Harapan yang Hampir Pupus - Anastasya Gladys Pricillia

 

Harapan yang Hampir Pupus 

Anastasya Gladys Pricillia - SMAS Plus Taruna Andalan

Api kecil menyala menerangi setiap lekukan wajah, dengan mata terfokus  terhadap tumpukan kertas bercoretkan tinta hitam. Di tengah sunyinya malam aku berharap, seluruh tumpukan itu menjadi sebuah mahakarya dengan jutaan mata  terpana akan isinya. Akan tetapi, impian besar itu harusku pendam.“Seorang anak  bodoh dan yatim piatu” Julukan yang aku dapatkan dari orang-orang desa. 

Di antara dunia yang sibuk, aku tengah mengayuh sepeda onthel  mengelilingi pasar. Di belakang sepeda telah terikat sekotak kue basah. “kue, kue  basah. Siapa yang makan pasti tambah manis!” Teriakku dengan nada sedikit  manja.  

Bersamaan dengan suara bising kendaraan dan bising ratusan manusia, aku dengan senyum lebar mengayuh sepeda untuk menjual kue. Terasa peluh telah  mengalir membasahi baju tak berlengan yang aku kenakan, walau demikian di  wajahku tidak ada terukir lelah, hanya ukiran senyum yang meriasinya. Seandra  jevran. aku hanya anak biasa yang hidup dengan kasih sayang seorang kakak  perempuan yang tuli. 

Sekotak kue yang awalnya penuh kini hanya tersisa remah-remah. aku tersenyum puas melihat itu, kini aku bisa kembali dan beristirahat. Saat hendak  menaiki sepeda, mataku teralihkan dengan seorang anak seusiaku berlari dengan  seragam putih abu dengan senyuman. Aku mulai mengepalkan tangan dan menggigit bibir, tak lama aku mulai mengayuh sepeda onthelku pergi. 

Kini aku sampai di depan sebuah rumah kecil, aku pun menaruh sepeda onthel itu di sebuah gudang kecil lalu mengambil kotak kue. Di depan pintu telah  terlihat seorang wanita muda berdiri sendirian dengan mengenakan sebuah dress batik. Ya, ia adalah kakakku. Aku mulai memindahkan kotak kue itu kearah  samping sehingga tangan yang lain bisa aku gunakan untuk memberikannya sebuah  saliman singkat. Kakakku tersenyum dan dengan lembut ia mulai membelai 

kepalaku. Ya… ini memalukan, mengingat usia ku sudah menginjak 17 tahun.  Tetapi, aku masih menyukai bagaimana tanganya membelai lembut di rambutku. Tangannya mulai bergerak memberikan sebuah kalimat isyarat kepadaku. “Kamu sudah bekerja dengan baik hari ini,” katanya melalui gerakan lembut  tangannya. Aku juga mulai memberikan sebuah balasan dengan gerakan tangan dan  tubuhku, kubilang “Ini bukan masalah besar.” Kakakku mulai tertawa dan  menarikku masuk kedalam. 

Di sebuah meja kecil itu telah terdapat sekotak kardus yang di bungkus rapi  dengan kertas nila biru. Aku bertanya kepada kakakku tapi ia hanya tersenyum  sembari mendorong bahuku sebagai isyarat untuk membukanya. Dengan perasaan  curiga dan penasaran, aku dengan perlahan membuka bungkus kertas biru itu.  Betapa mengejutkannya, itu adalah sebuah laptop. Aku memandang haru kepada  kakakku karena membelikanku sebuah barang yang begitu mahal. Aku melompat  kegirangan dan langsung memeluk erat kakakku.  

Langit yang cerah itu kini telah di telan habis kegelapan, hanya bulatan  besar dan berbagai cahaya benda masa lalu lainnya yang membantu menerangi dan  menghiasi kegelapan itu. Aku sedang menatap serius ke layar terang yang berada  di hadapanku, binggung apakah dengan ini aku bisa merangkai cerita dengan jutaan  orang yang penasaran akan isinya. Apakah orang kampung dan tidak berpendidikan  ini layak? 

Aku memukul wajahku, membuang pikiran yang busuk dan mencoba untuk  optimis. Tidak ada yang tidak bisa. Semua akan bisa jika di coba, walau jatuh  tinggal berdiri lagi hingga di akhir. Aku mulai mengerutkan dahiku dan mencoba  fokus untuk mengetik cerita, cerita yang Spectacular hingga orang akan langsung  jatuh cinta pada pandangan pertama. 

Sebulan telah berlalu sejak aku memperlihatkan karyaku ke muka publik.  Karya yang aku ciptakan itu memiliki banyak sekali penggemar, mereka  berbondong-bondong untuk membeli buku novel itu. Apakah aku bahagia akan itu?  Cita-cita yang aku impikan telah terwujud? Satu kata yang sangat jelas. Tidak.  

Aku sekarang tidak sedang berada di antara lautan manusia yang meminta  tanda tangan dari seorang penulis favorit mereka atau berpakaian jas hitam dan 

berfoto dengan para penulis lainnya. Tetapi, aku hanya duduk di pojok kamarku,  meringkuk sendiri sembari meratapi nasib dengan tatapan kosong. “Sial...”  gumamku kesal dan mengacak-acak rambutku. 

Saat aku sedang sibuk dengan kekesalanku, kakak datang dengan segelas  jus jeruk dingin di tangan kirinya dan sepiring gorengan di tangan kanannya. Ia  masuk dan menaruh barang bawaannya ke atas meja belajarku lalu mulai duduk di  sebelahku. “Novelmu terkenal tapi kenapa kamu malah memojok sendiri disini?” 

jelasnya melalui kalimat isyarat dan dengan wajah seakan meledekku.  Alisku berkedut melihat kata kata yang ia lontarkan kepadaku. “Ck, jika  kakak hanya ingin meledeku sebaiknya pergi saja sana. Aku mau sendiri!” teriakku  kesal dan dengan gerakan tangan yang sedikit cepat dalam membuat kalimat  isyarat. 

Ya, memang benar kalau karyaku terkenal. Tapi, itu bukan atas namaku  melainkan nama orang lain. Singkatnya, itu di curi oleh orang yang aku kira seorang  penerbit. Itu kesalahanku. Tapi, semua telah berlalu. Itu dicuri dan kerja kerasku  sia-sia. 

Kakak menghela napas dan mengambil segelas jus jeruk tadi dan  memberikannya padaku. Aku menatapnya sebentar lalu mengambil gelas itu dan  mulai meminumnya. Ia kembali berdiri dan mengambil bingkai foto yang telah  lama aku telungkupkan di atas meja, mengusap debu yang menempel lalu  meletakkannya dengan posisi yang benar. 

“Hidup memang tidak ada yang mudah,” katanya dengan kalimat isyarat.  “Dunia yang membuatmu terus merasa tak berdaya, dunia yang terkadang  memberikanmu hadiah yang tak ternilai. Semua akan terjadi pada waktu yang telah  di tentukan. Jangan menyerah Sean,” kalimat yang ia lontarkan dari tangannya  membuat dadaku sesak. Aku menggigit bibir dan mencekram tanganku.  

Setelah menyatakan itu ia pergi dengan membawa gelas kosong dari jus  yang aku minum. Aku menatap punggung kurusnya sebelum ia mulai menghilang  dari balik pintu itu. Aku mendengus kesal sebelum kemudian menyandarkan  punggungku ke dinding. Di dalam kepalaku, aku telah merancang sesuatu, sesuatu  yang begitu luar biasa.

Aku megeluarkan laptopku dan mulai mengetik satu hingga ratusan kata.  Aku ingin membuat suatuhal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, sebuah  jembatan pemersatu yang kokoh dengan bahasa. Aku pernah mendengar dan  membaca buku tentang ini sebelumnya, walau aku berhenti sekolah ketika sedang  menduduki bangku SMP. Aku tidak pernah bolos dalam membaca di perpustakaan  kecil yang ada di kampung melayu kuno yang aku tinggali sekarang.  

Indonesia merupakan negara dengan keberagaman yang sangat banyak,  namun mereka dapat bersatu dengan menerapkan bhineka tungkal ika di kehidupan  mereka. Hal yang membuatku tertarik adalah bahasa pemersatunya yakni bahasa  Indonesia. Bahasa yang di kembangkan dari bahasa melayu yang dulunya  merupakan bagasa dagang atau lingua franca. Sebagai anak yang lahir dan besar di  tanah melayu ini membuat hati kecilku tergerak. Mengangkat kisah berdasarkan  sejarah ini. 

Tentu saja aku akan lebih teliti lagi kali ini dalam mencari penerbit,  kesalahan yang sama tidak boleh terulang dua kali. Memang literasi penting di saat saat seperti ini. 

Suara bising manusia bercampur dengan suara kamera yang tengah  memotret. Kilatan-kilatan cahaya kamera dan lampu sorot membuat tempat ini  berselimutkan cahaya. Moment yang telah aku dambakan sejak dulu, berdiri di  depan lautan manusia dengan mengenakan setelan jas lengkap. Semua bagaikan  mimpi, tapi ini sangat nyata untuk hal itu. 

“Mari kita sambut penulis dari naskah film bhasha,!” seru dari pembawa  acara itu. Aku dengan persaan tegang mulai menaiki panggung acara, sangat ramai  mata yang menyorot kearahku dan sangat banyak sorakan yang tertuju padaku.  Tanganku mulai berkeringat, tapi aku mencoba untuk tetap tegar. Microphone 

mulai di berikan padaku untuk memberikan sepatah dua kata, aku mengambilnya  dan mulai berbicara. 

“Halo semuanya, namaku Seandra Jevran. Aku hanya remaja biasa yang  tumbuh dan lahir di tanah lancang kuning, kehidupan yang aku jalani cukup susah  dimana dulu aku hanya hidup berdua dengan seorang kakak yang tuli. Ya, sekarang  ia telah berada di tempat yang lebih tenang sekarang,” tenggorokan ku tersasa 

kering saat mengatakannya. Tangan aku kepal erat dan dadaku terasa sesak,  bagaimana tidak aku kehilangan satu-satunya orang yang aku sayangi, yang selalu  ada disisiku baik di saat bahagia maupun disaat yang terburuk. 

Kenyataan pahit kini aku ketahui. Ia menggunakan tabungan yang ayah  kami siapkan untuk biaya pengobatan jantungnya untuk membelihan aku sebuah laptop, penyakit yang sama menimpa ibu kami dan penyakit yang baru aku ketahui  saat kakak menghembuskan napas terakhirnya.  

Aku sungguh bodoh. Aku tidak menyadari dirinya yang makin hari semakin  kurus. Penyesalan selalu yang datang diakhir membuatnya terasa menyakitkan.  “Walau ia pergi, aku yakin ia melihat dari sana. Ia berjanji padaku unuk  melihatku mengenakan setelas jas lengkap ini,” aku tertawa singkat lalu  melanjutkan kalimatku.  

“ Kisah dan perjuanganku aku ceritakan di dalam naskah ini, kisah anak  biasa yang bermimpi untuk memiliki sebuah mahakarya dengan jutaan mata  terpana. Tanpa aku sadari cerita sederhana ini membuat persatuan dia antara kita  semua menjadi lebih erat. Jika bukan karena kakak dan kalian semua, mungkin aku  tidak akan bisa berdiri di sini sekarang. Sungguh aku berterimakasih atas  dukungannya,” aku membungkuk dengan lembut lalu berdiri tegap kembali. 

Suara sorak-sorai terdengar dimana-mana, terdengar ada juga yang terisak  sedih mendengar kisahku. Aku tersenyum lembut melihat pemandangan heboh di  depan mataku. Aku mulai mengelus dadaku yang di dalam saku telah aku taruh  secarik foto senyuman hangat kakakku. “Kakak, aku berhasil,” gumamku lembut



Posting Komentar

0 Komentar