Lembar Bahasa Demi Cita Bangsa - Chelsea Dameria Pasaribu


 Lembar Bahasa Demi Cita Bangsa 
Chelsea Dameria Pasaribu-SMAS Plus Taruna Andalan

  Sajak negeri melancarkan bahasaku. Demi bangsa, lembaranku bertambah. Tiap tutur kata menunjukkan bahwa cita bangsa sudah dekat. Ceritaku bukan sekedar cerita. Ceritaku sudah menjadi salah satu lembar di bahasaku yang membawaku menuju cita berbangsa budaya.

    Alarmku selaras dengan kicauan burung yang berhasil membuka mataku. Hari libur memang indah, tapi tidurku sangat perlu. Dengan terpaksa, kuinjak lantai kamarku dengan ngantuk. Orang-orang pasti merasa sepertiku. Rasa malas masih melekat di tubuhku dan aku masih enggan untuk bangun sepenuhnya. “Dinda, bangun nak,” kata ibuku sambil membuka gorden jendela kamarku. Terpaksa aku duduk dan bangun sepenuhnya. Mataku terbelalak ketika aku lihat jam dindingku menunjukkan pukul 07.48 sedangkan kelasku mulai pukul 08.00. Sontak aku melompat dari tempat tidurku dan bergegas pergi ke kampusku.

“Kelas yang membosankan,” gumamku yang lalu membuka ponsel diam-diam. Saat aku membuka ponselku, yang pertama kali aku lihat adalah aplikasi yang bernama ‘Bahasa Dunia’. Rasa penasaranku menggebu. Langsung aku buka aplikasi itu dan yang pertama kali muncul adalah kata singkat ‘Selamat datang Dinda. Berpetualang? Ayo ikuti aku.’ Aku tertawa kecil. Permainan seperti ini sedikit membuatku sepele. Tapi, rasa penasaran menenangkanku. Langsung aku buka aplikasinya dan ada petunjuk yang menyuruhku untuk membuat slogan dalam Bahasa Indonesia yang nantinya akan ditunjukkan kepada dunia lewat aplikasi ini. Aku pun membuat slogan dengan kataku sendiri dan menguploadnya ke aplikasi itu. “Hanya ini saja? Tidak menarik,” sepeleku karena aplikasi ini tidak memberiku apa-apa. Tidak terasa, bel sekolah sudah meneriakkan jamnya. Artinya pulang. Malam menunjukkan dinginnya. Waktu dan suasana yang tepat untuk mendengarkan musik dan memakan cemilanku. Saat membuka pesan, aku mendapat pesan dari orang luar negeri yang dimana dia memujiku. Dia memuji atas slogan yang aku buat. Bingung, senang, tidak tahu apa-apa, semuanya bercampur dibenakku. Saat aku cek aplikasi itu, ternyata banyak yang memberikan reaksi suka pada slogan buatanku. Senang? Ya, tentu. Dan tantangan baru muncul lagi. Aplikasi ini menyuruhku untuk membuat dialog tentang cita bangsa Indonesia. Aku sempat berpikir lama akan dialognya. Tujuh menit berlalu, aku langsung mengupload dialogku ke aplikasi ini. Mungkin saja bisa membuatku terkenal. Aku menulis semua apa yang menjadi permintaan dari aplikasi ini dan aku menulis semua apa yang menjadi jawab untuk pertanyaan itu di sebuah buku. Aku yakin lembar demi lembar akan terisi dengan kata-kata yang indah. Mungkin terdengar tidak membantu, tapi itu sudah menjadi kesukaanku. Aku, adikku, mama dan papaku, serta temanku, mereka bisa melihat lembaranku yang nantinya pasti ramai kata-kata.

   Tiga hari berlalu seperti itu saja. Namun, kali ini tantangannya berbeda. Aplikasi ini menyuruhku untuk menulis cerita yang bisa menyatukan dunia asalkan dengan budaya Indonesia yang menyangkut didalamnya. Aku sempat bingung akan  tantangan ini. Sudah dua jam aku berpikir, tapi entah mengapa aku tidak bisa menentukan alur ceritaku sendiri. Hingga muncullah niatku untuk ke perpustakaan kota untuk mencari buku penulis handal. Saat sampai, buku yang aku cari langsung kudapatkan dan kubaca. Jari-jariku mulai menari diatas ponselku untuk menulis cerita atau tantangannya. Aku merasa percaya diri akan ceritaku karena tidak ada seorang pun yang bisa memikirkan alurnya. Tiga jam sudah berlalu. Langsung aku kirim dan posting di aplikasi itu. Dan tidak lupa, aku menambah lembaranku dengan inti-inti dari ceritaku itu. Penaku menari di lembar ketujuh dengan indah. Aku ingin target minimal sepuluh lembar yang menjadi bahasaku. “Kenapa aplikasi ini tidak memberiku tantangan lagi?” bingungku setelah dua hari aplikasi ini tidak memberi kabar.

   Hari-hariku hanya seperti itu. Merasa tertantang memang benar. Tapi sudah dua hari tidak ada kabar apa-apa tentang cerita yang sudah kubuat. “Dinda, kamu ada di TV” kata ibuku dari ruang tamu yang berhasil membuatku beranjak dari kasurku. Aku langsung ke ruang tamu dan memang benar. Aku beserta ceritaku ada di TV itu. Respon yang baik datang dan terus tertuang kepadaku. Notif dari ponselku pun langung ribut bermasukkan. Banyak reaksi positif akan ceritaku dan terutama akan salah satu aspek yang ada dalam ceritaku, budaya Indonesia. Ada rasa bangga dimana banyak orang memuji budaya Indonesia. Aku merasa bahwa aku sudah berhasil dalam menyampaikan atau memperkenalkan budaya-budaya Indonesia kepada banyak penjuru negara. Semua platform pun menjadikan ceritaku sebagai bahan utama mereka. Malam itu kuhabiskan untuk membanggakan diriku dan melihat diriku di cermin bahwa aku memang berhasil. “Ini seperti mimpi...” ujarku yang tak nyangka bahwa aku bisa dibilang berhasil dan semangat untuk menambah lembaran lagi.

   Pulang sekolah, membuka aplikasi itu telah menjadi rutinitasku setiap hari. Tantangan demi tantangan kulanjutkan tanpa ragu. Kubuka ponselku, “Dimana aplikasinya?!” panikku sambil membolak-balikkan halaman ponselku. Tapi, tetap tidak ada keberadaannya. Panik dan sedih melekat kepadaku. Aku tidak mau aplikasi itu hilang. Aku mengadu ke ibuku. Ibuku hanya bisa menenangkanku seadanya.

   Kemana perginya itu? Aku hanya menatap ponselku yang kosong itu setiap hari. Sudah tiga hari, aplikasi itu tidak ada. Aku tidak mau lembaranku menganggur begitu saja. Lembaranku harus bertambah. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mengadu ke teman-teman hanya membuang waktu. Mereka juga tidak mungkin bisa mengembalikkan aplikasi itu.

   Tiba-tiba aku mendapatkan notif, “Sudah saatnya kamu menemukan bahasamu sendiri, Dinda. Kata-kata hanyalah awal, hati adalah kunci untuk memahami.” Aku tertegun membacanya sekalkus merasa bingung. Bagaimana bisa aku melanjutkan lembaranku tanpa aplikasi ini? Namun, saat dia memikirkan hal ini, sebuah berita mengejutkan datang: konflik budaya yang dia tulis sebelumnya meletus di berbagai negara. Orang-orang salah paham satu sama lain, menggunakan kata-kata yang salah diterjemahkan dan menyebabkan ketegangan internasional. Sebuah organisasi global memanggil Dinda, memintanya untuk menjadi mediator dalam sebuah pertemuan internasional. Mereka percaya bahwa Dinda, dengan pengalamannya menghubungkan banyak budaya, adalah satu-satunya yang bisa meredakan krisis ini.

   Saat dia tiba di pertemuan tersebut, situasinya jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Pemimpin dari beberapa negara besar saling berdebat, menerjemahkan pernyataan satu sama lain dengan nada yang penuh kebencian. Masing-masing merasa bahwa budayanya diremehkan dan disalahpahami. Dinda harus berpikir cepat. Ini adalah ujian nyata dari semua yang dia pelajari. Namun, kali ini dia tidak bisa hanya mengandalkan aplikasi atau kata-kata yang sudah dipelajarinya.

   Di tengah kekacauan itu, Liana memutuskan untuk mengambil langkah drastis. Dia berdiri di depan para pemimpin dunia dan mulai berbicara bukan hanya dengan kata-kata yang pernah dia pelajari, tetapi dengan hati. Dia menceritakan pengalamannya sebagai seorang gadis remaja dari kota kecil di Indonesia, bagaimana dia mempelajari setiap bahasa bukan sekadar untuk menerjemahkan, tetapi untuk memahami jiwa dari budaya yang ada di balik kata-kata itu. Dia berbicara tentang rasa cinta, keluarga, kebersamaan, dan bagaimana semua budaya memiliki esensi yang sama, keinginan untuk dipahami dan dihormati. Saat Dinda berbicara, suasana di ruangan itu mulai berubah. Para pemimpin yang tadinya marah dan tegang mulai mendengarkan dengan lebih saksama. Bukan hanya terjemahan yang mereka dengar, tapi juga pesan universal yang Dinda sampaikan. Bahwa bahasa hanyalah jembatan, dan pemahaman yang sejati datang dari hati.

   Pada akhirnya, pertemuan itu tidak hanya berakhir dengan damai, tetapi para pemimpin mulai menyusun rencana untuk lebih mempromosikan pemahaman lintas budaya di negara masing-masing. Aplikasi “Bahasa Dunia” mungkin telah hilang,  tetapi Dinda sadar bahwa pelajaran yang sesungguhnya bukanlah tentang kata-kata, melainkan tentang manusia yang ada di balik kata-kata tersebut. Dan kini, Dinda tidak hanya menjadi seorang penulis cerita, tetapi juga simbol bagi dunia yang lebih damai dan saling memahami.

    Saat aku membuka ponselku, ada notif yang masuk, “Terima kasih, Dinda. Kamu telah merangkai cerita yang membuat dunia lebih dekat dan membuat budaya di tanah airmu bisa dikenal banyak orang. Sederhana. Hanya lewat bahasa, kata, rangkaian yang kamu buat. Lanjutkan, cita-cita bangsamu sudah dekat dan lembaranmu sudah bertambah.” Aku menatap ponselku dengan perasaan campur aduk. Rasa terima kasihnya sudah kubawa dan tidak pernah pergi. Aku tersenyum.

   Aku tidak menyangka bahwa lembar bahasaku bisa membuat cita bangsa tanah airku semakin dekat. Kata yang kutuangkan selama ini bisa berdampak besar bagi budaya Indonesia. Aku akan mengingat lembar itu tanpa hilang sepatah kata pun. Dan akan menambahnya sampai tanah airku bisa mencapai citanya.

Posting Komentar

0 Komentar