Satu Langkah Menuju Mimpi - Adelsyah Regita Cahyani

 


“SATU LANGKAH MENUJU MIMPI” 
Adelsyah Regita Cahyani - SMA IT FADHILAH. 

Bulan menerangi malam menjadikan malam tidak begitu suram, suara  burung hantu dan juga nyanyian jangkrik-jangkrik yang tak mau diam,  menghiasi malam yang tenang. Pintu sebuah kamar terbuka pelan, dan di  ambang pintu berdirilah seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua.  Dengan suara lirih, dia berkata, “Kak, dipanggil ibu tuh, disuruh makan,”  suara gadis itu menggema pelan, cukup jelas terdengar oleh kakaknya yang  sejak tadi sibuk dengan layar laptopnya. Wina Namanya. 

“Iya Kala” Jawab Wina singkat, matanya tetap terfokus pada layar laptop  yang menyala terang didepannya, jari-jarinya cekatan bergerak di atas  keyboard, menekan tuts demi tuts seolah setiap huruf yang ia ketik adalah  bagian dari tarian tanpa akhir. 

Kala, nama gadis kecil tersebut hanya dapat menghela napasnya, dengan  bibir yang sedikit mengerut ke bawah, dia menarik kenop pintu yang sedari  tadi dipegangnya dan perlahan menutup pintu kamar Wina. Kala pun  berlalu, kembali ke ruang tengah. 

Waktu berjalan pelan, satu jam, dua jam, Wina masih terikat pada layar  laptopnya, tenggelam dalam dunia yang hanya dimengerti olehnya. Hingga  akhirnya, beberapa jam kemudian, dia keluar dari "tempat  persembunyiannya"—kamar yang seolah menjadi dunianya sendiri. 

Langkahnya mengarah ke dapur. Dari jauh, tampak seorang wanita paruh  baya mengenakan daster warna-warni, berdiri membelakanginya sambil  mencuci piring. Perlahan, Wina mendekat dan melingkarkan lengannya di  pinggang wanita itu, ibunya.

“Ibuuu,” kata Wina dengan suara manja, yang terdengar seperti bisikan  malam. 

Sontak, ibunya terkejut. “Astagfirullah! Owalah, Win... Jangan bikin  jantung Ibu mau copot, dong!” ucap ibunya yang sejenak menghentikan  aktivitas mencucinya, lalu berbalik menatap putrinya dengan tatapan kesal. 

“Hehe, maaf, Bu…” jawab Wina sambil menyunggingkan senyum jahil  tanpa sedikit pun rasa bersalah. Matanya tertuju pada tumpukan piring yang  sudah bersih tertata rapi oleh tangan ibunya. 

“Sini, Bu, biar Wina saja yang lanjut nyuci,” tawarnya dengan nada lembut. 

“Nanggung amat. Sudah selesai kok ini, lagian kamu telat nawarinnya,  makan dulu aja sana” balas ibunya, sambil melanjutkan kegiatannya yang  nyaris rampung. 

“Yoweslah, Bu, aku makan dulu ya,” ucap Wina, yang hanya dibalas dengan  gumaman lembut, “Mhm,” oleh ibunya. 

Wina berjalan menuju meja makan, namun belum sempat mendudukkan  diri, sebuah suara deheman memotong langkahnya. Itu suara dari ayahnya yang menatap lurus ke arahnya, mata tajam namun datar, seolah menembus  pikirannya. 

“Baru mau makan?” tanyanya dengan nada yang dingin, membuat Wina  tahu apa yang akan ia dengar selanjutnya. 

“Iya, Yah,” jawab Wina pelan, menyiapkan hati untuk percakapan yang  sudah bisa ia tebak arahnya. 

“Pasti gara-gara itu lagi, kan? Sampai makan pun telat,” sindir ayahnya, kali  ini dengan nada sinis yang sudah tak asing di telinga Wina. Ini bukan  pertama kalinya ayahnya menyindir kebiasaan menulisnya, Dunia menulis  baginya adalah tempat ia menemukan kedamaian, tapi ayahnya melihatnya  tak lebih dari sekadar hobi tanpa arti.Wina hanya terdiam, berpikir untuk  mendengarkan terlebih dahulu apa yang nanti ayahnya akan sampaikan. 

“Ayah heran sama kamu Win. Apa, sih, yang kamu lihat dari menulis? Apa  yang begitu penting dari semua itu?” lanjut ayahnya dengan nada penuh  meragukan. Tangannya menarik kursi, duduk tepat di hadapan Wina, seolah  menantang pandangannya.

“Lebih baik kamu fokus ngembangin usaha ayah. Jangan sibuk nulis sesuatu yang nggak jelas,” lanjutnya. Kalimat itu menyentuh hati Wina seperti pisau  tajam. Wina menghela napas panjang, menahan diri, tapi tak bisa lagi  membiarkan kata-kata ayahnya lewat begitu saja. 

“Ayah nggak akan paham…” ucap Wina, suaranya lemah tapi tegas, cukup  untuk menunjukkan bahwa hatinya terluka. 

“Gak paham? Gak paham gimana?” Ayahnya tak mau kalah, tatapan tajam  yang penuh dengan keingintahuan bercampur kekecewaan. 

“Ini tuh hal yang Wina sukai, ini hobi Wina, Yah. Meskipun Ayah  meragukan apa yang Wina lakukan, Wina yakin suatu hari nanti pasti akan  ada orang-orang yang menghargai karya Wina,” balas Wina tegas, suaranya  bergetar namun penuh keyakinan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang selalu  memercayai bahwa setiap kata yang ia tulis adalah langkah kecil menuju  sesuatu yang besar. 

Ayahnya tertawa kecil, tawa yang Wina benci—tawa meremehkan yang  terasa seperti menutup pintu bagi mimpinya. Kemudian, tawanya berhenti.  Ayah menatap Wina dengan sorot mata serius, serius namun ada kelembutan  didalamnya. 

“Win… Ayah nggak bermaksud meremehkanmu,” ucapnya pelan, suaranya  berubah tenang, seakan berusaha mencapai hati Wina yang tersakiti. “Tapi  kamu harus realistis Win. Bagaimana masa depanmu nanti kalau hanya  mengandalkan kemampuan menulismu itu? Ayah cuma nggak mau kamu  kecewa nantinya.” 

Wina terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Hatinya lembut, namun  keyakinannya tidak pernah goyah. ia menatap ayahnya, dengan suara yang  tegas namun lembut, mencoba menyampaikan apa yang selama ini mengisi  hatinya. 

“Ayah,” ucap Wina dengan nada pelan tapi penuh keyakinan, “ayah  mungkin nggak percaya sama apa yang Wina kerjakan sekarang. Tapi bagi  Wina, dengan menulis, Wina bisa menunjukkan betapa Wina cinta dengan  tanah air kita ini. Setiap kalimat, setiap cerita yang Wina buat adalah cara  Wina mengabadikan keindahan negeri ini, mimpi-mimpi anak bangsa, dan  harapan yang mungkin nggak selalu bisa terlihat. Ini adalah bentuk cinta  Wina, Yah.” 

Ayahnya terdiam, ada sesuatu dalam mata Wina yang belum pernah ia lihat  sebelumnya—sebuah tekad yang tak tergoyahkan, sebuah keinginan yang 

begitu tulus. Ia mencoba menahan napas, berpikir apakah mungkin ia  selama ini telah terlalu keras terhadap putrinya. 

Wina melanjutkan, “Ayah selalu bilang kita harus punya mimpi, kan? Nah,  ini mimpi Wina. Wina mungkin nggak mau langsung sukses atau terkenal,  tapi Wina mau karya Wina bisa jadi pelipur hati, bisa jadi bagian dari hidup  orang lain, dan mungkin, bisa membanggakan Ayah juga.” 

Ayahnya menunduk sejenak, tampak berpikir. Seakan ada perang kecil  dalam hatinya, antara keinginan untuk mengarahkan anaknya dan keinginan  untuk mendukung mimpi-mimpinya. Akhirnya, dengan suara pelan, ia  berkata, “Kalau begitu… Ayah nggak janji akan langsung mengerti, Win,  tapi Ayah akan mencoba melihat apa yang kamu lihat. Semoga Ayah bisa  paham, walaupun pelan-pelan.” 

Wina tersenyum kecil, senyuman penuh syukur. Baginya, ini bukan  kemenangan atau pembuktian, tapi satu langkah kecil dalam perjalanan  panjangnya. Ia tahu jalannya mungkin masih jauh dan sulit, tapi dukungan  kecil dari ayahnya, meski masih terselubung keraguan, sudah cukup menjadi  bahan bakar bagi mimpinya. 

Ibu yang sedari tadi sudah selesai mencuci berbalik menatap suami dan  anaknya, Dengan tatapan hangat yang penuh harapan, ibu menatap Wina,  yakin bahwa putri sulungnya itu dapat menggapai mimpi-mimpinya. 

Sebulan telah berlalu ketika sebuah email masuk ke dalam handphone Wina.  Email ini menjadi momen yang sangat berkesan dan berarti bagi Wina. 

Saat itu, Wina sedang asyik menyantap bakso di kantin bersama teman temannya. Ia menggapai handphone miliknya dan langsung melihat ke arah  notifikasi yang masuk. Matanya terbelalak kaget, dan sontak ia melompat  dari tempat duduknya. Teman-temannya pun langsung menatapnya dengan  tatapan aneh. Salah satu temannya, Bella, bertanya kepadanya, “Kamu  kenapa, Win? Dapat uang kaget, ya?” celetuk Bella, bingung dengan reaksi  mendadak Wina. 

“Cerita ku terpilih sebagai pemenang utama dalam lomba cerpen tingkat  nasional bulan lalu!!!” teriak Wina dengan girangnya. Sorak sorai itu  langsung membuat teman-temannya terkejut. 

“Hah!? Serius, Win!? Alhamdulillah!!” sahut teman-temannya serentak,  wajah mereka berbinar penuh rasa bangga. “Selamat ya, Win… Tidak sia sia apa yang sudah kamu lakukan selama ini…”

“Alhamdulillah… Makasih, guys, atas dukungan dan doa kalian selama  ini…” balas Wina dengan perasaan senang yang tak terbendung. Ia  merasakan kebahagiaan mengalir deras dalam dadanya, seperti air terjun  yang tak terhentikan. “Dengan ini, aku bisa membuktikan kepada semua  orang yang pernah meremehkanku bahwa impianku bukan sekadar angan angan belaka!” sahut Wina dengan mantap, semangatnya membara seperti  api yang menyala-nyala. 

Di acara penghargaan, Wina berdiri di samping Ayah dan Ibunya yang  tersenyum bangga terhadapnya, terutama Ayahnya. Ia diminta untuk  memberikan sepatah kata. Dengan mata berbinar, ia berkata, “Cerita yang  kurangkai ini mungkin terlihat biasa bagi sebagian orang, tetapi lewat cerita  inilah aku mengabadikan rasa cintaku kepada negeri ini. Caraku ini  menunjukkan betapa cintanya aku terhadap bahasa kita, bahasa Indonesia. 

“Aku percaya, setiap kata yang kita gunakan memiliki kekuatan untuk  mengubah pandangan dan memberi inspirasi. Dengan menulis, aku ingin  menggugah semangat dan menciptakan kesadaran akan keindahan budaya  dan tradisi yang kita miliki. Melalui bahasa, kita bisa menjembatani  perbedaan dan memperkuat rasa persatuan. 

“Dan untuk kalian yang meremehkan mimpi seseorang, ingatlah bahwa  setiap impian dimulai dari keberanian untuk bermimpi. Jangan pernah  merasa kecil hanya karena perjalananmu berbeda dari orang lain. Semoga  karya-karya kita dapat menjadi jembatan yang menghubungkan generasi,  membawa harapan, dan memperkuat cinta kita terhadap tanah air. 

“Mari kita jaga dan lestarikan bahasa kita, karena di dalamnya terdapat  identitas dan jiwa bangsa. Terima kasih atas dukungan semua orang yang  selalu ada di sisiku, terutama keluargaku. Ini bukan hanya untukku, tetapi  untuk kita semua!” 

Sorakan tepuk tangan menggemuruh di sekelilingnya, mengalir seperti  gelombang kebahagiaan yang membanjiri ruangan. Wina merasakan haru  menyelimuti hatinya, dan ia tahu, inilah langkah awal dari perjalanan  panjangnya dalam mewujudkan mimpinya.



Posting Komentar

0 Komentar