Dibalik Topi Kuning - Olivia Anatasya


DIBALIK TOPI KUNING 
OLIVIA ANASTASYA - SMA N PINTAR PROVINSI RIAU

“Selamat tahun baru bagi rakyat Indonesia! Berita terkini, pemerintah mulai menerapkan program penggunaan bahasa internasional saat proses belajar- mengajar di seluruh sekolah, termasuk universitas,” suara announcer di televisi menghantarkan kabar yang seharusnya menggembirakan. Namun, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, terutama pelajar dan mahasiswa, ini justru terasa seperti badai yang menerpa harapan mereka. 1 Januari 2045, seharusnya menjadi titik awal yang menjanjikan bagi generasi penerus bangsa. Namun, di luar gedung Kemendikbudristek, sorakan penolakan bergemuruh. 

“MEMAJUKAN PENDIDIKAN INDONESIA? OMONG KOSONG!” teriakan penuh kemarahan menggema, diiringi lemparan gas air mata yang membuat suasana semakin mencekam. Kepulan asap menyelimuti kerumunan, mengubah wajah harapan menjadi kepanikan. 

Di tengah kerusuhan, seorang mahasiswi dengan topi kuning kusut berdiri terpaku. Ia menatap spanduk besar bertuliskan, “Bagaimana negara ini akan maju sedangkan bahasanya sendiri diasingkan?” Ia kemudian menunduk, memperhatikan sepatu putihnya yang sudah tidak lagi bersih. 

“Apakah ini maksud dari Indonesia Emas 2045?” gumamnya pelan, pertanyaan itu sedari tadi menari di pikirannya, bak melodi yang tak kunjung usai.

“OYA!!” suara keras menariknya kembali. Gadis dengan name tag “Oyana Aurelia” itu menoleh dan menemukan Hasya.

Gadis yang akrab dengannya, terengah-engah dengan napas tak teratur. Melihat gantungan kunci persahabatan di tas Hasya, Oya tersenyum meski hatinya masih terasa berat. “Hasya, menurutmu bagaimana nasib kita selanjutnya?” tanyanya, menatap langit yang dipenuhi asap.

Hasya menarik lengan Oya, berusaha menjauh dari kerumunan. 

“Ayo, kita cari tempat aman. Kita tidak bisa membahas ini di sini,” ujarnya, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran. Mereka berjalan berusaha menjauhi kerumunan. Dan sampai lah mereka di sebuah Cafe kecil, tempat bersejarah yang telah menemani perjuangan mereka hingga titik ini. Hasya mengajak Oya untuk duduk di pojok cafe, memandangi jalanan kota yang sunyi menunggu harapan baik yang mungkin akan datang pada mereka. Oya melepaskan topi kuning kesayangannya dan menaruhnya di atas meja. Mendongakkan kepala, menunggu sahabatnya menjawab pertanyaan yang sedari tadi mengambang.

“Huh, mau bagaimana lagi, Ya? Kita tidak bisa menolak pemerintah untuk memberhentikan program ini. Bocah ingusan seperti kita mana mungkin di dengar orang egois seperti mereka,” Helaan panjang yang terdengar seperti putus asa mengiringi jawaban Hasya. 

Ia dilanda kebingungan, mereka hanya para pelajar yang seharusnya cukup mendengarkan perintah dari atas dan melaksanakannya. Mereka tidak bisa ikut campur.

“Jadi kamu pasrah, Sya? Kamu tidak mau memperjuangkan sesuatu yang seharusnya dipertahankan di negara kita ini?” Oya kembali bertanya, menekankan pertanyaan dengan maksud untuk menyadarkan sahabatnya yang memiliki pendapat tidak sejalan dengannya.

“Oya, berhenti bertingkah seolah-olah kita bisa mengubah banyak hal. Kamu harus belajar dari pengalaman kakak tingkat kita, bagaimana mereka waktu menentang pernyataan orang atas!” Pemikiran yang sangat bertolak belakang tampaknya tidak juga membuat Oya menyerah. Ia berdiri dari kursinya, sedikit kasar dan menghasilkan bunyi yang mampu menyita perhatian sebagian pengunjung. 

“Ya sudah, kalau kamu memang tidak mau memperjuangkan hak kita. Kadang pemikiran orang-orang sepertimu yang membuat Indonesia bukannya tambah maju malah tambah mundur,” ujarnya, sambil memakai topi kuning yang sempat ia lepas.

“Bukan itu maksu—udku” Tidak sempat melanjutkan ucapannya, Oya sudah berjalan pergi meninggalkan
Hasya sendirian. 

“OYA!! DENGARKAN DULU, OYA!!” percuma, satu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Hasya sekarang. Sahabatnya itu tidak akan mendengarkan perkataanya lagi.

***

2 Januari 2045

“Selamat pagi bagi seluruh rakyat Indonesia! Berita terkini, Gedung Kemendikbudristek kembali dipenuhi dengan ratusan pelajar yang menolak keras program baru pemerintah, apakah program ini akan memberi dampak baik bagi negara kita?” Lagi dan lagi suara announcer televisi menghantarkan kabar yang sepertinya belum juga ada kemajuan

“MASIH DIPELUK SETAN, ALERGI PERADABAN, ALERGI KEMAJUAN, MENDORONG KEMUNDURAN!!” Teriakan para pelajar menyanyikan sedikit lirik lagu lama dari salah satu band top Indonesia, yang sepertinya sangat menggambarkan peradaban Indonesia saat ini. 

Berbagai benda dilemparkan ke arah gedung, lebih tepatnya ke arah kerumunan polisi yang sedang berusaha membuat benteng perlindungan. Termasuk Oya, gadis dengan ciri khas topi kuning itu sudah berdiri di tengah banyak orang sambil ikut berteriak. 

“KEMBALIKAN INDONESIA KAMI!!” diiringi dengan berbagai sorakan di belakang, saling sahut menyahut, mengguncang pagar gedung yang menjadi tempat mereka menyuarakan pendapat. 

DOR 

Suara pertama, terdengar seperti suara tembakan yang berasal dari arah belakang. Tetapi, itu tidak membuat para pelajar yang sedang bersorak untuk berhenti. Malahan mereka semakin menjadi-jadi.

DOR

Suara kedua kembali terdengar. “AKHH!!” teriakan dari belakang menandakan peluru melesat tepat mengenai salah satu pelajar. Mendengar hal itu, mampu membuat para pelajar sadar sehingga mereka berlarian kesana kemari. Menjauhi kerumunan agar tidak menjadi korban selanjutnya.

“AWAS SEMUA!! BANYAK POLISI BERSENJATA DIBELAKANG!!” Oya yang berada di kerumunan bagian depan kebingungan melihat sebagian orang sudah berpencar. Ia terkejut ketika seseorang yang tak ia kenali menarik tangannya, kemudian kembali melepaskannya. Seperti bermaksud mengajaknya menjauhi kerumunan. Oya terdiam sebentar, otaknya tiba-tiba tidak mencerna kejadian ini dengan baik. Seakan paham dengan situasi, Oya segera berlari sekuat tenaga, mendorong siapapun yang menjadi penghalangnya.

BRUKK

Seseorang menyenggol bahunya dari arah belakang yang membuat dirinya terjatuh dan topi kuningnya terlempar kedepan. Ia meringis, melihat kedua lututnya tergores dan sedikit mengeluarkan cairan merah. Akan tetapi, ia kembali sadar dan segera berdiri mengambil topinya yang mulai menjauh akibat tertendang orang-orang yang sedang berlari.

“OYA!! AWAS!!”

DOR

Tembakan ketiga dilepas.

***

26 Oktober 2050

Layar laptop yang awalnya menampilkan cahaya, mulai menghitam, menandakan pemiliknya sudah selesai menggunakannya.

“Hasya Dwinata, apakah ceritamu sudah siap?” Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu mendongak. Menatap lelaki paruh baya yang berdiri di depan mejanya. 

“Sudah, Pak.” menyerahkan file yang sudah ia kerjakan selama 1 minggu terakhir.

“Dibalik topi kuning? Judulnya terdengar aneh, ya.” Hasya tersenyum kecil mendengarnya. 

Menatap sebuah topi kuning yang ia pajang di atas meja kerjanya. Hasya Dwinata. Perempuan yang dulunya hanya seorang anak remaja labil, kini telah menjadi penulis buku yang dikenal seluruh masyarakat Indonesia. Cerita yang ia tulis selalu realistis, sehingga membuat siapapun yang membacanya merasa seperti berperan di dalamnya. Perempuan yang selalu menjadi pedoman bagi sahabatnya yang telah lama berpulang.

“Iya, pak. Ceritanya saya angkat dari pengalaman saya bersama satu sahabat saya tentang kejadian 5 tahun yang lalu, Pak.” 

Peristiwa 2 Januari 2045. Kejadian yang akan selalu membekas di ingatan seluruh masyarakat Indonesia, terutama mereka yang ikut serta dalam aksi demo itu. Pengorbanan para pelajar yang tetap memperjuangkan haknya melalui suara dan berbagai surat. Pengorbanan Oyana Aurelia, gadis yang rela bertumpah darah demi negaranya tercinta ini, Indonesia Pusaka.

SELESAI



Posting Komentar

0 Komentar