Secercah Asa Ditiap Bait - Nabila Harlina Safitri


 Secercah Asa Ditiap Bait 

 Nabila Harlina Safitri-SMA IP-ICBS RIAU

   Teduh. Kala itu Sang Surya sedang menyelimuti diri dengan selimut berwarna jingganya, tanda sebentar lagi ia akan berpisah meninggalkan Si Bentala lalu digantikan dengan Sang Rembulan pemilik binar nan manis di balik kegelapan. Sunyi sekali. Ruang yang hanya diisi dengan dirinya dan segelas teh hampir dingin itu ditemani dengan buku catatan yang selalu ia bawa kemana-kemana.

    Berisik sekali kepalanya saat ini, sekadar untuk menulis kembali menuangkan ide- ide cemerlangnya saja ia lelah. Alin, gadis yang dihiasi raut wajah begitu kusut itu sedang bertengkar dengan isi pikirannya. Gawai digenggamannya kini telah penuh dengan artikel- artikel yang menimbulkan pro-kontra bagi masyarakat, begitu panas berita itu akibat pengaruhnya budaya luar yang entah darimana asalnya kian menjadi darah daging bagi pelaku yang terkena efeknya. “Terlalu takut untuk tumbuh, namun mudah sekali untuk terpengaruh.

   Seandainya ia tak terlalu mengikuti arus itu, tak akan temanku terjerumus terlalu dalam,” monolognya yang sejak tadi ia tak bersuara. Asik sekali jemarinya itu menari-nari di atas buku catatannya sambil meneguk teh yang ia abaikan tadi. Alin saat ini berada di jenjang kelas akhir, hidup seorang diri membuatnya menjadi pribadi yang tidak banyak omong, namun tidak pula tertutup. Sangat monokrom hidupnya. Tak lama hewan berbulu pun mendekat ke arahnya. Seperti mengerti bagaimana perasaaan majikannya yang terlihat sedih saat ini. “Seandainya kamu mengerti bahasaku, sudah pasti kamu akan mendengar keluhanku tentang temanku itu dari tadi,” ucap Alin sambil menggendong kucing yang selalu ia jadikan tempatnya berpulang. Ia tak begitu ambil pusing soal permasalahan temannya, hanya saja sebagai teman kita harus saling mengingatkan, bukan?

“Ah, aku harus berberes dan beranjak dari ini semua. Besok aku harus pagi-
pagi berangkat sekolah, dan kamu Biru, temani aku tidur setelah ini semua selesai.”

   Ujarnya kembali, bermonolog dalam suasana sunyi namun tak membuatnya merasa kesepian. Biru telah di sisinya sekarang. Sang Baskara tak juga kunjung memunculkan kepakkan sinar sayapnya di ufuk Timur, sebab awan kelabu menutupi kebahagiaan di sepanjang kepakkannya. Masih terhitung pagi, tapi terlihat seperti menjelang malam.
“Tak apa ya, Biru. Jaga rumah, oke?” Kurva manis dari sang majikan terbentuk saat Biru menggeliat di bawah kakinya, tanda ia mengerti dengan ucapannya tadi.

   Baru saja menapaki teras rumahnya, ia mendapati temannya yang kemarin ia keluhkan juga sama seperti dirinya untuk segera berangkat ke sekolah. “Melihatnya saja malas.” Gerutunya dalam hati. Ia terlalu sering bermonolog seakan-akan tidak ada teman berbicaranya selain Biru. Gadis berpakaian nyentrik dan hidup layaknya orang Barat, Amel namanya. Sungguh amat lokal namanya itu, namun berbanding terbalik dengan kehidupan yang ia jalani saat ini semenjak mengenal band yang ia sukai. Bahkan untuk berkomunikasi saja ia campur-adukkan dengan bahasa Inggris, agar go International katanya. Tapi tak bisa Alin tanggapi itu, ia menyalahkan Amel yang terlalu terjerumus ke dalam lubang hitam dan terjadilah seperti ini.

   Ia telah berada di setengah jalan, dan tiba-tiba saja gerimis menimpai dirinya. Ia jadi panik karena tidak ada satupun halte bus untuk ia berteduh sementara. “Alin? What are you confused about? Ayo ke sekolah barengan sama aku!”

   Seru Amel di tengah-tengah gerimis yang sebentar lagi akan berubah jadi hujan lebat. Alin ragu untuk mengiyakan ajakannya. Gengsinya cukup besar, tapi ia berpikir nanti bisa telat datang ke sekolah. Ia pun langsung menyetujukan ajakan Amel.

   Bersyukurlah Alin bertemu dengan Amel tadi, payung Amel cukup besar dan cukup untuk mereka pakai berdua. Beruntungnya lagi mereka telah sampai sebelum bel berbunyi, jika telat kurang dari dua menit bisa habis mereka. “Terima kasih banyak, Mel.” Jawab Alin tanpa panjang lebar.

“Not a big deal, Lin. That’s okay. Later bring your umbrella, ya. Masa’ mendung gini kamu ga mau bawa payung?” Tanya Amel bernada khawatir dengan bahasa yang ia gado-gadokan. Terlihat dari air muka Si Gadis Monokrom itu tak suka dengan caranya berbicara. Terlebih lagi dengan visualisasi kebarat-baratannya itu membuat Alin risih. Ia pun hanya menanggapinya dengan senyuman, senyum hambar yang membuat Amel jadi bingung dengannya.

   Berakhirnya sekolah, Alin pasti akan selalu mampir ke kedai teh Kakek Yuan. Lelaki yang telah berumur itu memiliki puluhan kucing di dalam kedainya. Seperti ada magnet yang menarik beberapa hewan berbulu itu untuk menyerbu ke arah Alin, lucu sekali pikirnya. Tak lama datang Kakek Yuan dengan kucing yang ia gendong.
“Kucing-kucing ini sangat senang dengan keberadaanmu, Nak Lin.” Sapa Kakek Yuan, ia berbicara seperti lantunan musik klasik yang tenang. Alin tersenyum simpul. Ia bisa saja berlama-lama disini hanya untuk menemani Kakek Yuan dan kucing-kucingnya yang menggemaskan. Hari ini tidak terlalu banyak pengunjung dan itu bukan masalah bagi Kakek Yuan, sudah biasa.
“Nak Lin, akhir-akhir ini Kakek lihat kamu tidak bersemangat, apakah kucing-kucing ini tidak cukup membuatmu bahagia? Atau adakah sesuatu yang mengusik pikiranmu?” Bagaimana tidak khawatir, tidak tersorot mata binarny yang biasa ia tunjukkan pada Kakek Yuan.

   Mereka telah kenal cukup lama, jadi wajar saja Kakek Yuan mengerti suasana hatinya saat ini. Alin terdiam, ia bingung. Seketika sesuatu terlintas dipikirannya.

“Bagaimana bisa untuk mengikat persatuan itu sendiri padahal masyarakat sudah terpengaruh dan membuat mereka terjerumus terlalu dalam. Apakah mereka  tidak selektif untuk memilah hal yang baik dan buruknya itu? Bahkan Amel, kawanku itu terlihat amat beda semenjak ia mengenal tentang band yang ia sukai akhir-akhir ini. Bahkan kulturnya pun ia ikuti sampai ludes.” Ucapnya sedikit hiperbola.

   Kakek Yuan menyimak dengan saksama, tanpa sedikitpun ia lewatkan. Ia memang tidak mengenal Amel temannya Alin, namun bisa ia ketahui bahwa nadanya berbicara membuatnya mengerti dengan hal itu. “Sudah coba untuk mengobrol dengannya, Nak? Bisa saja ia tidak pernah diperingatkan makanya berakhir begitu.” Lantas Alin langsung menghentikan pembicaraannya. Jika dipikir-pikir ia tidak pernah mengobrol dengannya setelah itu. Tegur sapa pun rasanya tidak ada. “Kakek tanya kamu, apakah bisa untuk menyatukan dan berpikir hal yang sama seperti kamu saat ini tanpa berkomunikasi dengan jelas?” “Menjadikannya sebagai alasan bahwa ia juga salah satu dari orang yang sama karena terjerumus dengan kultur itu tidak akan bisa kita salahkan juga bila kita yang ternyata belum memberi langkah awal untuk memperingatkannya.” Ucapnya panjang lebar. Lagi-lagi Alin terdiam, mencerna setiap bait yang dilontarkan oleh Sang Penyeduh Teh terbaik di daerah ini. Jam semakin berlalu dan petang semakin menampakkan taring sinarnya di balik jendela kedai teh itu. Kakek Yuan membiarkan Alin untuk berpikir sejenak, agar tidak terlalu terburu-buru untuk menjawabnya. “Benar atau tidaknya tinggal tergantung kamu menanggapinya. Jika  temanmu itu masih bisa untuk diselamatkan, segera. Kecuali kalau kamu mau meninggalkannya, biarkanlah ia.” Begitu nasehat itu tersedot ke dalam benaknya, ia segera beranjak dari semua kucing-kucing yang dipangkuannya. Agaknya itu telah membuatnya sadar. “Aku tahu. Semua orang punya harapan dan kesempatan. Harapanku hanya ingin semua orang sadar kalau penting sekali untuk menumbuhkan jiwa persatuan dan mewujudkannya dengan bahasa kita. Aku mengerti tak semua orang sama sepertiku, tapi setidaknya aku telah memberitahukan hal ini.” Pendiriannya amat teguh, ditambah dengan garis mukanya yang sangat tegas. Kurva manis Kakek Yuan terangkat sempurna mendengar itu. Memang benar ucapannya, setiap orang punya harapan dan tak semua harapan itu terlihat buruk. Temui dan bicaralah dengannya—gumamnya dalam hati teruntuk pada Gadis Monokrom itu.

   Di perjalanan pulang, tak sengaja ia berpapasan dengan Amel. “Lin! Finally, I meet you! Aku mau bicara sesuatu.” Sepertinya semesta memang membiarkan mereka untuk selalu bersatu. “Maaf. Aku merasa pertemanan kita cukup renggang akhir-akhir ini, maaf. Aku sedikit menjauh karena aku hanya ingin berada di zona nyamanku. Terasa nyaman hingga aku lupa bahwa temanku juga begitu penting.” Ucapnya panjang lebar. Walau sedikit jarak di antara mereka, tak akan bisa untuk dipisahkan. “Aku merasa seperti itu juga. Salahku karena aku tak pernah memulai untuk bicara duluan, maaf.” Balas Alin yang juga merasa bersalah akan hal itu. “Dan aku tak mau membiarkanmu semakin tenggelam dan berakhir seperti ini, Mel. Bukan berarti ini salah, hanya saja jadilah orang yang bijak untuk memilah mana yang patut untuk ditiru atau tidak. Kamu masih bisa untuk berubah, kok. Dari hal yang kecil saja, dari bahasa kamu sehari-hari. Kita berjiwa bangsa satu hendaklah berkomunikasi dengan bahasa dari nenek moyang kita.” Lanjutnya. Akhirnya rangkaian kata yang ia buat telah tersampaikan dengan baik.
Terlihat dari Amel yang begitu paham dengan apa yang dilontarkannya barusan. Ini menjadi pelajaran bagi keduanya. “Baiklah, Lin. Aku akan memulai kembali berbicara seperti biasa yang tak digado-gadokan kayak kemarin,” balasnya dengan cengiran yang cukup lama tak ia tunjukkan padanya. Alin pun ikut tersenyum melihat itu.

   Dengan berkomunikasi bisa saja akan menimbukan sebuah asa yang akan terwujud dalam hal ketidakmungkinan. Bahwasanya bahasa itu sendiri adalah wujud terikatnya sebuah persatuan. Jadi, maukah untuk terus berjiwa bangsa dengan bahasa persatuan? Tentu saja! Mereka berdua kembali ke rumah masing-masing dengan hati dan jiwa raga yang telah lega sepenuhnya. Terasa sekali bahagianya hingga ke pucuk awan. Dan terlepas sudah label ‘Gadis Monokrom’ itu pada diri Alin sebab ia sadar begitu pentingnya komunikasi itu karena bisa mewujudkan warna pada dirinya dan sekitar serta juga untuk bisa menumbuhkan harapan-harapan kecil.

TAMAT

Posting Komentar

0 Komentar