Harun Al Rasyid-SMAN 1 Siak
Kesunyian menyelimuti sepucuk surat yang tergeletak di depan pintu apartemenku. Keberadaannya mencolok. Tentu, jika orang lain menemukannya, ia akan bertanya, ―Siapa yang masih mengirim surat di zaman sekarang?‖ Namun, bukan itu yang tebersit di benakku, saat menemukan anomali di tengah era digital ini. Nama pengirim suratnya justru lebih menarik perhatianku. ―Adik?‖
Bagaikan langit dan bumi dalam menyatukan sebuah ideologi dalam satu darah, itulah aku dan adikku. Ideologi yang selalu menjadi pertentangan diantara kami. Dua bersaudara tak terpisahkan. Hal-hal kecil sekalipun selalu menjadi pemisah ideologi kami berdua.
Ketika adikku sesuatu yang baru, ―Kakak, lihat ada inovasi baru!‖ Aku akan menjawab, ―Jangan senang dulu, itu sulit, besar kemungkinan akan gagal.‖ Giliran aku berkata, ―Aduh, lihat berita konyol ini. Dia akan hancur!‖
Maka adikku merespon, ―Jangan pesimis dulu Kak, masih ada harapan!‖ Aku adalah seorang skeptis yang realistis dan adikku seorang optimistis yang idealis. Aku adalah seorang pemikir dan dia pemimpi. Ketika adikku berangan-angan ke atas awan, aku adalah orang akan menariknya kembali supaya berpijak di bumi.
Ah, mungkin kalian akan paham kalau aku menggunakan kata ―itu dulu.‖ Semua sudah berlalu. Memang, dulu aku dan adikku dekat, tetapi kami terpisah sejak lima tahun belakangan dan kami tidak pernah saling mengontak. Sama seperti banyak perpisahan lain, perbedaan memisahkan kami. Ketika SMP, aku ingat pernah berdebat dengannya soal inovasi bahan bakar baru. Waktu itu, sedang panas-panasnya isu bahan bakar biomas sebagai pengganti bensin,
―Kakak sudah lihat koran pagi ini?‖ celetuk adikku bersemangat. ―Ada penelitian bahan bakar ramah lingkungan. Namanya biomas, bahan bakarnya dari kotoran sapi. Kalau sukses, ini bisa jadi pengganti BBM lho, Kak!‖ Aku yang kala itu sedang sarapan langsung mengerutkan wajah masam.
―Tidak, tapi Kakak yakin itu akan gagal!‖ Seperti yang kubayangkan, adikku langsung menjawab, ―Kenapa, Kak? Kok pemikiran Kakak negatif begitu? Kan, bisa saja inovasi bahan bakar itu sukses?‖ ―Bahan bakar itu terlalu rumit proses pembuatannya, Dik. Energi yang dihasilkan tidak sepadan dengan modal pembuatannya,‖ kataku menjelaskan.‖ Coba pikir, berapa banyak kotoran sapi yang dibutuhkan untuk membuat biomas sampai bisa mencukupi kebutuhan masyarakat? Jadi, berapa banyak sapi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kotoran sebanyak tu? Apa lahan kita cukup untuk menampung mereka? Jangankan sapi, manusia saja sekarang berdesak-desakan.‖ Adikku merengut setelah mendengar penuturan tajamku. ―Tapi, kan, lebih ramah lingkuingan, Kak. Indonesia itu kaya akan keindahan alamnya, sayang kalau hancur gara-gara kita tidak menjaga.‖ Aku menahan tawa mendengar pembelaannya. ―Tidak ada gunanya. Alam Indonesia sudah rusak gara-gara keserakahan kapitalis. Isi bumi kita ditambang habis-habisan oleh perusahaan asing, flora dan fauna langka diperjualbelikan dan hutan
Indonesia yang katanya paru-paru dunia dibabat habis demi perkebunan kelapa sawit,‖ Aku mendengus getir, lalu kulanjutkan, ―Adikku, sumber daya alam Indonesia ini sudah dieksploitasi, cepat atau lambat akan sirna juga keindahan alamnya.‖ ―Tapi, kan, sedikit–sedikit lama-lama jadi bukan? Dari langkah kecil dululah, pembuatan bahan bakar biomas ini,‖ bantahnya keras kepalanya. ―Lihatlah skala perbedaannya, Dik. Orang kecil seperti kita, mana bisa menang melawan penguasa-penguasa seperti itu?‖ Aku menyelesaikan sarapanku. Bangkit dari kursi, mengambil tas sekolahku. ―Sudahlah, daripada sibuk memikirkan bahan bakar biomas, kamu fokus memikirkan sekolah saja. Habiskan sarapanmu, sebentar lagi kita berangkat,‖ kataku. Adikku melipat mukanya kesal, mau tak mau tutup mulut dan menurut, ―Iya, Kak.‖
Waktu merangkah sambil perlahan. Di masa SMA pun kami pernah berselisih pendapat, topiknya korupsi para pejabat yang beritanya disiarkan di televisi. ―Hancur sudah negeri ini,‖ gerutuku yang waktu itu sedang mengerjakan tugas, sambil sesekali menonton televisi. Tampak kepala daerah berompi oranye dengan tangan diborgol, digiring petugas kepolisian bak ternak tambun yang dibawa ke tempat penyembelihan.
―Bagaimana negeri ini mau maju jika uang rakyat terus saja dicuri tikus-tikus kotor itu? Meresahkan sekali, sia-sia kita rajin bayar pajak!‖ Adikku yang juga sedang mengerjakan tugasnya sepertiku hanya memasang ekspresi prihatin. ―Iya, tapi syukurlah tertangkap. Semoga orang yang menggantikannya lebih jujur dan amanah.‖
―Tidak mungkin, Dik! Tidak mungkin!‖ Aku menggeleng frustasi, ―Semua orang lurus sudah lenyap di pemerintahan kita saat ini. Mereka tertinggal di masa keemasan negeri kita. Yang tersisa sekarang, hanya oportunis yang mengincar jabatan demi kekuasaan dan kekayaan.‖
―Jangan melabeli hitam semua orang seperti itu, Kak,‖ tegurnya. ―Aku percaya, ada kok, orang baik. Mungkin saat ini tertutup oleh yang jahat, tapi kalau dicari, mereka yang benar-benar baik masih banyak.‖
―Tidak ada. Orang seperti itu tidak akan masuk ke pemerintahan sejak awal. Untuk apa mereka masuk ke tempat korup seperti itu?‖ bantahku jengkel.
―Untuk membuat perubahan, Kak. Menjadi pemimpin yang baik untuk negeri ini.‖
―Hah! Omong kosong!‖ Aku tertawa getir. ―Dik, dunia tak seperti yang kamu pikirkan! Tidak ada yang masuk pemerintahan dengan motivasi seidealogis itu! Ini dunia nyata, bukan cerita novel atau dongeng sebelum tidur!‖ Keningnya melipat kesal. ―Sudahlah, terserah kakak saja,‖ gumamnya sebelum kembali sibuk pada tugasnya.
Asa berlalu dengan saling mempertahankan ideologi masing-masing. Hingga perselisihan terakhir yang kuingat tentang pendidikan di negeri ini. Itu juga menjadi pertengkaran terbesar kami, dan penyebab putusnya kontak diantara aku dan adikku. Saat itu kiami sudah kuliah. Mendekati kelulusan, dua undangan beasiswa tiba mendatangi kami.
―Adikku, lihat Kita dapat beasiswa S-2 ke Jerman!‖ seruku waktu itu, mengagetkan Adikku yang sedang merevisi skripsinya.
―Apa? Kakak serius?‖ tanyanya girang. Aku mengangguk, menyerahkan surat undangan beasiswa di tanganku untuk dibacanya. Sama sepertiku, adikku awalnya membaca dengan raut wajah cerah. Namun, beberapa saat kemudian alisnya berkerut, wajahnya tiba-tiba berubah gelap.
―Apa ini? Kok, ada persyaratan pindah warga negara, kak?‖
―Eh?‖ Kuambil surat itu dan kubaca lagi.
―Benar juga.... Terus?‖
Adikku langsung berseru marah, ―Terus? Kakak belum paham? Kita harus membuang kewarganegaraan kita! Aku tidak mau!‖ Sekarang, giliran wajahku yang berubah gelap.
―Apa? Kenapa tidak? Kamu mau membuang kesempatan emas ini?‖
―Tentu saja!‖ jawabnya. ―Kalau bayarannya adalah mengkhianati tanah air, lebih
baik kubuang kesempatan emas itu! Masih banyak beasiswa lain yang bisa kudapatkan!
Toh, kalau tidak pun, banyak yang bagus di dalam negeri. Kuliah ke luar bukan
segalanya!‖
Darahku seakan menggurah dada mendengar jawabannya. Memilih belajar di
sini dibanding di negara maju? Memang dia tidak tahu level pendidikan negeri ini?
Larut dalam emosi, aku kelepasan bicara, ―Pedidikan negeri ini sampah.‖
Mendengarnya, adikku langsung mendelik murka, ―Apa kakak bilang?‖
―Ya, pendidikan negeri ini sampah!‖ ulangku dengan nada menantang. ―Tidak,
bukan hanya pendidikan, seluruh negeri ini memang sampah. Negeri ini tidak punya
masa depan! Memilih diam di sini berarti kamu membiarkan bakatmu terkubur di
kubangan lumpur. Lebih baik pindah sekalian jadi warga negara lain, setidaknya di sana
kita punya masa dep—―
Belum sempat kuselesaikan ucapanku, sebuah tinju menerjang, menghantam
wajahku, Adikku memukulku.
―Apa-apaan kamu?‖ Seruku marah.
―Kakak yang apa-apaan!‖ balasnya tak kalah murka. ―Bisa-bisanya bilang negeri
sendiri tidak punya masa depan! Kakak tidak punya hati?‖
Aku menggemeretakkan gigiku, marah. Aku muak dengan semua idealisme dan
optimisme bodohnya.
―Tampaknya, Kakak perlu menyadarkanmu, Dik,‖ desisku sinis, ―Realitas tidak
seindah yang kamu harapkan. Mimpi dan tekad semata tidak mungkin membawamu
maju;. Negeri ini tidak memiliki dasar, apalagi dukungan yang bisa mendorongmu
sukses mengembangkan potensi dengan maksimal.‖
Nafasku seakan berlarian diantra ketadrel keretaapi, sebelum akhirnya menatap
tajam ke arahnya. ―Pernahkah kamu mendengar lagu ―Ibu Pertiwia‖? Lagu itu kurasa
cukup pantas menggambarkan kondisi kita saat ini,‖ ujarku. Untuk membuktikan, aku
pun bernyanyi.
Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas intannya terkenang
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa
―Negeri ini hancur, Ibu Pertiwi menangis. Hentikan idealisme dan optimisme
berlebihan seperti itu. Dewasalah! Hadapi realitanya sekarang!‖
Aku berbalik, membelakangi adikku yang wajahnya masih merah padam.
Kusodorkan kembali kedua undangan beasiswa itu padanya.
―Pikirkan ucapanku baik-baik,‖ tegasku sambil menepuk pundaknya, kemudian
pergi meninggalkannya ke kamar untuk mendinginkan kepala.
Keesokan harinya, ketikda kembali menghampiri adikku, kukira dia sudah sadar
dan melepaskan idealismenya setelah merenung semalaman. Ternyata, jawaban adikku
berbeda dari apa yang kuharapkan.
―Maaf, Kak, aku tetap tidak mau. Kakak ambil saja beasiswa itu sendiri, aku
tidak keberatan kehilangan kesempatan. Bagiku negeri ini lebih penting. Aku akan
bertahan di sini dengan pilihanku dan kubangun Indonesia hingga punya masa depan.‖
==*==
Lima tahun kami mengurai waktu bersama bumbu kehidupan. Kupandang surat
di tanganku, komunikasi pertama yang dikirim adikku setelah lima tahun kesunyiannya.
Sejak tinggal di sini, aku tak pernah absen mencoba menghubunginya. Aku selalu
membujuknya lagi dan lagi untuk meninggalkan negeri bobrok itu, supaya mau ikut
denganku. Aku tetap berharap ia meraih masa depan yang cerah sebelum terlambat.
Namun si keras kepala itu tak pernah sudi mendengarkan aku. Hati batgunyua tidak mau
luluh. Jangkan menurut, dia malah memutus komunikasi dan mendiamkanku sampai
sekarang.
Lalu, apa yang membuatnya tiba-tiba menghubungiku saat ini? Lengkap dengan
gaya dramatisnya, tidak mengirim surel seperti orang normal, melainkan surat seperti
film-film. Aku mendengus. Sebenarnya di satu sisi aku ingin mengabaikan suratnya
dengan harapan dia juga tahu rasanya diabaikan. Namun, di sisi lain aku juga penasaran.
Jika surat itu tak penting, tidak mungkin dia sampai bersusah payah melayangkannya ke
sini. Rasa penasaranku ternyata menang. Kubuka surat itu dan kutemukan sepatah
kalimat singkat tertulis di dalamnya. Kak, pulanglah, biar kutunjukkan sekarang.
==*==
Kata-kata dalam surat tersebut menusuk ke relung palung hatiku, hingga aku
menggerakkan tangan mendorong koper keluar terminal bandara, memijakkan kaki
kembali ke tanah air yang kubuang lima tahun lalu. Tak banyak berubah rupanya.
Kulepaskan pandangan, mencari sosok yang sudah lama tak kujumpai.
―Kakak!‖ seruan familier memanggilku diantara lautan penjemput.
Kulirik arah suara itu dan kulihat adikku yang telah tumbuh dewasa melambai
padaku dengan senyum lebar. Kini dia sudah dewasa. Tingginya sekarang sudah
sepantar denganku, bahunya lebih lebar, dan suaranya jadi lebih berat dari saaat terakhir
kami bertemu. Dia juga memakai sebuah rompi dengan lambang suatu organisasi di
dadanya.
―Adik,‖ sapaku mendekatinya. Rasanya agak canggung karena lama tidak
bertemu, tapi tampaknya itu tidak menurunkan semangat adikku yang langsung
merangkul dengan akrab.
―Lama tidak bertemu. Kakak sehat?‖ tanyanya.
―Iya, Kakak sehat.‖
Kami bertukar salam dan berbasa-basi selama beberapa menit, sebelum akhirnya
aku kembali mengingatkan tujuan awalku pulang ke negeri ini.
―Katanya ada yang mau kau tunjukkan. Apa itu?‖
Ocehan adikku terputus, dia pun menyeringai dan menarikku masuk ke
mobilnya.
―Sini, ikut aku, Kak, akan kutunjukkan langsung.‖
==*==
Kucoba membaca kenangan di setiap langkah perjalananku, hingga berakhir di
sebuah perkemahan. Lokasinya di pelosok, cukup terpencil. Di sana kulihat tenda-tenda
berlambang sama dengan rompi adikku.
―Ini bakti sosial?‖ tanyaku heran.
Adikku mengangguk. ―Ini perkemahan Ibu Pertiwi, Kak. Organisasi yang
kudirikan sejak lima tahun perpisahan kita.‖
Aku tertegun. Adikku lalu menarik tanganku dan membawa kami ke sebuah
bangunan kecil. Di sana terlihat beberapa rekan mengenakan rompi yang sama.
Sepertinya mereka itu sedang mengajar anak-anak kecil yang berpenampilan lusuh.
―Ini adalah sekolah harapan. Karena daerah ini terpencil dan miskin.
Kebanyakan anak tidak bisa bersekolah formal. Aku dan rekan-rekan mendirikan
sekolah-sekolah kecil seperti ini untuk mengajarkan mereka. Selain sekolah kecil, di
posko yang lain, kami juga punya sanggar kerajinan, koperasi usaha dan pusat pelatihan
keterampilan,‖ tuturnya bangga.
Dia menarikku lagi ke sebuah tenda dan menunjukkan pigura potongan berita
koran.
―Ini saat kami ikut demokstrasi. Selain demonstrasi tentang masalah
pemerintahan, kami juga secara berkala mengadakan kampanye isu-isu sosial dan
lingkungan. Kami organisasi nirlaba dan jangkauannya mencapai pelosok-pelosok
negeri.‖
Adikku masih meneruskan penjelasannya, tapi aku sudah tidak memperhatikan
lagi. Mataku terkunci pada jajaran piagam, mendali dan sertifikat yang digantung
menghiasai tenda. Kupandangi semua pencapaianku di Jerman. Tak lebih dari sekadar
karyawan biasa di perusahaan setelah lulus.
―Kakak?‖ panggilan adikku menarik kembali perhatianku dari lamunan.
―Bagaimana? Apa pendapat Kakak?‖
Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Pada akhirnya aku hanya bertanya,
―Apa alasanmu memperhatikan semua ini?‖
Dia mengerjap, ―Maksud Kakak?‖
―Apa maksudmu memamerkan semua pencapaianmu ini? Aku tidak mengerti.
Apa ini untuk menyindirku? Sepertinya kamu ingin menunjukkan bahwa dirimu yang
menatap di negeri ini berhasil, jadi lebih sukses daripada diriku yang pergi ke luar
negeri?‖
Rasanya pahit dan getir memenuhi hatiku. Memang benar. Kulirik dia,
memperkirakan ekspresi bangga atau semacamnya, tetapi tidak. Dia justru menatapku
dengan ekspresi tidak terdeskripsikan.
―Tidak, aku hanya ingin menunjukkan salahnya perkataan Kakak waktu itu.‖
Kali ini giliranku mengerutkan alis.
―Waktu itu kan Kakak bilang negeri ini tidak punya masa depan. Alamnya
hancur, pemerintahannya bobrok dan pendidikan sampah jika dibandingkan dengan
negeri lain. Nah, aku sekarang menujukkan benih-benih yang kutanam dengan rekan-
rekanku di negeri ini. Semuanya telah menjadi tunas-tunas kecil, awal sebuah
perubahan. Bukankah ini menepis perkataaan kaak dulu?‖ tuturnya tegas. Dia menarik
nafas, lalu menatapaku dekat-dekat sambil menambahkan, ―Apa Kakak ingat
pertengkaran terakhir kita? Saat Kakak menyanyikan lagi ―Ibu Pertiwi‖ stanza pertama.
Aku mengangguk. Memori itu, tentu saja aku ingat.
―Perkataan Kakak benar,‖ lanjut adikku. ―Pada saat itu, negeri kita memang
hancur. Sama seperti apa yang Kakak nyanyikan, tapi, Kakak hanya menyanyikan
stanza pertama. Lagu itu juga punya stanza kedua, Kak.‖
Tanpa aba-aba, dia pun bernyanyi
Kulihat Ibu Pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah, putra-putri
Menggembirakan Ibu
Ibu, kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa
―Stanza pertama adalah tentang kejatuhan, tapi stanza kedua tentang
kebangkitan. Lagu ini tidak bisa dinyanyikan setengah-setengah atau maknanya tidak
akan tersampaikan dengan lengkap,‖ tutur adikku.
Dia kemudian merogoh rompinya, lalu mengambil secarik kertas dalam map
tipis. Ketika dibuka, isinya surat formal yang langsung membuat mataku terbelalak.
Lowongan pekerjaan, konsultan perencana organisasi.
―Kaka kuminta datang bukan untuk kuolok-olok. Selain menunjukkan
pencapaianku, aku juga ingin mengajak Kakak bergabung dengan kami,‖ tuturnya.
―Kakak adalah pemikir realistis. Orang seperti aku bisa membuat ide gila, tapi orang
seperti Kakak dibutuhkan untuk merealisasikan ide itu dan menjaganya agar tidak
melewati batas. Aku sudah memulai perubahan di negeri ini, jadi maukah Kakak pulang
dan membantuku?‖
Lidahku serasa kelu. Untuk waktu cukup lama aku tidak bisa menjawab.
―Tidak bisa,‖ bisikku pada akhirnya.
Ekspresi wajah adikku langsung berubah cemas. ―Kenapa tidak bisa? Apa ini
masih kurang? Apa perubahan yang kutanam belum cukup meyakinkan Kakak untuk
bergabung?‖
Aku menggeleng, ―Masalahnya bukan kamu, bukan pula negeri ini. Masalahnya
adalah aku,‖ tuturku menundukkan wajah, tiba-tiba merasa tak punya muka untuk
menghadapi adiku sekarang.
―Aku salah dan sekarang aku merasa malu untuk pulang. Dulu, aku mengolok-
olok sampai membuang negeri ini, jadi mana bisa dengan mudahnya ku sekarang
kembali?‖
Adikku terdiam. Namun, setelah keheningan beberapa saat, dia pun berkata,
―Lagu stanza pertama belum selesai tanpa stanza kedua. Dan stanza kedua tidak bisa
dinyanyikan tanpa yang pertama.‖
―Maksudmu?‖ Aku mengerutkan alis.
―Aku adalah stanza kedua dan Kaka adalah stanza pertamanya. Seperti yang
kubilang tadi, lagu ―Ibu Pertiwi‖ tidak bisa dinyanyikan setengah-setengah. Kalau
seperti itu, maknanya tidak akan lengkap.‖
Aku mengerutkan alis, ini dunia nyata, bukan cerita film. Mana boleh
mengibaratkan hidup seperti lagu? Namun seluruh pencapaiannya kembali
merundungku. Adikku telah mengambil pilihan gila. Ia mengejar mimpi yang seperti
omong kosong, tetapi dia berhasil mengubahnya menjadi kenyataan. Apa aku bisa
mempercayainya kali ini?
―Kalau aku kembali, apakah Ibu Pertiwi masih mau menerima putra sepertiku?‖
―Tentu saja. Yang Kakak khawatirkan itu omong kosong. Tentu, seorang ibu
akan selalu menunggu putra-putrinya pulang.
Entah mengapa, semua terasa masuk akal sekarang. Layaknya orang tua, Ibu
Pertiwi seperti membuka lengannya dan siap menyambutku, menerima putranya. stanza
yang hilang kembali ada di depan mata. Mungkin seperti yang dikatakan adikku, negeri
ini masih punya masa depan.
―Baiklah, kakak akan pulang,‖ kataku dengan bibir gemetar.
0 Komentar