Bulan menerangi malam menjadikan malam tidak begitu suram, suara burung hantu dan juga nyanyian jangkrik-jangkrik yang tak mau diam, menghiasi malam yang tenang. Pintu sebuah kamar terbuka pelan, dan di ambang pintu berdirilah seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua. Dengan suara lirih, dia berkata, “Kak, dipanggil ibu tuh, disuruh makan,” suara gadis itu menggema pelan, cukup jelas terdengar oleh kakaknya yang sejak tadi sibuk dengan layar laptopnya. Wina Namanya.
“Iya Kala” Jawab Wina singkat, matanya tetap terfokus pada layar laptop yang menyala terang didepannya, jari-jarinya cekatan bergerak di atas keyboard, menekan tuts demi tuts seolah setiap huruf yang ia ketik adalah bagian dari tarian tanpa akhir.
Kala, nama gadis kecil tersebut hanya dapat menghela napasnya, dengan bibir yang sedikit mengerut ke bawah, dia menarik kenop pintu yang sedari tadi dipegangnya dan perlahan menutup pintu kamar Wina. Kala pun berlalu, kembali ke ruang tengah.
Waktu berjalan pelan, satu jam, dua jam, Wina masih terikat pada layar laptopnya, tenggelam dalam dunia yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya, beberapa jam kemudian, dia keluar dari "tempat persembunyiannya"—kamar yang seolah menjadi dunianya sendiri.
Langkahnya mengarah ke dapur. Dari jauh, tampak seorang wanita paruh baya mengenakan daster warna-warni, berdiri membelakanginya sambil mencuci piring. Perlahan, Wina mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu, ibunya.
“Ibuuu,” kata Wina dengan suara manja, yang terdengar seperti bisikan malam.
Sontak, ibunya terkejut. “Astagfirullah! Owalah, Win... Jangan bikin jantung Ibu mau copot, dong!” ucap ibunya yang sejenak menghentikan aktivitas mencucinya, lalu berbalik menatap putrinya dengan tatapan kesal.
“Hehe, maaf, Bu…” jawab Wina sambil menyunggingkan senyum jahil tanpa sedikit pun rasa bersalah. Matanya tertuju pada tumpukan piring yang sudah bersih tertata rapi oleh tangan ibunya.
“Sini, Bu, biar Wina saja yang lanjut nyuci,” tawarnya dengan nada lembut.
“Nanggung amat. Sudah selesai kok ini, lagian kamu telat nawarinnya, makan dulu aja sana” balas ibunya, sambil melanjutkan kegiatannya yang nyaris rampung.
“Yoweslah, Bu, aku makan dulu ya,” ucap Wina, yang hanya dibalas dengan gumaman lembut, “Mhm,” oleh ibunya.
Wina berjalan menuju meja makan, namun belum sempat mendudukkan diri, sebuah suara deheman memotong langkahnya. Itu suara dari ayahnya yang menatap lurus ke arahnya, mata tajam namun datar, seolah menembus pikirannya.
“Baru mau makan?” tanyanya dengan nada yang dingin, membuat Wina tahu apa yang akan ia dengar selanjutnya.
“Iya, Yah,” jawab Wina pelan, menyiapkan hati untuk percakapan yang sudah bisa ia tebak arahnya.
“Pasti gara-gara itu lagi, kan? Sampai makan pun telat,” sindir ayahnya, kali ini dengan nada sinis yang sudah tak asing di telinga Wina. Ini bukan pertama kalinya ayahnya menyindir kebiasaan menulisnya, Dunia menulis baginya adalah tempat ia menemukan kedamaian, tapi ayahnya melihatnya tak lebih dari sekadar hobi tanpa arti.Wina hanya terdiam, berpikir untuk mendengarkan terlebih dahulu apa yang nanti ayahnya akan sampaikan.
“Ayah heran sama kamu Win. Apa, sih, yang kamu lihat dari menulis? Apa yang begitu penting dari semua itu?” lanjut ayahnya dengan nada penuh meragukan. Tangannya menarik kursi, duduk tepat di hadapan Wina, seolah menantang pandangannya.
“Lebih baik kamu fokus ngembangin usaha ayah. Jangan sibuk nulis sesuatu yang nggak jelas,” lanjutnya. Kalimat itu menyentuh hati Wina seperti pisau tajam. Wina menghela napas panjang, menahan diri, tapi tak bisa lagi membiarkan kata-kata ayahnya lewat begitu saja.
“Ayah nggak akan paham…” ucap Wina, suaranya lemah tapi tegas, cukup untuk menunjukkan bahwa hatinya terluka.
“Gak paham? Gak paham gimana?” Ayahnya tak mau kalah, tatapan tajam yang penuh dengan keingintahuan bercampur kekecewaan.
“Ini tuh hal yang Wina sukai, ini hobi Wina, Yah. Meskipun Ayah meragukan apa yang Wina lakukan, Wina yakin suatu hari nanti pasti akan ada orang-orang yang menghargai karya Wina,” balas Wina tegas, suaranya bergetar namun penuh keyakinan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang selalu memercayai bahwa setiap kata yang ia tulis adalah langkah kecil menuju sesuatu yang besar.
Ayahnya tertawa kecil, tawa yang Wina benci—tawa meremehkan yang terasa seperti menutup pintu bagi mimpinya. Kemudian, tawanya berhenti. Ayah menatap Wina dengan sorot mata serius, serius namun ada kelembutan didalamnya.
“Win… Ayah nggak bermaksud meremehkanmu,” ucapnya pelan, suaranya berubah tenang, seakan berusaha mencapai hati Wina yang tersakiti. “Tapi kamu harus realistis Win. Bagaimana masa depanmu nanti kalau hanya mengandalkan kemampuan menulismu itu? Ayah cuma nggak mau kamu kecewa nantinya.”
Wina terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Hatinya lembut, namun keyakinannya tidak pernah goyah. ia menatap ayahnya, dengan suara yang tegas namun lembut, mencoba menyampaikan apa yang selama ini mengisi hatinya.
“Ayah,” ucap Wina dengan nada pelan tapi penuh keyakinan, “ayah mungkin nggak percaya sama apa yang Wina kerjakan sekarang. Tapi bagi Wina, dengan menulis, Wina bisa menunjukkan betapa Wina cinta dengan tanah air kita ini. Setiap kalimat, setiap cerita yang Wina buat adalah cara Wina mengabadikan keindahan negeri ini, mimpi-mimpi anak bangsa, dan harapan yang mungkin nggak selalu bisa terlihat. Ini adalah bentuk cinta Wina, Yah.”
Ayahnya terdiam, ada sesuatu dalam mata Wina yang belum pernah ia lihat sebelumnya—sebuah tekad yang tak tergoyahkan, sebuah keinginan yang
begitu tulus. Ia mencoba menahan napas, berpikir apakah mungkin ia selama ini telah terlalu keras terhadap putrinya.
Wina melanjutkan, “Ayah selalu bilang kita harus punya mimpi, kan? Nah, ini mimpi Wina. Wina mungkin nggak mau langsung sukses atau terkenal, tapi Wina mau karya Wina bisa jadi pelipur hati, bisa jadi bagian dari hidup orang lain, dan mungkin, bisa membanggakan Ayah juga.”
Ayahnya menunduk sejenak, tampak berpikir. Seakan ada perang kecil dalam hatinya, antara keinginan untuk mengarahkan anaknya dan keinginan untuk mendukung mimpi-mimpinya. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, “Kalau begitu… Ayah nggak janji akan langsung mengerti, Win, tapi Ayah akan mencoba melihat apa yang kamu lihat. Semoga Ayah bisa paham, walaupun pelan-pelan.”
Wina tersenyum kecil, senyuman penuh syukur. Baginya, ini bukan kemenangan atau pembuktian, tapi satu langkah kecil dalam perjalanan panjangnya. Ia tahu jalannya mungkin masih jauh dan sulit, tapi dukungan kecil dari ayahnya, meski masih terselubung keraguan, sudah cukup menjadi bahan bakar bagi mimpinya.
Ibu yang sedari tadi sudah selesai mencuci berbalik menatap suami dan anaknya, Dengan tatapan hangat yang penuh harapan, ibu menatap Wina, yakin bahwa putri sulungnya itu dapat menggapai mimpi-mimpinya.
Sebulan telah berlalu ketika sebuah email masuk ke dalam handphone Wina. Email ini menjadi momen yang sangat berkesan dan berarti bagi Wina.
Saat itu, Wina sedang asyik menyantap bakso di kantin bersama teman temannya. Ia menggapai handphone miliknya dan langsung melihat ke arah notifikasi yang masuk. Matanya terbelalak kaget, dan sontak ia melompat dari tempat duduknya. Teman-temannya pun langsung menatapnya dengan tatapan aneh. Salah satu temannya, Bella, bertanya kepadanya, “Kamu kenapa, Win? Dapat uang kaget, ya?” celetuk Bella, bingung dengan reaksi mendadak Wina.
“Cerita ku terpilih sebagai pemenang utama dalam lomba cerpen tingkat nasional bulan lalu!!!” teriak Wina dengan girangnya. Sorak sorai itu langsung membuat teman-temannya terkejut.
“Hah!? Serius, Win!? Alhamdulillah!!” sahut teman-temannya serentak, wajah mereka berbinar penuh rasa bangga. “Selamat ya, Win… Tidak sia sia apa yang sudah kamu lakukan selama ini…”
“Alhamdulillah… Makasih, guys, atas dukungan dan doa kalian selama ini…” balas Wina dengan perasaan senang yang tak terbendung. Ia merasakan kebahagiaan mengalir deras dalam dadanya, seperti air terjun yang tak terhentikan. “Dengan ini, aku bisa membuktikan kepada semua orang yang pernah meremehkanku bahwa impianku bukan sekadar angan angan belaka!” sahut Wina dengan mantap, semangatnya membara seperti api yang menyala-nyala.
Di acara penghargaan, Wina berdiri di samping Ayah dan Ibunya yang tersenyum bangga terhadapnya, terutama Ayahnya. Ia diminta untuk memberikan sepatah kata. Dengan mata berbinar, ia berkata, “Cerita yang kurangkai ini mungkin terlihat biasa bagi sebagian orang, tetapi lewat cerita inilah aku mengabadikan rasa cintaku kepada negeri ini. Caraku ini menunjukkan betapa cintanya aku terhadap bahasa kita, bahasa Indonesia.
“Aku percaya, setiap kata yang kita gunakan memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan dan memberi inspirasi. Dengan menulis, aku ingin menggugah semangat dan menciptakan kesadaran akan keindahan budaya dan tradisi yang kita miliki. Melalui bahasa, kita bisa menjembatani perbedaan dan memperkuat rasa persatuan.
“Dan untuk kalian yang meremehkan mimpi seseorang, ingatlah bahwa setiap impian dimulai dari keberanian untuk bermimpi. Jangan pernah merasa kecil hanya karena perjalananmu berbeda dari orang lain. Semoga karya-karya kita dapat menjadi jembatan yang menghubungkan generasi, membawa harapan, dan memperkuat cinta kita terhadap tanah air.
“Mari kita jaga dan lestarikan bahasa kita, karena di dalamnya terdapat identitas dan jiwa bangsa. Terima kasih atas dukungan semua orang yang selalu ada di sisiku, terutama keluargaku. Ini bukan hanya untukku, tetapi untuk kita semua!”
Sorakan tepuk tangan menggemuruh di sekelilingnya, mengalir seperti gelombang kebahagiaan yang membanjiri ruangan. Wina merasakan haru menyelimuti hatinya, dan ia tahu, inilah langkah awal dari perjalanan panjangnya dalam mewujudkan mimpinya.
0 Komentar