Merajut Bahasa, Menyulam Mimpi - Carlasis Dahraina


Merajut  Bahasa, Menyulam Mimpi 
Carlasis Dahraina-SMAN PLUS PROVINSI RIAU

   Di sebuah ruang kelas yang sederhana, suara gemuruh anak-anak muda terdengar memenuhi ruangan. Mereka sibuk berdiskusi, berceloteh tentang masa depan, mimpi, dan cita-cita. Di antara mereka, Gendis, seorang siswi yang gemar membaca dan menulis, duduk termenung di dekat jendela. Pandangannya menerawang ke arah langit biru di luar, seakan ada harapan besar yang tengah ia tenun dalam pikirannya.

“Bahasa itu jembatan,” piker Gendis, “Ia yang menyatukan kita semua di tengah dunia yang semakin luas dan rumit.”

   Gendis selalu percaya bahwa bahasa memiliki kekuatan luar biasa. Bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai sarana untuk merangkai cita-cita. Ia sering memikirkan bagaimana Indonesia bisa berdiri teguh di tengah arus globalisasi yang begitu deras. Di era di mana batas negara kian samar, bahasa tetap menjadi pijakan identitas bangsa.

   Suatu hari, Gendis memutuskan untuk menulis sebuah esai tentang pentingnya menjaga kekayaan bahasa Indonesia sambil membuka diri terhadap bahasa asing. Ia percaya bahwa bahasa Indonesia bukanlah penghalang untuk maju di dunia internasional, tetapi fondasi yang harus diperkokoh. Saat ia menuliskan ide-idenya, ia teringat perkataan ibunya, seorang guru bahasa Indonesia di sekolah dasar. “Bahasa itu jiwa bangsa, Gendis. Jika kita tak menjaga bahasa kita, kita akan kehilangan jati diri kita sendiri.”

   Namun, dalam bayangannya, Gendis tahu bahwa hanya menjaga bahasa Indonesia saja tidak cukup. Di era globalisasi ini, dunia menuntut kemampuan untuk berbahasa lebih dari satu. Dia merenung, “Bagaimana kita bisa bersaing jika tidak bisa berbicara bahasa dunia? Tetapi, bagaimana kita bisa tetap teguh sebagai bangsa jika melupakan bahasa ibu kita?”

   Keesokan harinya, di sekolah, Gendis membagikan idenya kepada teman- teman. Ia berbicara dengan penuh semangat tentang pentingnya menjaga bahasa, tetapi juga belajar bahasa asing untuk membuka lebih banyak pintu di dunia internasional. Beberapa teman setuju, tetapi ada juga yang merasa belajar bahasa asing hanya akan melemahkan cinta mereka terhadap bahasa Indonesia.

“Tidak!” seru Gendis. “Bahasa Indonesia adalah warisan kita. Kita harus bangga, tapi kita juga harus mampu menjawab tantangan zaman. Dengan  merangkai bahasa, kita bisa menggapai cita-cita bangsa, bukan dengan menutup diri.”

   Mereka pun sepakat untuk bersama-sama merangkul globalisasi tanpa melupakan akar budaya mereka. Setiap hari, mereka belajar bahasa asing, tetapi mereka juga semakin sering menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, merasa bangga berbicara dengan bahasa mereka di antara dunia yang semakin terhubung.

   Beberapa tahun kemudian, Gendis berhasil mewujudkan mimpinya. Ia menjadi seorang diplomat muda yang dihormati. Di forum-forum internasional, Gendis dengan bangga berbicara dalam bahasa Indonesia, sembari fasih menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Mandarin. Di setiap pidatonya, ia selalu mengingatkan bahwa bahasa adalah kekuatan yang dapat menyatukan perbedaan. “Dengan bahasa,” katanya dalam sebuah forum internasional, “kita merajut masa depan bersama tanpa kehilangan jati diri kita. Di era globalisasi yang terus berkembang, Indonesia tetap berdiri kokoh dengan identitasnya. Generasi muda seperti Aisyah adalah bukti nyata bahwa merangkai bahasa adalah langkah pertama untuk mewujudkan cita-cita bangsa di era modern ini.

Posting Komentar

0 Komentar