Jembatan Aksara - Jesslyn


Jembatan Aksara
Jesslyn - SMAS WITAMA NASIONAL PLUS

Semburat jingga yang terlukis dalam awang-awang, cahaya yang menciptakan bayangan pada pohon kelapa yang berayunan. Sang surya tenggelam dalam kanvas jingga pada ufuk barat, dan bulan sabit perlahan memunculkan sinar nan gemerlapnya. Heningnya cakrawala, hiruk pikuk manusia yang memudar perlahan, terganti oleh kicauan burung yang lembut. Bisikan alam yang berembus, membelai rambutnya dengan lemah lembut. Gemintang yang tersusun berderet, tak lebih gemerlap dari pada asa yang dikejar.

Suramnya angkasa yang mencekam dalam keheningan. Bayang-bayang yang menyelungsup dalam tak kasat mata. Derasnya deburan ombak nan nyaring menari-nari dalam hamparan biru. Desiran angin mengelus lembut dedaunan dari pohon kelapa, pasir halus mulai berterbangan terbawa arus angin. Linai yang mulai menetes ke permukaan tanah, jatuh dari setumpukan mega di atas awang-awang. Tetesan hujan yang semakin deras, dengan guntur yang menggeledek. Bianglala yang terlukiskan di bumantara setelah hujan gemuruh telah habis. Hamparan taman yang terbentang dalam keindahan buana yang tercipta. Bunga-bunga tumbuh dengan berbagai warna, aromanya meluluhkan hati sang gadis.

Sosok gadis berbaju merah muda, melangkah dengan tapakan lembut, yang membawanya menuju rak kayu berwarna putih. Ia mengamati deretan buku kuno, dengan mengintip beberapanya di balik rak kayu berwarna putih itu. Siapa gadis itu? Sheila, itu namanya. Seorang gadis nan dahayu yang tinggal di kota Jakarta, kini telah menjadi mahasiswa sastra bahasa Indonesia. Ia sangat menyukai dunia fantasi, hingga separuh dunianya menjadi imajinasi tak terpikirkan sebelumnya. Kemudian ia mengambil sebuah buku kuno. Buku yang memperlihatkan kerutan kecil di sudutnya, serta lembaran-lembarannya yang telah telah usang dan menguning. Buku yang ia peluk, telah dikoleksi 15 tahun lamanya. Aroma khas yang dikeluarkan setiap lembaran menyengat hidung Sheila, dengan iringan suara gemerisik kertas yang keluar apabila ia melangkah dalam setiap perjalanan. Ia mengamati setiap diksi kuno yang terukir dalam buku itu. Setiap aksara, mengubah raut wajah sang gadis. Matanya berbinar-binar, mulutnya ternganga seolah tak percaya pada pandangan yang baru saja ia lihat.

Sheila melihatnya sambil merenung di sudut ruangan, dengan secangkir teh porselen dengan aroma bunga mawar nan semerbak ke seluruh penjuru dari ruangannya itu. Setiap lembarannya membawanya menuju dunia penuh imajinasi. Ditengah perjalanannya, ia diberi tiga kunci oleh sosok tak dikenal. Setiap kunci dapat membawanya ke dalam suatu era, tertampang bagaikan mesin waktu. Kunci yang ia pilih, ternyata membawanya ke masa depan, yakni era globalisasi. Dunia sedang berubah .... Kini ia sedang memandang fajar yang mulai menyingsing, arunika mulai menyinari cakrawala yang memancarkan semburat warna jingga yang memukau. Sheila, bersiap siap menuju kampus. Ia bersiap-siap menuju kampusnya mengajak mahasiswa lain untuk melangkah menuju kantin, hasratnya yang pasti untuk mengisi perut yang mulai meronta, mencari santapan yang menggugah selera.

Sheila bersama serombongan temannya, memandang sang surya telah menampakkan dirinya dari ufuk timur, secara perlahan. Mulanya langit kelam penuh semburat jingga, kini telah berganti menjadi kanvas biru cerah serta dipenuhi oleh sentuhan mega berwarna putih, yang perlahan muncul di balik bangunan-bangunan yang berderet dengan rapi, menyinari bentala dengan sinar keemasan yang lembut. Embun pagi masih menempel di dedaunan, memantulkan cahaya seperti ribuan permata kecil. Setiap tetesan air jatuh kebawah permukaan tanah.

Dari kejauhan, suara burung berkicau nan merdu, menyambut hari baru, dan dapat memecahkan keheningan fajar. Alunan yang harmoni menciptakan keindahan alam yang menenangkan. Ayam berkokok, membangunkan manusia pada pagi hari, menandakan hari sudah mulai. Pawana yang
berdesir, membawa aroma nan segar dari bunga-bunga yang mulai mekar. Pepohonan bergoyang perlahan, seolah menari mengikuti bisikan alam yang mendesir. Kolam kecil dengan gemerincik ayar yang mengalir tenang, menambah suasana damai. Serombongan mahasiswa melangkah dengan badan tegap, memancarkan senyuman menawan dalam cahaya yang bersorot nan hangat. Hiruk piruk manusia yang berada di kantin, membuat sebuah percakapan yang sedikit memilukan.

Di sudut ruangan, aroma kopi hitam yang baru diseduh menyebar ke seluruh ruangan dan bercampur dengan wangi makanan yang menggugah selera, mengisi udara pagi nan sejuk dengan kehangatan
kecil. Meja-meja kayu nan memanjang yang dipenuhi oleh tumpukan buku dan laptop, menjadi saksi
bisu dari diskusi-diskusi para mahasiswa dengan penuh semangat dan tawa riang. Di luar jendela,
dedaunan bergoyang lembut tertiup angin, seolah ikut merayakan kebersamaan yang terjalin di dalam
kantin.

“Weh, lihat dong your bag
“Wow, that’s amazing bro. Ga expect bakal se bagus itu. Eh, bro, lo udah makan belum”
“Belum nih, perut udah keroncongan banget. Yuk, kita ke kantin, gue pengen banget makan nasi goreng
spesial,”
“Setuju! Gue juga laper banget. Btw, tadi gue liat ada menu baru, kayaknya enak deh,”
“Seriusan? Wah, harus dicoba tuh. Eh, lo tau nggak, si Dinda katanya dapet beasiswa ke luar negeri,
keren banget kan?”
“Wow, gokil! Dinda emang pinter banget sih. Semoga gue juga bisa nyusul, amin,”

Seketika, Sheila yang menoleh ke arah percakapan itu, pupilnya melebar, memandang dengan raut wajahnya nan gundah. Matanya berkaca-kaca seolah terpilu oleh bahasa gaul yang mereka gunakan. Setiap kata yang diucapkan seolah-olah menorehkan luka dalam di hatinya, membuatnya merasa terasing dan terluka. Suasana seketika berubah, seakan-akan dunia di sekelilingnya menjadi gelap dan sunyi, hanya menyisakan gema dari kata-kata yang menyakitkan itu. Sheila mengepalkan tangannya, terpilu akibat bahasa asing yang mereka lontarkan. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa ibu kita, kini sudah menjadi nonformal. Diksi nan dahayu yang ia cintai, perlahan mulai terlupakan. Setiap kali mendengar bahasa gaul yang semakin mendominasi, hatinya terasa seperti teriris. Ia merindukan keindahan dan keanggunan bahasa formal yang kini jarang terdengar, seolah-olah bangsa yang telah merdeka, dijajah kembali oleh budaya asing yang masuk secara tiba-tiba.

“Sheila ....” Teman Sheila memandangnya dengan mata berkaca-kaca
“Lihatlah sekarang .... Banyak anak muda yang telah menggunakan bahasa Inggris dan bahasa gaul
yang tidak baku. Kemana era zaman dahulu?”
“Kupikir, kita tidak perlu terlalu baku, and also english is important Sheila!”
“Walaupun bahasa Inggris penting, jangan lupakan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa ibu kita. Dengan begini, Indonesia dapat kehilangan identitasnya akibat ulah masyarakatnya. Aku tidak mau
orang-orang melupakan bahasa ibu kita. Aku harus ambil tindakan sekarang juga!”

PLAKK

Sheila terpelanting menuju dunia aslinya, dan tanpa pikir panjang ia memutuskan untuk membuat sebuah misi yang dapat melestarikan bahasa ibu kita, dan membangkitkan diksi yang hampir punah. Ia merenung dan bersandar di sudut ruangan, meratapi nasib Indonesia yang belum merdeka dari segi sumber daya manusia. Kini, banyak manusia yang tak berkualitas, tanpa sengaja memperlihatkan keburukannya yang dapat dilihat oleh kasat mata.

Sheila mulai melangkah menuju kamar, dan duduk di kursi rotan yang akan berderit setiap kali ia bergerak. Harinya terasa sendu. Dia mengambil selembar kertas menghirup aroma kertas yang baru saja dikeluarkan dari bungkusnya. Kemudian, ia menghidangkan kopi hitam dengan cangkir porselen bermotif mawar merah muda, dengan aroma khas dari kopi yang menyerbak ke seluruh ruangan. Tak lama setelahnya, ia mulai mengarang cerita dalam imajinasi kepalanya, menggoreskan tinta hitam, melukis rangkaian Aksara diatasnya. Setiap ia menulis, harsa selalu menggebu dalam jiwanya. Tak peduli berapa lamanya, ia akan berantusias dalam mengejar asanya. Tak pernah terlupakan, diksi kuno akan selalu terlukis dalam setiap kalimat.

Lembar per lembar mulai terisi dengan Aksara tegak bersambung, konflik, dengan diksi yang hampir terlupakan dengan imajinasinya yang berada diluar ekspetasi. Seiring ia menulis, perasaannya terbawa dalam dunia yang berbeda. Sehingga ia dapat menggerakkan giginya bahkan jantungnya dapat berdebar dengan kencang. Kini Sheila, sudah memiliki keberanian untuk menggungah Aksara nya melalui daring seperti sosial media. Karyanya mulai banyak dikenal orang ramai.

Rangkaian bahasa yang diselipkan majas dan diksi yang ia pilih, seindah bunga-bunga nan mekar yang berderet dalam bentangan hijau. Kini ia telah menjadi perwakilan Indonesia untuk menciptakan aksara yang lebih indah dari sebelumnya. Ia telah membawa nama harum Indonesia. Seorang gadis yang berhasil menciptakan identitas bangsa, dengan melestarikan diksi yang hampir punah lewat aksara yang digores dengan tinta hitam. Kini, aksara yang terukir akan amerta didalam hatinya .... Suatu ketika, sosok pria, muncul dalam ketidaktahuan keberadaannya, menyelidiki karya aksara Sheila secara diam-diam. Ia mulai penasaran, menggungah rasa penasarannya terhadap kelanjutan ceritanya. Ia meneror sang gadis melalui sosial media secara terus menerus. Namun, Sheila tiba-tiba lenyap dalam hadapan bentala bertahun-tahun lamanya. Bahkan sosok pria kini tak pernah menampakkan sosok dirinya yang sedang meneror Sheila. Sama seperti Sheila, mereka berdua lenyap dalam suramnya bentala nan mencekam.

Sheila, sang gadis nan bergairah, kini tak pernah lagi melukis aksaranya dalam lembaran putih berkilau.
Kemanakah Sheila dan sosok pria itu ... ? Gemerisik kertas terdengar setelah seseorang menutup lembaran kertas itu. Siapa dia? Leila, seorang gadis yang baru saja membaca perjalanan Sheila. Ia memiliki keinginginan mewujudkan impian Sheila. Leila, sang gadis yang baru saja membaca perjalanan Sheila dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Ia memutuskan untuk membuat penelitian yang di luar ekspetasi. Ia akan berkelana ke beberapa kota, untuk menyebarkan angket ke kalangan anak muda. Angket itu mengangkat isu seberapa asing bahasa Indonesia formal. Berdasarkan jawaban rata-rata yang Leila terima, kini bahasa asing mulai merajalela di Indonesia, sehingga bahasa Indonesia formal mulai terlupakan.

Ia memutuskan untuk membangkitkan bahasa Indonesia formal, dengan membangun festival one day of Formal Indonesia, dimana festival itu mengajak seluruh warga Indonesia untuk berbicara bahasa Indonesia formal dengan sewajarnya saja. Festival tersebut akan memberikan kejutan spesial, jika ada yang berhasil melakukan tantangannya. Ternyata dampak dari festival yang diadakan Leila, sebuah kota yang tak jauh dari Jakarta, ikut serta dalam membangun identitas bangsa dengan selalu berbicara Indonesia formal selama sehari. Namun, pada akhirnya berbicara formal menjadi kebiasaan di daerah setempat mereka.

“Apakah anda membutuhkan bantuan?”
“Tidak, terimakasih. Saya sedang mengamati beberapa binatang untuk dijadikan laporan tugas akhir
saya.”
“Baiklah kalau begitu, saya izin pergi dahulu ya.”
“Terserah Anda.”

Mereka dengan sengaja menerapkan berbicara dengan bahasa formal, untuk menghindari datangnya budaya asing yang dapat memudarkan identitas bangsa secara perlahan. Kini keberadaan bahasa Indonesia formal menjadi misterius, tak tau kapan akan digunakan. Sebagian kota berusaha membangkitkan bahasa indonesia, tetapi sebagiannya, seperti kalangan muda justru melupakan bahasa Indonesia formal, yang menyebabkan Indonesia kehilangan identitasnya.



Posting Komentar

0 Komentar