Mimpi Dari Desa - Aisya Zafira


Mimpi Dari Desa
Aisya Zafira - MAN 2 Kota Pekanbaru


KRINGG*

Suara bel memecah keheningan dan menggema di seluruh lorong, menandakan seluruh siswa dapat beristirahat dari penatnya belajar di sekolah. Derap kaki mulai terdengar di sepanjang lorong, para siswa mulai menuju ke kantin dan menyantap jajanan yang ada atau sekedar bermain bola di lapangan, tetapi tidak dengan Ali. “Beasiswa luar negeri...” gumamnya, hatinya bergetar oleh harapan yang bercampur pesimis. Sejenak ia tenggelam dalam lamunan, sebelum suara memecah kesunyian. 

“ALIIII!” Teriakan Nisa mengejutkannya. 

“Astaga, kaget ya Allah,” gumamnya sambil menoleh. Nisa, teman sekelasnya, berdiri di belakangnya dengan senyum jahil. 

“Yuk, balik ke kelas. Jam istirahat udah habis,” ucap Nisa.

Ali pun tersadar bahwa jam istirahat telah habis. Setelahnya, Ali menuju ke kelas ditemani Nisa. Ditengah perjalanan, Ali merasakan butiran air yang jatuh tepat dirambutnya. Ali mulai mendongak keatas dan menatap langit. Awan hitam mulai mendominasi langit dan angin berhembus kencang. Ali dan Nisa pun menyadari bahwa sebentar lagi akan turun hujan dan mulai mempercepat langkah mereka.

Suara kursi kayu yang berdencit dan tetesan air hujan dari atap yang bocor mulai terdengar sesaat mereka tiba dikelas. 

"Nakk, tolong ambilkan ember disituu." Guru kesayangan Ali mulai memanggilnya dan meminta tolong membawakan ember.

"Iyaa, ini bun" dengan tangan yang basah, Ali memberikan ember kepada bu darmi. Bu darmi adalah guru bahasa inggris yang sudah dianggap orangtua bagi Ali, ia juga sekaligus istri ketua RT. Semua anak sigap mengambil ember lebih dan mengelap lantai dengan tikaran pintu. Hal ini memang selalu terjadi di sekolah Ali, sekolah yang minim fasilitas dan memiliki bangunan yang sederhana lalu berada di desa terpencil.

Dinding sekolahnya terbuat dari kayu, lalu sinyal pun tak terdapat di desa terpencil ini. Tetapi, meski sekolah ini memiliki banyak kekurangan, semangat Ali tidak patah. Ali tetap memiliki impian besar dan bercita-cita dapat berkuliah di luar negeri, membanggakan kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Ia tetap ingin menjadi orang sukses dan merantau dengan beasiswa yang ada di papan pengumuman tadi. Harap-harap dengan adanya beasiswa itu, Ali bisa membanggakan ketua orang tuanya dan membuktikan kepada dunia bahwa seorang anak desa pun bisa menjadi orang yang hebat.

srett*

Ditengah kesunyian kelas, terdengar bunyi halus kapur yang bergesekan dengan papan tulis. Detikan jam yang terdengar tegas di sudut ruang, membuat suasana pelajaran semakin khidmat. Ali menempatkan dagunya di atas lengan kanan dan merebahkan kepalanya diatas meja, berpikir termenung lemas "Bagaimana ya, aku bisa mendapatkan beasiswa itu?" ucapnya berbisik kecil.

"Belajar yang rajin li, trus banyak-banyak berdoa, minta sama yang diatas," ucap Nisa yang sedari tadi melihat Ali lemas dan termenung. 

Ali seketika ingin menyela perkataan Nisa, tetapi Nisa langsung menambahkan 

"Aku tau Li, sekolah kita terpencil dan minim fasilitas, tapi semangat kamu gaboleh patah ya lii. Aku yakin anak petani seperti kita pasti bisa menjadi orang sukses." Mendengar kata yang diucapkan Nisa, Ali seolah terbangun dari keterpurukannya. Perlahan, kesadaran menyelusup ke dalam dirinya, dan kobaran semangat mulai menyala, membakar hatinya dengan tekad yang baru.

krik* krik* krik*

Suara jangrik yang bersahut-sahutan memecah keheningan malam, udara malam yang terasa sejuk mulai menusuk ke kulit seperti sapuan embun tipis. Kepala Ali bertopang diatas lengan kanan dengan raut wajah yang lesu. Sedari tadi ia berada di meja belajar dan memikirkan ucapan Nisa yang terus melintasi kepalanya. Ucapan Nisa mulai memberikannya motivasi untuk merancang rencana masa depan. 

"OH aku tau!" sontak Ali mendapatkan ide tentang rencananya untuk mendapatkan beasiswa. Tangan Ali sigap mengambil selembar kertas putih dan sebuah pena. Ia mulai mencatat seluruh rencana yang muncul di pikirannya. 

"Nah, ini diaa. Aku akan membuat jabwal belajar ku dan menambahkan pelajaran tambahan untuk mengasah kemampuan." itu ujarnya, rencananya di masa depan kini ia susun demi mendapatkan beasiswa yang ia impi-impikan.

"Eh, sepertinya aku harus lebih banyak belajar bahasa inggris." Kalimat tersebut terucap dimulutnya, mengingat beasiswa yang ia inginkan adalah beasiswa luar negeri. Ali seketika teringat akan Bu Darmi, guru bahasa inggris sekolahnya yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri. 

"Oh iya, kalau begitu aku minta tolong ke bu darmi saja hehe." 

Kini, rencana Ali untuk meraih beasiswa pun semakin mantap. Dengan penuh tekad, Ali berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjalani hari-hari mendatang dengan semangat belajar yang tinggi. Langit di ujung cakrawala mulai menghangat, rona jingga lembut merayap perlahan, menggantikan kegelapan malam. Cahaya matahari mulai memenuhi celah-celah pepohonan. Suasana pagi kelas yang hening dan kosong mendapati Ali yang bersemangat belajar untuk memulai rencana beasiswanya. Ali duduk sendiri dengan giat mengerjakan seluruh soal yang telah ia siapkan tadi malam.

Matahari pukul 7 pagi mulai menampakkan dirinya, sinarnya hangat namun belum terlalu terik. Ditengah kesibukannya, Ali menoleh kebelakang, melirik pada satu jam di sudut ruang, jarum jamnya sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ali kembali menatap ke depan dengan fokus yang baru. Setelah sejenak terdiam, ia melanjutkan mengerjakan soal latihan di hadapannya, setiap angka dan huruf dikerjakannya dengan penuh keseriusan, seolah tak ingin ada satu pun kesalahan terlewat.

"Selamat pagi Alii!" disudut pintu, terdengar sapaan pagi Nisa yang lembut.

Ali menoleh kearah suara tersebut berasal lalu menanggapi "Selamat pagi Nisa!"

Ali membalas sapaan Nisa dengan senyum yang hangat. Sontak, Nisa melihat dan tersadar akan tumpukan buku yang berserakan di meja Ali. Nisa pun menyadari bahwa Ali sedang giat belajar demi mendapatkan beasiswa impiannya itu.

"Wahh, lagi belajar ya li? yang semangatt yaa, aku doakan kamu pasti bisa mendapatkan beasiswa ituu." Nisa memberi semangat. 

"Hehe tau aja Nisa, makasi yaa." Ali terkekeh memberikan jawaban. 

Pelajaran telah pun dimulai, suasana kelas kini kian mulai gaduh, juga dipenuhi dengan suara guru yang menjelaskan materi dengan antusias. Di tengah sorak ramai, Ali terlihat aktif, mengangkat tangan dengan semangat setiap kali ada pertanyaan. Dengan teliti, ia mencatat setiap informasi yang disampaikan. Pena menari-nari di atas kertas, seolah ingin menyerap semua pengetahuan yang ada. Perubahan sifat Ali dirasakan oleh sebagian besar teman-temannya, melihat Ali yang lebih rajin daripada biasanya membuat seluruh teman Ali bertanya-tanya "Ada apa dengan Ali?" dalam batin seluruh teman-temannya.

KRINGG*

Bel sekolah berdentang nyaring, memecah keheningan ruang kelas dan menggema di sepanjang lorong. Suaranya menjadi isyarat yang ditunggu-tunggu, menandakan waktu istirahat telah tiba. Sejenak, suasana berubah; buku-buku ditutup, kursi-kursi berderit, dan para siswa mulai beranjak dengan wajah ceria, siap menyambut jeda dari rutinitas pelajaran. Teman-teman Ali yang sedari tadi memerhatikannya pun menghampiri dan bertanya 

"Ali, kenapa kamu tiba-tiba serajin ini?" Ali membalas

"Aku ingin mendapatkan beasiswa di papan pengumuman itu." Mendengar jawaban Ali, seluruh temannya pun terkekeh menertawakannya. 

"Hahaha, ya Allah li. Memangnya sekolah terpencil kita ini bisa dapat beasiswa? toh, ujung-ujungnya kita bakal menjadi petani di desa ini."

Saat Ali menyampaikan impiannya, teman-temannya terkekeh, menganggap cita- cita itu tak mungkin tercapai di sekolah terpencil mereka. 

"Hahaha, Ali, mana mungkin sekolah kita bisa dapat beasiswa? Toh, kita semua akan jadi petani di sini,"
ucap salah satu dari mereka, penuh pesimisme. 

Namun, Ali tetap teguh, meski ia jadi menyadari betapa teman-temannya sudah kehilangan harapan, terjebak dalam rasa putus asa karena pendidikan di desa ini hanya sekadar formalitas. Malam itu, Ali Kembali belajar dengan giat dengan melanjutkan rencanya demi beasiswa. Ditengah gelapnya malam, terpancar remang-remang lampu minyak yang mengisi seluruh kamar ali. Dengan bermodalkan buku-buku usang dan peralatan tulis seadanya yang diberikan bu darmi, ali belajar dengan giat ditengahhnya gelap malam.

Hari demi hari ia lalui dengan giat belajar. Hingga tiba saatnya waktu kepergian ali untuk test beasiswa kini kian mendekat. Tetapi, rencana ali tak kunjung reda, kali ini masalah biaya merupakan masalah utamanya. Uang ongkos dan uang saku yang harus dikeluarkan demi kelancaran beasiswa terbilang cukup mahal. Kedua orang tua ali tidak mampu menutupi biaya tersebut. Dengan wajah termenung, ali bercerita kepada bu darmi, mencurahkan seluruh keresahan yang ada. 

“Kalau begitu, ibu akan membantu.” Ucap bu darmi ditengah pembicaraan tersebut. Dengan mata berbinar dan masih tak percaya, ali menjawab 

“Sungguh bu? Wahh terimakasih banyak ya buu, saya berhutang budi pada ibuu.” Kini, masalah beasiswa ali dapat terselesaikan.

Melalui relasinya sebagai istri Ketua RT, ia menggalang dana kecil-kecilan dari warga desa untuk biaya Ali. Usaha bersama itu membuahkan hasil, dan Ali pun dapat berangkat ke ibu kota. Sepulang dari ujian, Ali sempat merasa pesimis melihat banyaknya pesaing hebat. Namun, harapannya terwujud saat amplop putih berisi kabar baik tiba; Ali diterima di universitas luar negeri. Sukacita menyelimuti seluruh desa, dan mimpi besar Ali semakin dekat. Bertahun-tahun kemudian, Ali pulang dengan kesuksesan dan penghasilan yang melimpah. Ia tak hanya kembali untuk melepas rindu, tapi bertekad membangun desanya. Dengan mendirikan pusat belajar dan memperbaiki fasilitas desa, Ali berharap nasib desanya akan berubah menjadi gemilang, membawa kemajuan bagi generasi selanjutnya.



Posting Komentar

0 Komentar