SIAPA AKU? - Rahel Dyananda Jelita Simangungsong


SIAPA AKU?
Rahel Dyananda Jelita Simangungsong - SMK TARUNA Pekanbaru

Langit mulai memerah, membentuk warna yang indah. Sore hari di kota metropolitan ini, diantara Gedung-gedung tinggi pencakar langit, jalan-jalan yang penuh dengan keriuhan dari kendaraan yang tiada hentinya bergerak. Padat dan ramai, orang-orang yang sibuk berjalan, sibuk dengan dunianya masing-masing. Riuhnya kota ini sudah sangat menjadi hal yang biasa bagi Siska. Dipinggir jalan raya, Siska berhenti sembari menunggu taksi datang menjemputnya untuk pergi pulang ke rumahnya. Siska menatap layar handphone-nya, begitu banyak pesan-pesain email yang masuk kesana. Dengan berbagai Bahasa pula, dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Mandarin dan Bahasa-bahasa lainnya. 

Siska merupakan seorang karyawan dari sebuah perusahaan luar negeri. Ia datang dari sebuah desa kecil yang ada di Riau, dimana Bahasa yang digunakan merupakan Bahasa Melayu. Namun kini, Siska berada di kota. Kota ini penuh dengan berbagai keberagaman terutama Bahasa. Ditempatnya bekerja, orang-orang disana lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris dan Mandarin. Sering sekali Siska merasa kewalahan dan merasa tertinggal dari rekannya yang ada, terutama saat ada klien dari luar negeri, Siska harus banyak berlatih Bahasa-bahasa asing agar ia dapat memahami apa maksud dari klien-kliennya itu. 

Tak jarang, Siska sering diolok-olok rekannya karena menggunakan logat bicara yang cukup aneh ditelinga mereka. Tentu ada rasa sakit hati dan minder dalam dirinya. Terkadang, Siska pun hanya diam dan tak bicara karena takut rekan kerjanya kembali mengolok dia.apaan sih cara bicara lu kocak banget, Sis.” Ledek rekan kerjanya kepada Siska. Jawab Siska dengan perasaan kusut, ”maaf, aku masih terbiasa menggunakan logat Bahasa dari kampungku. Aku belum terlalu pandai menggunakan Bahasa yang digunakan disini, aku juga belum menyesuaikan diri di lingkungan yang baru ini.”

Begitulah hal-hal yang selama ini Siska rasakan. Hingga akhirnya Siska berusaha sangat keras untuk dapat berbicara dengan logat yang sama seperti rekan kerjanya. Lalu perlahan-lahan ia mulai kehilangan jati dirinya sendiri. 

Di bawah langit abu-abu, diantara silir angin. Siska berdiri menunggu taksi yang telah dipesannya untuk pulang sembari menggenggam banda persegi panjang bergambar perempuan bertubuh tinggi itu. Ia termenung, teringat kejadian ketika Siska diolok-olok. Perasaan sedih menusuk hatinya, tak terasa matanya mulai berkaca-kaca. Tin..tin.., suara itu menghentakkan Siska dari lamunannya. Jendela mobil perlahan terbuka, ”taksi, mbak?” tanya orang di balik kaca mobil itu. ”oh, iya mas” saut Siska sembari membuka pintu dan masuk ke mobil itu. Ia menikmati perjalanan sambil merenungi nasibnya. ”melamun aja, mbak. Ngelamunin apasih?” tanya driver. Jawab Siska sambil tersenyum, ”eh, no problem mas, gak apa-apa kok.” Tak terasa mereka sampai di rumah yang tidak begitu besar dan tidak begitu kecil. 

Malam semakin larut, bintang dan bulan saling menyapa. Dedaunan melambai lambai. Hembusan angin menyibakkan rambut Siska. Ia duduk ditepi teras sambil memandangi bulan dan bintang. Siska mulai mengingat masa kecilnya yang suram itu. Bodoh, kampungan, norak, kata-kata itu selalu mengejar Siska, selalu terngiang-ngiang di kepalanya. 

Kring, suara handphone mengejutkan Siska. Ada sebuah pesan masuk dari nomor asing yang tak Siska kenal. Siska bertanya-tanya dalam hatinya, siapa ini karena seingatnya ia tak pernah memberikan nomor pribadinya kepada orang asing selain untuk hal yang berkaitan dengan pekerjaan. ”hai, ini mbak Siska, kan?” isi pesan dalam handphone-nya itu. Walaupun hatinya bertanya-tanya Siska segera membalas pesan itu, ”iya betul saya. Maaf, ini dengan siapa? saya tidak mengenali nomor anda”.

”what the hell, malam-malam gini ada aja orang gak jelas. Perasaan gue gak pernah tuh kasih nomor ke orang asing kecuali urusan kerjaan,” keluh Siska setelah membalas pesan misterius itu. Malam semakin larut, akhirnya Siska kembali ke dalam rumah dan bergegas untuk tidur karena besok ia harus kembali pergi bekerja.

Hari demi hari. Pagi dan malam bergantian menyinari bumi. Gelap dan terang selalu dirasakan Siska. Tak terasa komunikasi kami terus berjalan. Siska yang awalnya hidupnya terasa gelap kini pelangi selalu hadir menghampirinya. Hingga suatu ketika, pembicaraan ke arah yang lebih serius. Bermula ketika ibertanya terkait keluarga Siska. ”Sis, kita udah lama kenal tapi kamu gak pernah cerita tentang keluarga kamu,” tanya ia kepada Siska. Jawab Siska, ”to be honest, gue ini cuma gadis desa yang kebetulan datang ke kota. Gue nih dibesarkan dari keluarga yang berdarah Melayu.” ”hahh kamu serius? Tapi kok logat dan cara bicara kamu kayak bukan orang Melayu?” balas ia. Siska terdiam sejenak sambil menghela napas dan menjawab, ”iya, dulu waktu aku di desa hidupku bahagia banget. Dari kecil aku bangga banget budaya dan Bahasa desaku. Aku pikir gak ada yang bisa ganti Bahasa yang kami gunakan. Tapi waktu kakiku menginjak Sekolah Dasar, disitulah yang awalnya cahaya matahari masuk bebas ke sekolah kami tiba-tiba cahaya itu enggan lagi masuk. Semua itu karena datangnya dua orang anak dari kota. Mereka melukai kami dengan kata-kata yang gak pantas. Bodoh, kampungan, norak, itu kata-kata yang keluar dari mulut mereka seakan-akan kami gak berhak untuk pakai Bahasa daerah kami. Waktu itu juga aku punya tekad untuk mengenalkan ke dunia luar kalau Bahasa dan budaya kami harus dikenal juga dibanggakan. Tapi waktu aku besar lalu pergi ke kota ini, apa yang pernah aku alami terjadi lagi malah lebih parah dari waktu aku kecil. Jadi, ya this is me now, I’m not same anymore.” ”oh iya? Berarti kita satu daerah. Aku apresiasi niat awalmu tapi jujur aku sedih karena kamu gak bisa pertahankan budaya dan Bahasa kamu, malah kamu ikut seperti mereka. Seharusnya kamu tetap ingat janji kamu kalau kamu gak bakalan lupain Bahasa dan budaya kamu itu. Padahal itu bukan hal yang memalukan, itu sesuatu yang membanggakan kenapa kamu harus ubah diri kamu. Kamu harus tetap jadi dirimu sendiri, gak perlu pura-pura jadi sesuatu yang lain supaya orang lain suka sama kamu,” timpalnya kepada Siska. ”tapi ini pilihan gue, kalau gak gini gue gak bakalan dapat teman dan gak bisa bergaul sama orang-orang kota. Lu gak usah deh nasihatin gue, gue udah dewasa tau mana yang baik buat gue. Urus aja urusan lu sendiri, udah deh gue jadi males ngomong sama lu,” balas Siska sambil menyudahi percakapan itu. Dengan perasaan sedih dan kesal, Siska kembali pergi dan meninggalkannya. 

Matahari terbit. Sinar matahari menusuk mata Siska dan membuatnya terjaga. Siska bangkit dari tidurnya dan bergegas untuk pergi ke tempat kerjanya itu. Setelah sampainya disana, ia melihat teman-teman kerjanya itu sedang berbicara tentang kontes budaya dan bahasa yang akan diadakan dalam waktu kurang lebih seminggu lagi. Siska merasa sedikit terkejut, lalu sejenak berfikir dan berkata dalam hatinya, ”dih, ogah banget deh gue buat bawain budaya dan bahasa disana ntar gue diejek lagi.” ”eh Sis, lu nanti bawain budaya dan bahasa yang kaya gimana? Penasaran nih gue, soalnya lu dulu kan keliatan banget orang desanya hahaha,” ledek temannya. Jawab Siska, ”haha apaan sih lu, sok tau banget. Better you shut your mouth.” Lalu pergi dan menjauh dari rombongan orang-orang banyak. 

Pagi hari ketika embun membasahi bumi. Burung burung saling berkicau. Kendaraan roda empat memenuhi jalan. Polusi udara dimana mana. Di depan kantor Siska melihat depan Gedung sudah dihiasi. Acara akan dimulai, satu persatu akan memperlihatkan budaya dan Bahasa yang akan dibawa. Saat Siska datang orang-orang ditempat kerjanya sangat terkejut dan terheran-heran, sebab Siska menggunakan pakaian budaya dari luar, yang mereka tahu, Siska adalah gadis yang berasal dari pedesaan. ”hi everyone, gimana nih penampilan gue? Keren kan, lu semua pasti kalah,” suara wanita terdengar, yang tak lain suara tersebut merupakan suara Siska. Hahaha, suara tawa memenuhi tempat itu. ”what the hell, Sis. Seriously? Lu kan orang kampung, yakali budaya lu sama Bahasa lu kaya gini?” sambung rekan sekerjanya. Banyak cemooh dari orang-orang di kantornya karena gaya Siska. Siska menjadi sangat marah dan malu, ia sangat ingin beranjak dari tempat itu. Mata kirinya mengeluarkan butiran, tak sanggup lagi ia menahan rasa sedih dan marahnya itu. Akhirnya Siska pergi sambil mendengar omongan-omongan buruk dari semua orang. 

Kini Siska berada di luar, ia menangis sejadinnya. Ia membuka ponselnya, lalu melihat banyak pesan dengan kata maaf. Awalnya Siska sedikit risih, tetapi sebetulnya dia sayang dengan orang itu. Namun, perasaan sayang itu kini telah berubah menjadi benci. Itu semua karena perkataan yang pernah dikeluarkan dari mulut orang itu. 

Waktu terus berjalan, Dia terus berusaha menghubungi Siska untuk meminta maaf. Walaupun tak ada respon dari Siska, ia terus mencoba. Tak peduli apapun, yang terpenting adalah kata maafnya diterima perempuan bertubuh tinggi itu. Pada akhirnya, Siskapun luluh, Siska menerima permintaan maaf itu. Kisah yang awalnya terhenti sejenak kini kembali berlanjut. 

Dengan mata berkaca-kaca Siska menceritakan semua kejadian yang dialaminya itu, ”memangnya gue salah ya? Padahal gue cuma pengen orang-orang disana hargain gue, bukan kayak gini,” kata Siska dengan penuh emosional. Balas ia menenangkan Siska, ”Sis, kamu gak salah kok. Aku paham, kamu itu cuma mau dipandang, dianggap sama orang-orang disana kan? Tapi Sis, dengan kamu mengubah diri kamu itu bukan cara yang tepat. Kamu gak perlu menghilangkan Bahasa mu, jangan malu dengan Bahasa yang kamu miliki. Seharusnya kamu bangga, diera sekarang yang semua canggih kamu masih mempertahankan budaya juga Bahasamu.” ”jadi, sekarang aku harus gimana? Aku takut kalau aku kembali kayak kemarin, aku gak bakalan punya teman. Mereka gak mau bergaul dengan orang yang gak sama kayak mereka,” timpa Siska dengan sedihnya. ”gak, Sis. Kamu salah, orang yang memang mau dengan kita, pasti terima gimanapun diri kita. Kita di Indonesia ini ada banyak Bahasa juga budaya. Kita wajib bangga dengan apa yang kita punya. Zaman yang semakin berkembang, tak dipungkiri orang-orang semakin banyak yang melupakan kebudayaan dan ciri khas yang dimiliki. Tak jarang, mereka malu dengan Bahasanya sendiri, ingin terlihat keren dengan Bahasa-bahasa gaul. Kita gak pernah dilarang untuk mengeksplore hal-hal diluar sana, Sis. Tapi bukan berarti kita lupakan asli kita sendiri, terlebih lagi kita gak mau akui asal dan budaya kita,” tambahnya. Siska terkesima dengan perkataan yang dilontarkannya. Ia tersadar yang ia lakukan ini salah, seharusnya ia tak perlu malu dengan apa yang sudah menjadi ciri khasnya. Tak perlu merubah jati dirinya agar orang-orang mau menerimanya.

Dia Dito, seorang Driver muda yang pernah mengantarkan Siska pulang ke rumahnya. Berkat laki laki berparas gagah dan bertubuh tinggi itu Siska kembali menjadi Siska yang memliki tutur bahasa lembut, sopan, dan berbudaya.





Posting Komentar

0 Komentar