman bisa menarik Anda keluar dari kesialan Anda! Anda tidak lebih dari beban jika Anda terus seperti ini!“. Teriakan ayah dari ruang tamu menggema tajam, menusuk telingaku. Meski sudah sering mendengar ocehannya, rasanya selalu seperti luka baru. Berdebat dengannya percuma saja. Baginya, pekerjaan tetap adalah kunci masa depan. Sebagai PNS, ayah merasa itu standar kesuksesan hidup. Di lingkungan kami, pekerjaan seperti miliknya memang dianggap puncak kesuksesan, dan semua orang tua berharap anak-anak mereka mengikuti jejak yang sama, tanpa memikirkan cita-cita anaknya. Ayah selalu bilang Raka harus seperti dia, tapi Raka punya jalannya sendiri.
Di sisi lain, ibuku penuh kasih. Ia tak pernah memaksakan kehendaknya padaku dan selalu berada di sana ketika aku ingin mengeluarkan rasa frustrasi ini. Setiap hari di dapur, ibu selalu masak dan cerita tentang hal sederhana yang membuatnya bahagia. Dari itu aku belajar untuk melihat kebahagiaan meskipun hanya dari barang kecil, diajarkannya kepadaku bahwa melukis itu lebih dari sekedar garis yang tidak memiliki arti. Iya mungkin tidak punya arti bagi ayah, tapi buatku...hidup tidak akan sama dengan melihat dunia dalam lukisan.
"Kalau ayah lihat kamu melukis lagi, jangan harap kamu punya masa depan di sini! Percuma punya anak yang nggak bisa diandalkan, cuma tahu coret-coret nggak jelas!”. Pintu terbanting dengan keras, suaranya bergema di seluruh rumah. Tapi lebih menyakitkan dari itu adalah kata-kata ayah. Rasanya menyesakkan, membuat napasku terhenti sejenak. Tubuhku kaku, sementara mataku menatap kanvas di hadapanku dengan tangan yang mulai gemetar. Melukis adalah napasku, tapi di mata ayah, itu tampak seperti sesuatu yang harus dijauhi. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Meskipun aku terus ditekan, meskipun seolah dunia melawanku, aku tahu aku tidak bisa berhenti. Tapi... apakah benar tidak ada yang memahami? Aku berjalan menuju meja, menarik keluar kanvas yang kusimpan di bawah tempat tidur.
“Suatu hari nanti, aku akan membuktikan bahwa seni bisa menjadi jalanku,” kataku dalam hati, sambil menggenggam kuas dengan mantap. Perlahan, aku mulai melukis kembali, mencurahkan semua perasaanku ke dalam setiap goresan. Mungkin sekarang belum saatnya membuktikan apa pun, tapi satu hal yang aku tahu: aku tidak akan berhenti. Besok harinya, di sekolah. Aku berdiri di depan mading di sekolah, melihat pengumuman lomba yang akan digelar seminggu lagi.
Hadiah utamanya adalah lima juta rupiah, jumlah yang lumayan besar. Aku membiarkan tanganku menyentuh selebaran itu dengan hati-hati, sementara pikiranku justru terlalu meramaikan pikiran dalam sekali waktu. Beberapa siswa sibuk berlalu lalang di sekitarku terlihat dari sudut mata mereka melirik sekejap di arahku dan berbisik. Pandangan mereka normal sebenarnya, terkesan aku awalnya bukan sesosok bayangan yang layak untuk diperhatikan. Tetapi sudah saatnya hal itu kuhiraukan.
“Ini kesempatanku... untuk membuktikan pada ayah, bahwa menjadi seniman bukan berarti gagal. Aku bisa... aku harus bisa” Dengan napas berat, aku meyakinkan diri. Gemuruh di dada ini tak kunjung reda. Rasanya seperti ada yang menekan, membuatku sesak, tapi aku tak boleh menyerah. Senyum tipis muncul di wajahku, meski ketakutan terus menyusup di sela-sela pikiranku, berusaha menggoyahkan tekad. Selebaran di tanganku, aku lipat hati-hati dan aku selipkan ke dalam saku. Bagiku, kertas lusuh itu bukan hanya undangan, tapi sebuah tiket. Tiket menuju masa depan yang aku inginkan. Di sela waktu kosong, aku selalu mencari kesempatan untuk menyentuh kuasku. Tanganku gemetar, tapi begitu kuas itu bersentuhan dengan kanvas, seluruh dunia terasa seakan hilang, hanya tersisa aku dan lukisanku. Setiap sapuan warna adalah perjuangan.
“Aku harus menang. Aku harus tunjukkan pada Ayah... bahwa aku bisa menciptakan sesuatu yang berarti,” bisikku dalam hati, berulang kali. Hari perlombaan tiba, dan aku tak bisa memejamkan mata semalam. Gelisah, pikiranku berlarian kemana-mana. Ketika pagi tiba, aku memandang diriku di cermin, menatap wajah yang lelah, dan mencoba mencari seribu alasan yang bisa membenarkan langkahku hari ini. Sesampainya di sekolah, tanpa banyak berpikir, aku berdiri di depan guru. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, kebohongan terucap dari bibirku. “Maaf, Bu, saya merasa kurang enak badan,” kataku, berusaha terdengar meyakinkan.
Namun, ada sesuatu yang tak enak mengendap di hatiku. Rasa bersalah mulai tumbuh, seperti ada yang salah, tapi aku tahu tak ada jalan lain. Setiap langkah yang kuambil menjauh dari gerbang sekolah terasa begitu berat, seolah kakiku tak ingin mengikuti keinginanku. Tapi meski begitu, ada suara kecil di dalam
diriku yang terus berkata, “Ini jalan yang harus kau ambil.” Aku berjalan menuju halte dengan langkah pelan, lalu naik ke bus yang sudah reyot, menggunakan sisa uang yang kumiliki. Di dalam bus, mataku tak bisa lepas dari lukisan yang kubawa. Setiap guratan kuas, setiap warna yang kucurahkan dengan sepenuh hati, seolah bercerita padaku. “Bagaimana jika mereka tidak menyukainya? Bagaimana jika ini belum cukup?” Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiranku, tapi aku berusaha keras mengusirnya. “Tidak, aku sudah sampai sejauh ini. Mundur bukan pilihan.” Tanganku menggenggam erat kanvas itu, seakan-akan seluruh mimpiku ada di dalamnya. Rasanya seperti seluruh hidupku bertumpu pada satu lukisan ini. Di luar dugaan, perlombaan berjalan lancar. Setiap detik hanya menambah rasa penasaranku, ditambah lagi dengan debaran di dada yang semakin tak menentu.
Semua orang di sana menunggu hasil dari juri, hingga akhirnya si pembawa acara mulai membuka amplop yang berisi keputusan juri. “Juara pertama diraih oleh... Raka Mahendra!” Suara itu menggema di ruangan. Sesaat, dunia seolah terhenti. Hatiku melompat, kebahagiaan meluap dalam diriku. Aku berdiri dengan jantung berdebar, mencoba menenangkan diri saat melangkah ke panggung. Tepuk tangan dan sorakan memenuhi ruangan, seperti simfoni kemenangan. Saat itu aku sadar, ini adalah momen terindah dalam hidupku. Semua kerja keras dan pengorbanan terbayar lunas. Setelah menerima piala dan hadiah, aku turun dari panggung dengan senyum yang tak terhapuskan. Dunia terasa lebih cerah, penuh harapan dan peluang. Sore itu, aku berlari dari halte menuju rumah, membawa hadiah dan kanvas dengan rasa bangga. Namun, ketika rumah sudah di depan mata, ada sesuatu yang terasa aneh. Ayah berdiri di depan gerbang kayu, diam tanpa bergerak. Senyum yang tadi menghiasi wajahku perlahan memudar, digantikan oleh kekhawatiran yang tiba-tiba muncul. Aku mempercepat langkahku, mendekatinya dengan hati-hati. “Pa?” tanyaku dengan suara ragu, tapi ayah tak menjawab. Tanpa sepatah kata, dia meraih tanganku dan menarikku menuju mobil.
“Ayah, ada apa? Apa yang terjadi?” Suaraku makin panik, tapi ayah tetap diam. Ekspresinya kaku, matanya kosong, seolah-olah sudah lama tak memancarkan kehidupan. Mobil melaju kencang, dan sebelum aku menyadarinya, kami tiba di rumah sakit. Di depan sebuah kamar yang tak pernah ingin kulihat, aku terhenti. Kakiku terasa lemas, tubuhku mendadak kaku. Di dalam, kulihat ibuku terbaring tak bernyawa. Wajahnya pucat, tubuhnya tak bergerak, seperti patung yang beku dalam keheningan. Tidak, ini tidak mungkin. “Ibu?” bisikku pelan, suaraku nyaris tak terdengar di antara riuh pikiranku. Kanvas yang tadi kugenggam erat jatuh dari tanganku, menghantam lantai dengan suara tumpul yang nyaris tak terasa di tengah kekalutan hatiku. Baru pagi tadi kami berbincang seperti biasa, bahkan tertawa bersama. Tapi sekarang... dia sudah tiada. Dunia yang tadinya terasa indah dan penuh kemungkinan kini berubah menjadi sunyi, dan hatiku terasa hancur. Air mata pun membanjiri wajahku, dan tanpa sadar kesedihan mulai menggerogotiku, aku perlahan menangis. “Ayah, apa yang terjadi? Mengapa?!” ulangnya dengan
berteriak keras. Namun apa pun yang aku katakan, dia tidak akan berbicara padaku lagi. Dia sama sekali akan terdiam, berdiri di sana dengan air mata lain menetes dari matanya. Kesedihan memenuhi ruangan dan membuat hatiku hancur, aku tidak tahu harus berbuat apa. Dan aku menatap jasad ibuku terakhir kali, bertanya-tanya apa yang sudah hilang dengan cepat dan tanpa peringatan dari hidupku.
Saat ibuku meninggal, semuanya berubah. Aku ingat betapa bersemangatnya ingin menjadi seniman. Tapi setelah kepergiannya, aku tidak bisa. Ada misteri di balik kematiannya, dan sejak itu pandanganku tentang hidup terbalik. Hari demi hari, aku berusaha bertahan, hingga menemukan surat terakhir darinya. Dukungan yang ada di dalamnya tak pernah kusangka, tanpa syarat. Surat itu membuatku bangkit lagi, meskipun dunia di sekitarku terasa runtuh. Saat fokus pada mimpi kuliah di Amerika, dorongan baru muncul. Bukan sekadar hasrat melukis, tapi keinginan mencari kebenaran. Kematian ibuku ada yang janggal, dan aku tak bisa menutup mata. Ketika masuk universitas, hal mengejutkan terjadi. Seni tak lagi prioritas. Aku tertarik pada hukum dan peradilan pidana, merasa terpanggil jadi detektif. Setiap langkah di universitas memperkuat keyakinanku. Seni? Itu hanya mimpi masa lalu. Sekarang, aku ingin mencari kebenaran. Dan aku akan memulainya dengan kasus kematian ibuku. Meskipun aku sudah sering terjatuh tapi aku harus terus bangkit, tidak ada yang tidak mungkin jika aku terus berusaha dalam hidupku.
0 Komentar