Pondok Bermain - Nadyne Latifa Syukur

 

Pondok Bermain

Nadyne Latifa Syukur - SMAS Plus Taruna Andalan 

Napasku menderu setelah turun dari transportasi umum di pemberhentian  terakhirnya. Menaiki transportasi umum berhasil membuatku merayang sebab  kedapatannya. Riuh rendah jalanan di bawah langit oranye pun menambahi penat  yang sedari tadi dipikul. Sambil mengusap wajah yang berpeluh, aku berjalan  memasuki gang kecil menuju rumahku.  

Tidak biasanya aku melewati gang ini, mungkin terakhir kali saat aku masih  remaja berusia 15 tahun yang kabur dari sekolah karena muak dengan kegiatannya.  Sekarang, aku adalah wanita berusia 23 tahun yang baru saja pulang bekerja setelah  seharian menjadi seorang budak korporat. Waktu mengalir tanpa perintah, dalam  kedipan mata aku telah tumbuh menjadi orang dewasa. “Apa aja yang udah berubah,  ya?” gumamku sambil berjalan. 

Jika melewati gang kecil ini maka aku akan tiba di Pondok Bermain yang  letaknya lumayan dekat dengan rumahku. Alih-alih bergegas ke rumah sebab  kepalang letih, aku memilih untuk berteduh di depan teras pondok.  

Namaku Nilam, seorang wanita berusia 23 tahun yang sehari-harinya  berkutat di depan layar monitor dengan jari yang sibuk menekan papan ketik  bersama tetikusnya dan raut wajah yang suntuk. Dan tempat ini, adalah saksi bisu  pertumbuhanku. Tempatku membeli es serut yang biasanya dijual pedagang kaki  lima dengan sebutan Mbok Es karena dia memang berjualan es, tempatku bermain  petak umpet lalu akhirnya diam-diam menyelinap masuk ke rumah, tempatku  menangis karena ditolak cinta pertamaku, dan tempat yang selalu kulewati sebelum  menuju ke rumah di setiap pulang sekolah. 

Setelah lama tidak berkunjung, yang kutemui hanyalah fakta bahwa pondok  ini lapuk dimakan waktu, hal itu berhasil membuatku murung. Jika saja masyarakat  tidak bersikap individualis, mungkin tempat ini akan lebih terurus. Mungkin anak anak sudah tidak lagi bermain di luar rumah sejak disuapi ponsel pintar, pikirku.  

Dalam lamunan, aku teringat akan dua teman kecilku, Syafira dan Alif. Dulu  kami diberi titel “Trio Es” karena tidak pernah absen membeli es serut Mbok Es.

Syafira masih tinggal di perumahan ini, sedangkan Alif tengah merantau ke pulau  seberang, namun keluarganya masih di sini. Aku bergegas menghubungi mereka,  bertanya solusi apa yang dapat menghadapi sifat acuh tak acuh warga perumahan  saat ini. 

Syafira mengajakku untuk bertemu di minimarket sesudah ia pulang bekerja. Setelah membeli camilan kami duduk berdiskusi di kursi yang sudah disediakan.  “Menurutmu gimana, Fir? Sayang banget enggak sih,” tanyaku padanya. 

Dia mengangguk sekaligus mengunyah keripik kentang pedas. “Iya, sayang.  Tapi jujur aku hampir lupa tahu sama tempat itu, udah lama banget. Gimana kalau  kita langsung ketemu sama Pak Hartono, dia ketua RT sekarang kan ya?” usul  Syafira. 

“Pak RT, ya? Terus kalau udah ketemu?” tanyaku penasaran. 

“Ya ngasih usulan lah. Kalau usulku sih, maunya kita ngadain gotong  royong, alasannya buat mempererat ikatan warga di sini, karena kerasa banget  enggak sih kalau kita minim interaksi, apalagi sejak gadget makin canggih. Jadi,  hubungan warga terjalin terus pondok kita terselamatkan.” Syafira meneguk  minuman kalengnya karena terlampau kepedasan. 

Aku mengangguk-angguk setuju. “Sekali dayung dua pulau terlampaui, ya?  Aku setuju. Kamu ternyata pintar banget ya, Fir,” ucapku menggodanya. 

“Memangnya enggak kelihatan ya?” tanyanya sambil merengut. 

“Yaudah nanti biar aku hubungi Pak Hartono ya, biar lebih cepat terlaksana.  Oh iya, si Alif minggu depan balik loh, lagi dapat cuti katanya.” Aku mengalihkan  topik pembicaraan. 

“Iya kah? Aku udah enggak pernah chat-an lagi sama dia. Sibuk banget  kayanya. Kamu kasih tahu dia soal pondok itu?” tanya Syafira.

“Sebelum aku kasih tahu kamu, aku udah lebih dulu nanya si Alif. Terus dia  bilang minggu depan bakal balik, jadi mau ikut bantu-bantu. Kebetulan banget kan,” balasku semangat. 

Malam masih dini, aku dan Syafira bercengkerama sambil sesekali melihat  ke belakang, mengingat kembali kami yang masih kecil dan lugu. Dulu rutinias  kami hanya bermain seharian dan bersenang-senang, tidak perlu memikirkan masa  depan, tidak perlu takut akan penolakan realitas. Sekarang aku dan Syafira terlalu  sibuk untuk sekedar berniat ingin bersenang-senang. Jalan masih amat panjang, tapi  kami dituntut untuk mendapatkan semuanya dalam waktu dekat. 

Aku mematikan alarm yang sedari tadi berdering mengganggu, hari ini aku  sedang libur. Sambil mengucek mata, aku membuka ponselku berniat memeriksa  pesan yang masuk. Di sana kutemui respons dari Pak Hartono, katanya dia punya  waktu sore ini, jadi kami diajak untuk berdiskusi terkait gotong royong itu. Aku  tersenyum kecil sebelum akhirnya melanjutkan tidurku, apa salahnya bangun  sedikit lebih lambat, hari ini kan hari liburku. 

Setelah jarum jam menunjuk ke angka empat, aku bergegas pergi  menjemput Syafira. Karena jarak yang tidak begitu jauh aku memilih untuk berjalan  kaki, hanya orang egois yang gemar menambah polusi jika mengendarai sepeda  motor di jarak sedekat ini. Cuaca yang hangat sukses membangun suasana hati yang  cerah. 

Aku mengetuk pintu rumahnya. “Masuk, Lam. Buka aja pintunya.” Suaranya terdengar jauh. Aku membuka pintu dan mendapati aroma campuran  pisang dan cokelat yang baru saja dipanggang.  

“Pas banget, bolunya baru matang. Kamu mau coba, Lam?” Aku  mengangguk cepat. 

“Serius enak banget, Fir,” pujiku tulus. Syafira memang hobi membuat  makanan, khususnya kue, namun sayang waktu itu dia tidak mendapat izin dari  orang tuanya untuk mengikuti sekolah memasak, sebab menjadi lulusan kedokteran

lebih apik menurut mereka. Walau akhirnya Syafira menjadi dokter hewan karena  tidak lulus seleksi Fakultas Kedokteran kala itu.  

“Bagus lah kalau gitu. Yaudah yuk berangkat.” Dia membungkuskan  beberapa potong kue bolu untuk kubawa pulang.  

Kami duduk di hadapan Pak Hartono dan istrinya. “Jadi menurut Bapak  gimana?” tanyaku. Dia memikirkan usulan kami sambil menyisir kumisnya. 

“Bagus itu idenya, Pak. Ibu setuju. Anak muda kaya mereka ini harusnya  didukung.” Bu Sarimah ikut meyakinkan. Aku dan Syafira saling menatap dan  tersenyum. 

“Ya baiklah, saya setuju. Jadi apa saja yang kalian perlukan?” Kami  melanjutkan diskusi bersama. Tak sadar, langit oranye pun berubah menjadi kelabu.  

Hari ini Alif akan pulang, aku dan Syafira berniat menjemputnya di bandara.  Setelah menunggu lumayan lama, akhirnya dia tiba. “Lif!” panggil Syafira. Alif  tersenyum dan menghampiri kami. 

“Wow udah lama banget ya,” ucapnya terharu. Kami bertiga yang tengah  kelaparan memutuskan untuk makan siang di salah satu rumah makan di bandara.  

“Jadi, kalian sekarang gimana?” tanya Alif memulai pembicaraan. 

“Aku masih ngejar DVM, ya gitu-gitu aja, enggak ada yang spesial banget.” Syafira terlihat sedikit murung. 

“Apanya yang enggak spesial, keren banget gitu. Aku seneng deh temenan  sama calon dokter hewan,” Syafira masih diam. “Kamu masih sering bikin kue, Fir?” tanya Alif menambahi. 

Syafira mengangkat wajahnya dan terlihat semangat kembali, Alif memang  sangat tahu caranya mengatasi berbagai emosi Syafira, sedari kecil. “Masih!” balasnya.

“Aku mau dong lain kali coba! Kalau kamu gimana, Lam?” dia beralih  padaku. Aku yang sedang menyeruput minuman yang kubeli hampir tersedak  karena tiba-tiba diberi pertanyaan. Bingung harus menjawab seperti apa. 

“Aku masih bekerja di perusahaan kemarin sebagai tim marketing. Entah  yang kulakukan sekarang sama seperti yang kuharapkan dulu, aku enggak tahu. Oh  iya, tentang Pondok Bermain, aku dan Syafira mau ngadain gotong royong bareng  warga lainnya, kamu ikut ya?” Aku berusaha mengalihkan topik. 

Alif menyadari perubahan ekspresiku, dia tidak bertanya lebih tentang  pekerjaanku. “Gotong royong, ya? Asyik! Aku mau ikut.” Setelah makan kami  mulai merencanakan kegiatan gotong royong, mulai dari aktivitas hingga konsumsi  yang akan disediakan. 

Akhirnya hari itu tiba, hal pertama yang akan dilakukan adalah  membersihkan halaman pondok yang dipenuhi semak belukar. Alif sangat  bersemangat melakukannya bersama anak-anak yang juga ikut kegiatan ini. Yang  kedua, kami akan mengecat kembali pondok itu dan memperbaiki atap yang bocor.  Aku melukis di dinding luar pondok, aku sangat menikmatinya. Selama melukis  senyumanku tidak meluntur, mungkin memang ini yang dulu aku kecil impikan.  

Mentari sudah di atas kepala, para warga memutuskan untuk beristirahat dan  makan siang. Syafira mulai membagikan konsumsi yang sudah disiapkannya.  Sebuah nasi kotak berlauk ayam goreng bumbu dilengkapi sambal terasi, sayur  tumis kangkung, dan potongan buah semangka. Dia juga membuat beberapa  minuman dingin berasa.  

Kegiatan ini berlangsung dengan baik dan menyenangkan, ternyata jalinan  antar warga tak pernah renggang, kami hanya disibukkan oleh keadaan. Kegiatan  gotong royong ini adalah kesempatan emas untuk kami menjadi lebih erat.  

Aku, Syafira, dan Alif berdiri menghadap pondok yang ada di depan kami.  Kami bertiga tersenyum puas dan penuh haru. “Kalian berdua, terima kasih ya. Hari  ini aku udah jadi apa yang aku mau, bareng kalian,” ucapku.


Posting Komentar

0 Komentar