CERITA DARI PANGGUNG DUNIA
Naurah Valeria Azzahra - SMA IT Al-Ittihad
Bagaskara terbit dari ufuk timur menyinari seluruh kota, tanda bahwa para insan memulai harinya yang halai balai untuk bertahan hidup di dunia yang pelik ini. Gedung- gedung pencakar langit menjadi pemandangan di kota-kota besar di seluruh dunia. Derap kaki yang terdengar terburu-buru sudah menjadi kebiasaan sosok pria untuk dia memulai harinya di ibu kota. Arloji di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, helaan napas lega terdengar saat menyadari dirinya tidak terlambat untuk menemui sang atasan. Pintu diketuk sebanyak tiga kali hingga suara seseorang mentitahkannya untuk masuk.
“Permisi, tuan. Maaf sebelumnya, atas gerangan apa tuan memanggil saya?”
“Seperti yang engkau tahu, wahai tuan Bumi. Negara kita merupakan Negara berkembang, tapi tahukah Anda bahwa perkembangan kita disetiap tahunnya tidak lebih hanya mencapai 1,5% perubahan yang kita dapatkan.”
“Benarkah begitu tuan?”
“Ya, Sulit sekali rasanya untuk mencapai kesetaraan dengan Negara-negara lain di era globalisasi ini. Untuk itu, engkau sebagai duta Negara saya tugaskan untuk membuat perubahan besar di negri ini demi bersanding dengan Negara-negara maju di belahan dunia sana.”
Beban baru yang begitu berat bagai memikul berton-ton batu dipundaknya. Namun, tugas tetaplah tugas yang harus dia jalani meski resiko besar menanti. Bumi dipersilahkan untuk pulang lebih cepat, Sepanjang perjalanan pulang keningnya berkerut dalam, tanda betapa kalut isi kepalanya saat ini. Semilir angin yang menyejukkan membawa pergi dedaunan, tetap tak mampu untuk membawa pergi juga masalah yang begitu menumpuk di benak. Tidak ingin berlama-lama merenung, Bumi langsung saja memulai langkah pertamanya demi menciptakan perubahan di negri ini. Hari demi hari silih berganti, Bumi tidak sedikitpun mengalihkan atensinya dari tugas berat yang ia hadapi.
Lelaki itu terpontang panting bolak balik ke luar negri demi membangun relasi baik dengan Negara lain, Daksa rasanya hampir remuk karena harus berjam-jam duduk di dalam pesawat, Hingga sudah tiga bulan terlewati tapi usaha belum membuahkan hasil. Kalbu berusaha untuk mengaungkan kata menyerah namun rasanya logika menolak untuk mendengar itu semua. Sampai saat Bumi sudah mencapai batasnya, dia memutuskan untuk pulang guna mengistirahatkan raganya barang sebentar. Tanpa basa-basi langsung saja pria itu menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk. Ah, dia begitu merindukan kasurnya ini, seperti sudah berabad-abad tidak menyentuhnya. Perlahan-lahan mata itu tertutup, membawa jiwa itu jauh ke alam mimpi. Tak disangka- sangka saat kembali membuka mata, dirinya berada di suatu tempat yang pasti itu bukan rumahnya, bumi tentu tidak lupa belum lama ini dia masih terbaring di atas kasurnya, kenapa tiba-tiba dia sudah berada di tempat antah-berantah ini?
Apa ini masih kota Jakarta?
Kenapa begitu berbeda?
Bumi terus membatin dengan wajah yang masih terlihat linglung. Butuh waktu bermenit- menit untuk dirinya mengumpulkan kesadaran dan mencerna keadaan. Pria itu mengedarkan pandangannya, keadaan di sekelilingnya begitu kumuh, asap yang begitu tebal membuatnya terbatuk-batuk, gedung-gedung pencakar langitpun terlihat sedang dirobohkan. Membuat Bumi semakin tak yakin dia masih menginjakkan kaki di Jakarta. Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundak Bumi dari belakang, dia terkejut dan langsung menoleh ke belakang, Tenyata dia hanyalah seorang kakek yang sudah rimpuh, tersenyum hangat saat mata mereka bersitatap. Mata bumi membulat, tentu dia sadar siapa kakek tersebut, tapi dia masih tidak percaya.
“Hahaha. Ternyata di masa muda, saya begitu tampan” celetuk kakek itu jenaka. “Engkau...?”
“Ya. Seperti yang engkau pikirkan, wahai anak muda. Saya adalah engkau di masa tua”
“Maaf, tahun berapakah ini?”
“2050. Tepatnya pada tanggal 16 oktober 2050” Bumi terkejut setengah mati.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ini adalah kuasa tuhan yang membawanya kesini? Atau sebuah perjalanan waktu? Entahlah, semuanya terasa begitu berputar dibenak yang rasanya ingin pecah.
“Sungguh, aku tidak tahu menahu tentang keadaan yang ada di sini, tolong jelaskan kenapa Jakarta jadi seperti ini, tuan?” Kakek itu tersenyum getir. Menepuk pundak kokoh Bumi dua kali lalu menerawang jauh
ke depan sana. Terlihat seperti mengasihani nasib negri ini ini sekarang.
“Kamu tahu wahai anak muda. seperti yang engkau lihat, negri ini sudah kacau, angka kemiskinan yang semakin meningkat, korupsi yang meraja rela, pajak yang semakin hari semakin naik tidak terkira, kriminalitas yang dibiarkan begitu saja tanpa adanya tindakan dari mereka yang berwenang, dan juga inflasi yang semakin menyengsarakan rakyat.” Hati bumi rasanya ditusuk dengan ratusan jarum mendengar fakta itu, tatapannya kosong, tidak menyangka negri yang dicintainya menjadi seperti ini di masa depan. Apakah ini sudah menjadi takdir? apa takdir itu tidak bisa diubah?
Diubah?
Bisakah?
“Jika saya kembali ke zaman saya, apa yang harus saya lakukan untuk merubah takdir
ini, tuan?” Tanya Bumi penuh harap.
“Nak. Yang harus engkau lakukan ialah jangan berhenti berinovasi demi pembangunan dan kemajuan negri ini. Saya percaya bahwa anak-anak bangsa akan menjadi generasi yang membawa kita semua menuju Indonesia emas seperti yang kita impikan, tetap pertahankan nilai-nilai 5 sila itu di jiwa dan raga kalian”
“Jangan menyerah, tanamkan kata-kata ini di dalam hati nuranimu. Semoga Berjaya.”
0 Komentar