Romansa yang Membentuk Bangsa
Naufal Aulia Zuhdi - SMA IP ICBS RIAU
Lapangan sekolah itu dipenuhi dengan suara tepuk tangan yang menggelegar. Sulit dipercaya bahwa tepuk tangan yang meriah ini dipersembahkan hanya kepada satu orang yang baru saja selesai menyampaikan piadatonya di tengah lapangan. Orang yang baru saja berpidato itu kerap dipanggil dengan nama Naif. Di sekolahnya, Naif merupakan salah satu murid yang sangat populer. Naif terkenal dengan kehebatannya dalam berbicara di depan umum, ini bukan hal yang asing baginya, karena semenjak kecil, ia selalu bergaul dengan banyak orang di desanya, sikapnya yang ramah dan sopan membuat ia semakin dicintai banyak orang, karena kemampuannya inilah, ia dapat terpilih menjadi ketua Osis di sekolahnya. Jauh dari lapangan, seorang gadis jelita bernama Nadin sedang berdiri di depan jendela kelasnya yang berada di lantai dua, suara ricuh siswa yang bertepuk tangan di lapangan sekolah menemani renungannya. Namun dalam renungannya itu, nyatanya ia sedang memperhatikan sosok Naif yang sangat dikaguminya sejak lama. Nadin hanya seorang siswi biasa, ia tidak populer seperti Naif, dia hanya menghabiskan waktunya dengan menyendiri, membaca buku, menulis artikel tentang sastra, dan tentunya memperhatikan Naif dari kejauhan.
Waktu seakan tidak ingin berlama-lama, ia terus berputar tanpa peduli siapa yang tertinggal. Naif dan Nadin sudah semakin dewasa dan sudah memasuki usia 25 tahun. Sudah tidak ada lagi Nadin yang memperhatikan Naif dari jendela kelas, tidak ada lagi pesona Naif yang selalu membuat Nadin kagum, mereka sudah menjalani hidupnya masing-masing.
“Akhirnya selesai juga acara hari ini,” ucap Naif dengan nada kelelahan sambil melangkah keluar dari gedung tempat ia mengisi seminar. Tubuhnya yang tinggi dan selalu berpenampilan rapi mengenakan kemeja dan jas, memang menjadi daya tarik tersendiri dari pemuda tampan ini. Setelah keluar dari gedung tersebut, Naif langsung menuju sebuah kafe tempat dia dan dua temannya biasa berkumpul. Sesampainya Naif di kafe tersebut, ia dan teman-temannya mulai mengobrol santai sambil menikmati suasana kota yang begitu tenang di malam hari.
“Eh, ngomong-ngomong apa kau ada jadwal mengisi seminar untuk besok?” tanya Azwi kepada Naif yang baru saja menyeruput segelas teh.
“Oh iya, aku baru ingat, besok aku ada jadwal untuk mengisi seminar di Balai Bahasa” jawab Naif sambil meletakkan kembali gelas tehnya di atas meja.
“Oh... itu keren..., apa kau sudah mempersiapkan materinya?” sambung Arji yang semakin penasaran.
“Aku sudah mempersiapkannya dari jauh hari, seminar itu membahas tentang potensi bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa International.” Sambung Naif menjelaskan semuanya.
“Wah... terdengar semakin keren, semoga sukses ya...” sambung Azwi menyemangati Naif.
Esok harinya, Naif mengisi seminar seperti biasa, ia menjelaskan dengan sebaik mungkin kepada peserta mengenai potensi bahasa Indonesia yang selalu saja diremehkan untuk menjadi bahasa Internasional. Seminar ini diadakan oleh Balai Bahasa karena kekhawatiran mereka terhadap bahasa Indonesia. Globalisasi yang semakin laju, mengancam minimnya pengetahuan rakyat Indonesia mengenai bahasanya sendiri.
”Sikap yang positif dari penutur bahasa sangat penting untuk mendukung bahasa Indonesia” ucap Naif dengan semangat.
“Jika masih ada sikap pesimistik dari rakyat kita sendiri, lantas bagaimana bahasa kita akan berkembang?” sambung Naif dengan semangat yang sama. Seusai acara, Naif dikejutkan dengan seorang wanita bergamis hitam dengan jilbab abu-abu yang mendekatinya, Naif seperti pernah mengenal wanita tersebut di suatu tempat. Belum selesai Naif menebak, wanita itu menyapa terlebih dahulu.
“Hai Naif,” sapa wanita itu. “Hai... apa kita pernah bertemu sebelumnya?” balas Naif yang justru kebingungan.
“Nama saya Nadin, kita dulu satu SMA” ucap wanita itu meluruskan.
“Oh... kamu murid yang pendiam itu kan?” tanya Naif memastikan.
“Iya... ternyata kamu mengenaliku juga, aku pikir murid populer sepertimu tidak akan mengenaliku” balas Nadin sambil tersenyum tipis.
“Ada apa Nadin?” tanya Naif memulai topik.
“Aku sangat kagum dengan caramu berbicara di depan tadi mengenai bahasa Indonesia, aku ingin mengajakmu bekerja sama” balas Nadin sambil memeluk buku catatannya.
“Kerja sama seperti apa?” tanya Naif mengerutkan dahinya.
“Aku ingin menulis buku tentang isi seminarmu tadi, dan nantinya kau akan membuat seminar yang akan disiarkan melalui sosial media agar seluruh dunia mengetahui potensi bahasa Indonesia.” Jawab Nadin menjelaskan semuanya.
Mendengar ucapan Nadin, seketika Naif terdiam. Naif sangat kagum kepada wanita cantik yang berdiri didepannya yang memiliki cita-cita besar kepada bangsanya. Saat itu juga, tanpa sadar Naif mulai jatuh hati kepada Nadin.
“Halo...,bagaimana pendapatmu?” ucap Nadin menyadarkan Naif yang terdiam.
“Eh... aku setuju dengan idemu” ucap Naif menganggukkan kepalanya,
“Kapan kita mulai?” sambungnya bertanya.
“Bagaimana kalau besok?” ucap Nadin memberi saran.
“Baiklah, aku akan mulai mengatur jadwal.” Balas Naif bersemangat.
Percakapan singkat di lokasi seminar tadi telah berakhir dan mereka telah kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Ditemani udara dingin malam, Naif terduduk di kasurnya dan masih mengherankan perasaanya yang begitu aneh saat bertemu sosok Nadin itu. Dengan gamis hitam dan jilbab abu-abunya membuat Nadin benar-benar terlihat anggun sekaligus menawan.
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi” Naif memilih untuk segera mengakhiri malam agar bisa segera bangun di esok pagi.
Empat bulan telah berlalu, akhirnya buku yang mereka rancang dari awal, kini sudah diterbitkan. Rencana mereka ternyata berbuah manis, buku itu terjual banyak di semua toko-toko buku di Indonesia. Bahkan, penjualannya sampai ke luar negeri, banyak konten kreator yang memuji dan membahas buku mereka berdua. Naif dan Nadin melanjutkan rencananya untuk membuat seminar yang akan membahas isi dari buku yang telah mereka perjuangkan itu. Nadin selalu membantu Naif untuk menyiapkan materi yang akan dibawakan. Nadin begitu bahagia melihat sosok yang ia kagumi sejak di bangku SMA, kini bekerja sama dengannya. Begitu pula dengan Naif yang semakin jatuh hati kepada sosok Nadin. Besok adalah waktunya Naif akan mengisi seminar. Di depan jendela kamar, Naif termenung dan kembali memikirkan Nadin.
“Baiklah, aku akan melakukannya besok.” Naif membulatkan suatu keputusan, ia akan melamar Nadin saat ia selesai mengisi seminar, ia tidak ingin terlalu lama menyembunyikan perasaan anehnya yang terus saja dirasakannya setiap melihat pesona wanita itu. Lagi pula mereka akan bisa bekerja sama untuk seumur hidup. Esok paginya, saat Naif tiba di lokasi, ia memastikan semua pakaiannya telah rapi dan bersiap memasuki ruangan. Ia langsung mencari keberadaan Nadin yang dua hari lalu berjanji akan bertemu di depan ruangan. Ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri tetapi bola matanya tidak menangkap keberadaan Nadin. Sampai akhirnya ia melihat seorang wanita yang tidak ia kenal menuju ke arahnya.
“Apakah kamu bernama Naif?” tanya perempuan itu secara tiba-tiba.
“Iya, saya Naif, ada apa ya?” jawab Naif kebingungan.
“Perkenalkan, saya temannya Nadin, panggil saja saya Fani.” Ucap perempuan itu memperkenalkan diri.
“Oh... kamu temannya Nadin? Di mana dia sekarang? Aku dari tadi mencarinya” balas Naif bersemangat.
“Aku sebenarnya ingin menyampaikan pesan Nadin, ia selalu bercerita kepadaku bahwa dia sangat mencintaimu. Ia jatuh cinta kepadamu semenjak SMA, Ia sangat senang saat kau mau bekerja sama dengannya.” Ucap Fani.
“Ia benar- benar bersyukur telah mengenalmu, karena kamulah yang telah mewarnai hidupnya.” Lanjut Fani menjelaskan semuanya.
“Lalu di mana ia sekarang? Aku ingin mengatakan yang sama kepadanya,” timpal Naif semakin semangat.
“Nadin... telah meninggal dunia Naif.” balas Fani dengan suara yang mulai terisak dan kepala yang mulai menunduk.
“Gak.... gak mungkin..., aku masih berkomunikasi dengannya dua hari lalu, kamu bohongkan...?” jawab Naif dengan suara yang mulai gemetar dan badan mulai lemas.
“Aku tidak bohong, Nadin memang masih berhubungan denganmu dua hari yang lalu, namun malamnya, ia ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di atas sajadahnya. Jasadnya telah dikebumikan kemarin siang, aku ingin menghubungimu, tapi Nadin tidak pernah memberi nomormu, dan aku baru bisa menemuimu hari ini. Maafkan aku harus memberi tahumu kabar ini di hari yang seharusnya menjadi awal kalian bersatu.” Kini Fani benar-benar telah menjelaskan semuanya.
Seperti yang penulis ceritakan di awal, waktu akan terus berputar tanpa peduli siapapun yang tertinggal. Rencana mereka berdua harus diselesaikan oleh Naif walaupun Nadin tidak lagi bersamanya. Dengan hati yang sudah lebih tegar, Naif maju ke atas panggung dan menyampaikan semua materi yang telah ia rancang berdua dengan Nadin. Seluruh stasiun televisi merekam siaran langsung, puluhan reporter meliput
acara itu, seluruh dunia mendengarkan penjelasan Naif yang menggebu-gebu tentang pentingnya mencintai bahasa Indonesia. Ia terus berpesan terutama kepada kaum muda agar terus memelihara bahasa Indonesia, jangan biarkan semua kebudayaan bangsa hilang hanya karena berkembangnya zaman. Sesekali ia terdiam di atas panggung dan menyeka air matanya yang hampir jatuh karena teringat semua kenangan dan perjuangannya bersama Nadin. Di akhir seminarnya, Naif berkata kepada seluruh penonton
“Sungguh tuhan telah menciptakan sosok hebat yang mendorong saya untuk menjadi lebih kuat, itulah Nadin, nama yang paling pantas untuk dikenang dan bukan saya.”
Seluruh penonton di ruangan bertepuk tangan yang meriah, begitu pula yang menonton dari televisi, mereka ikut bertepuk tangan bangga karena bangsa ini memiliki putra-putri yang mampu mengubah nasib negeri. Walaupun Nadin telah tiada, buku hasil tulisannya masih terus beredar dan berusaha mewujudkan impian penulisnya. Naif ikut membantu cita-cita mulia yang diidamkan oleh pujaan hatinya itu.
“Kelak bahasa Indonesia akan mampu bersanding dan bersaing dengan bahasa-bahasa lainnya di kancah International. Terima kasih telah menciptakan batu loncatan untuk hal itu Nadin, sungguh terima kasih.”
-TAMAT-
0 Komentar