SASTRA PERUBAHAN
Deatisa Song - SMAS Darma Yudha
"Haduh! Sudah menumpuk lagi saja nih sampah! Dibilangin langsung dibuang di tempat pembuangan sampah, cuma 2 menit naik motor! Malah dikumpulin di depan rumah, dibakar asapnya ke mana-mana! Emang pada tuli tuh ya punya tetangga kuping tidak ada yang dipakai!"
Pagi seharusnya menjadi suasana yang menenangkan. Mendengarkan kicauan burung seraya menyeruput teh hangat kala dinginnya kabut menyelimuti seluruh tubuh, sesekali mengerutkan kening saat membaca berita di koran harian, lalu beberapa detik setelahnya kembali menyeruput teh hangat ditemani biskuit yang mengenyangkan.
Kehidupan yang terasa sangat tenang itu tentu saja tak akan terjadi pada seorang gadis muda bernama Sari. Pagi yang Sari temui selalu disambut oleh umpatan- umpatan kesal tetangganya, terkadang disambut juga oleh lagu-lagu dari pengeras suara di rumah yang berbeda dan saling bertabrakan, menciptakan suasana bising yang membuat Sari terkadang sakit kepala. Seperti pagi ini contohnya, di saat Sari baru saja membuka jendela kamar dan hendak menghirup udara pagi hari, telinganya sudah dihabisi oleh tetangganya yang hingga kini tak henti mengomentari hal yang sama. Apalagi jika bukan permasalahan buang sampah sembarangan di lingkungan Sari tinggal? Jika terjadi keriburan besar yang mengundang ratusan penonton juga Sari tak akan heran, sebab ia yakin penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah sampah. Ia juga tak jadi menghirup udara dengan tenang dan nikmat karena di depan rumahnya sudah penuh asap.
"Mau bagaimana lagi, Neng. Beginilah nasib kalau tinggal di lingkungan kumuh," ujar ibu Sari yang kebetulan sedang melakukan rutinitas paginya, yakni menjemur pakaian yang telah ia cuci di waktu subuh.
"Ya harusnya saling jaga aja, Mak, biar sama-sama enak. Kalau kebakaran kan kita yang repot, rumah kita ini nempel satu sama lain, lapangan halaman tidak ada, kan kita juga yang repot!" seru tetangga Sari tak ingin kalah, masih dengan semangat yang membara untuk mengeluarkan isi hatinya.
Sari menghela napas jengah, meratapi pemandangan dari jendela kamarnya yang langsung menuju ke sisa lahan kosong di depan rumahnya yang data dikatakan sebagai lapangan mini oleh warga setempat. Tetangga Sari ada benarnya, ia pun setuju akan hal itu. Tapi tentu saja Sari tak bisa marah-marah seperti yang dilakukan tetangganya. Ia hanyalah gadis berusia 16 tahun yang masih dianggap anak kecil di pemukimannya ini, sehingga segala opini Sari tentu saja tak akan pernah didengar. Yang ada Sari bisa-bisa dimusuhi oleh satu rt karena dinilai kurang ajar. Tak ingin berlama-lama meratapi takdirnya yang tak bisa merasakan pagi dengan tenang, Sari pun mengambil handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya, kemudian bergegas untuk mandi dan pergi ke sekolah.
Rutinitas Sari sebelum ke sekolah adalah menitipkan kue pasar buatan emak kepada warung di bawah jembatan layang. Warung bude biasa Sari dan emak menyapanya. Sari dan keluarga tak memiliki kendaraan, sehingga Sari terpaksa harus berjalan kaki ke sekolahnya, sebab menaiki angkutan umum pun ia tak bisa karena kue yang emak titipkan.
"Bude denger di berita katanya katanya lagi musim kemarau, iya juga sudah satu bulan loh kita ga hujan, Sar. Kata itu, apa si namanya bude lupa? Yang suka kasih info cuaca itu loh, Sar. Sampaikan saja sama warga di lingkungan kamu jangan suka bakar sampah sembarangan, bahaya, anginnya juga lagi kenceng sekali belakangan ini."
Sari mengangguk. "Aman, bude, nanti Sari sampaikan ke emak setelah pulang sekolah, ya." Sari kemudian melambaikan tangannya kepada bude dan melanjutkan langkahnya menuju sekolah.
"Selamat pagi anak-anak!" Sapa bu guru dengan senyum cerah. Melihat senyum itu, Sari rasa jika ia tidak tinggal di kawasan kumuh dekat kali, ia juga akan memasang senyum secerah itu tiap harinya.
"Hari ini kita akan belajar tentang sastra, ya. Sastra adalah suatu karya berupa tulisan seperti yang akrab dengan kalian selama ini, yaitu puisi, cerpen, novel, dan masih banyak lainnya. Sastra diikuti oleh kata perubahan setelahnya. Itulah mengapa sastra memiliki sihir. Belakangan ini bahkan sejak dulu banyak sekali karya sastra yang menyindir suatu pemerintahan, suatu kehidupan sosial atau bahkan hal-hal yang berbau dengan rusaknya lingkungan. Apakah para penulisnya hanya ingin melakukan sindiran tersebut? Tentu saja tidak, para penulisnya berharap dengan adanya karya tersebut, masyarakat yang membaca atau orang-orang yang disinidir di dalamnya bisa sadar.”
Bahkan setelah kelas usia, hingga sore tiba dan bel pulang berbunyi dengan nyaring, fokus Sari masih saja tertaut pada penjelasan yang bu Tari berikan. Ada empat mata pelajaran hari ini, namun yang berhasil memenuhi kepala Sari hingga akhir hanyalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, lebih tepatnya pembahasan mengenai sastra dan perubahan. Sari berjalan dengan tatapan kosong menuju rumahnya, pikirannya masih belum bisa lepas terhadap apa yang bu Tari jelaskan di kelas tadi pagi. Secara tiba-tiba Sari berpikir, apakah ia bisa menulis suatu karya untuk dipublikasikan dan mengedukasi masyarakat tentang bahanya membakar sampah di pemukiman yang padat penduduk?
Sari akan mencoba cara itu, ia akan menggunakan sastra sebagai pendekatannya. Toh, impian Sari adalah menjadi seorang jurnalis. Ia akan menjadi jurnalis pertama yang mampu memainkan peran sastra dengan baik dalam kontribusinya terhadap perubahan dunia. Sari akan berusaha sangat keras untuk mewujudkan
Saat Sari hampir tiba, tetangganya berhamburan menuju jalan raya, seraya terisak. Sari mendongak dan terkejut melihat asap yang sudah memenuhi udara dengan kobaran si jago merah yang terlihat. Para warga sudah mengungsi lebih dulu, sedangkan pemadam kebakaran baru saja tiba. Di dalam keramaian yang tak
beraturan tersebut, Sar mencoba menemukan emak dan abah.
Saat Sari hampir tiba, tetangganya berhamburan menuju jalan raya, seraya terisak. Sari mendongak dan terkejut melihat asap yang sudah memenuhi udara dengan kobaran si jago merah yang terlihat. Para warga sudah mengungsi lebih dulu, sedangkan pemadam kebakaran baru saja tiba. Di dalam keramaian yang tak
beraturan tersebut, Sar mencoba menemukan emak dan abah.
"Sar, cepat pergi dari sini! Ayo!" Ujar emak seraya menarik tangan Sari menjauhi pemukiman, dengan menggendong sebuah tas besar berisi dokumen-dokumen penting yang mereka punya. Tiga hari berlalu sejak nasib malang itu menimpa lingkungannya. Kebakaran itu dipicu oleh pembakaran sampah yang dilakukan salah satu tetangganya, dengan keadaan angina malam yang sedang kencang sekali. Melihat kemalangan itu, Sari lebih bersemangat untuk menjalankan niatnya. Setelah memastikan rumah bersih, Sari membawa tabungannya dan bergegas mencari warnet. Setibanya di warnet ia langsung melihat tutorial pembuatan puisi, cerpen, artikel dan karya tulis lain yang bisa ia lakukan. Sarisadar akan satu hal, ia bisa meraih mimpinya kapanpun ia mau, tak harus menunggunya dewasa. Dengan sastra, Sari bisa merajut impiannya untuk memberikan perubahan terhadap dunia.
Sari memulainya dengan mencoba membuat puisi, yang langsung ia unggah di laman Facebook yang memiliki banyak sekali anggota. Puisi itu menggambarkan keresahannya terhadap pembuangan sampah sembarangan, yang berujung membawa suka seperti yang sedang dialami oleh kampungnya. Setelah selesai menerbitkan puisinya, Sari pun beralih membuat cerpen dan membawa tema yang sama. Ia kemudian beralih membuat teks opini dan mengakhirnya dengan menerbitkan suatu artikel di media sosial.
Karya Sari berhasil. Setelah seminggu diunggah Sari berhasil mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat di sosial media, yang berujung dengan dukungan dari masyarakat sekitar sebab Sari beberapakali diajak untuk melakukan wawancara oleh salah satu stasiun TV. Sari menyetujui tawaran-tawaran yang ia dapatkan, sehingga di salah satu acara terkenal stasiun TV inilah ia berada. Seperti sebuah mimpi yang bahkan tak pernah Sari bayangkan sebelumnya.
"Sari, seorang anak muda berbakat yang menuangkan keresahannya dalam sastra-sastra yang indah..." Sang MC membuka acara dengan memperkenalkan Sari secara singkat.
Puisi Sari berhasil mendapat satu juta suka di laman Facebook, artikel, cerpen dan opini yang ia unggah telah dibaca raturan ribu kali. Dengan karyanya tersebut Sari berhasil menggalakan suatu kegiatan positif dari anak-anak muda di kota ini, khususnya kegiatan yang berhubungan dengan kebersihan lingkungan. Sari, sepatah dia kata untuk keberhasilan kamu saat ini.
"Sastra perubahan adalah benar adanya, sastra mengandung sihir juga benar adanya. Saya hanya anak muda berusia 16 tahun yang dianggap belum pantas untuk mengutarakan pendapat, namun dengan tekad yang kuat, melalui pendekatan yang halus menggunakan sastra yang bebas tanpa minimal usia saya memiliki keinginan kuat untuk mendorong para pembaca melakukan suatu perubahan, terutama terkait pembuangan sampah di kota kita yang tercinta. Impian terbesar saya adalah untuk memberikan lembar yang baru bagi pemukiman tempat tinggal saya, saya ingin mengubahnya menjadi pemukiman yang tak lagi membahayakan saat hujan turun. Dan saya percaya, saya bisa mulai melangkah untuk bisa mencapai impian itu, tak peduli pada fakta bahwa saya hanyalah anak berusia 16 tahun."
Pada akhirnya, seperti itulah Sari mengakhiri kisah tragisnya dengan permasalahan sampah yang membuat paginya tak pernah indah. Sejak saat itu, pemerintah dan aktivis muda di kotanya bekerja sama untuk melakukan kerja bakti rutin setiap minggu untuk membersihkan sampah-sampah yang menyumbat selokak, kali, di pesisir pantai, dan di tempat-tempat lainnya.
0 Komentar