Melawan Arus Takdir - Tia Aisha Sugianto


Melawan Arus Takdir
Tia Aisha Sugianto - SMAN 10 Pekanbaru

Bulan sudah kehabisan waktu, mentari berkerja dengan baik menggantikan perannya, Cahaya lembut menghiasi gedung sekolah yang tidak kulihat 1 bulan belakangan ini. Tidak ada rasa rindu yang membuncah, semuanya hilang begitu saja. Kulangkahkan kakiku kembali ke dalam gedung ini, semuanya masih sama seperti dulu, suara cemooh yang masih saja menghiasi pagiku. Namaku Gara Taraka atau sering disapa Gara. Anak dari keluarga miskin yang minim pendidikan. Ayahku yang hanya seorang petani dan ibuku seorang pembantu. Namun, semua kami syukuri meski hanya secukupnya. Aku bukanlah anak yang terlahir dengan kepintaran alami, tetapi usaha untuk menaikkan nilai takkan pernah pudar. Aku si anak miskin yang tidak memiliki apa pun selain mimpi besar untuk menggapai perguruan tinggi. Saat ini aku berada di kelas 12 SMA Bimantara, sekolah yang katanya sangat bergengsi di daerah Yogyakarta. Benar memang, semua murid yang bersekolah di sini adalah anak dari orang yang berada. Berbeda denganku, seorang anak beasiswa yang sering dibungkam. Waktu telah terkikis selama aku meninggalkan gedung ini, namun dia bahkan tidak berubah sedikit pun. Pemuda bernama Baskara, sosok yang telah menorehkan tinta hitam pada setiap lembar perjalananku di SMA ini. Dialah orang yang membuatku terjerat scorssing akibat rumor gila yang ia buat, rumor bahwa aku membayar seorang guru untuk mendapatkan nilai bagus. Padahal mereka tahu bahwa aku hanyalah anak orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Hari baru bahkan belum lama dimulai, namun Baskara sudah bersiap untuk memangsa. ”Ehh..anak miskin udah balik aja, gimana scorsingnya? Enak nggak? atau mau ditambah lagi?.” Perlahan suara tawanya memenuhi gendang telingaku, "Menjijikkan, seharusnya kamu malu nggak sih? mau sok-sokan berkuasa padahal masih pakai kekuasaan orang tua buat nyingkirin aku.” Seketika hening menyerang kami untuk beberapa saat, "Lemah..” Ucapku mencemoohnya. 

Kulihat tangan Baskara yang siap menghancurkan semuanya. Untungnya tangan lain lebih dulu menarikku, kami berlari dari kejaran Baskara dengan makian yang terus keluar dari mulutnya. 

"Sini kalian kalau berani! berhenti gila ...” Perlahan dapat kudengar teriakan Baskara yang semakin samar. Jantungku berdetak tidak karuan. Dengan nafas yang tersenggal-senggal, paru-paruku rasanya sudah ingin pecah. Kuraup oksigen dengan rakus seakan tidak ada hari esok. Kulihat pemuda baik hati disamping, perlahan aku tersenyum. 

”Jo.. makasih ya, kalau nggak ada kamu bisa jadi ayam geprek aku tadi.” Ucapku saat menyadari sosok pemuda yang telah menolongku. 

Dia adalah Jovan Margana satu-satunya teman yang kumiliki sejak aku menjadi salah satu keluarga dari sekolah ini, ”katanya”. Satu-satunya orang yang tahu bagaimana jiwaku yang perlahan kehilangan cahanya. Udara dingin menerpa tubuh kami. Keheningan sudah melanda sejak 5 menit yang lalu, kami terlalu fokus dengan pikiran masing-masing. Menikmati pemandangan indah sekolah dan melupakan misi pelarian diri dengan menetap di atap tak berpenghuni ini.

 "Selanjutnya mau kuliah dimana?” Keheningan pecah akibat celetukan Jovan. 

"Nggak tau, belum kepikiran.” Jawabku dengan ragu-ragu.

”Cepet tentuin Gar, kita udah kelas 12 loh.” Perkataan Jovan memang ada benarnya, tapi.. 

“Niatnya sih pengen di UGM, cuman tau lah..” Suaraku mengecil bahkan nyaris tidak terdengar. 

Sedetik kemudian Jovan beranjak dari posisinya, kulihat tubuh tegap Jovan memudar dari pandanganku, kepalaku kembali berisik, kulangkahkan kakiku untuk meninggalkan tempat indah ini. Di tengah perjalanan kembali ke kelas, aku bahkan tak menyadari keberadaan sosok yang kukenal dekat karena kepalaku yang terlalu berisik, kulihat Jovan perlahan menghampiri dengan sebuah kertas digenggamannya,

"Nih..masih ada beasiswa KIP Kuliah yang bisa kamu dapetin, jadi berlajar yang rajin. Semisal ada yang nggak paham tanya aja jangan diam.” Telingaku bahkan masih memproses kalimat panjang yang diucapkan oleh Jovan, namun perlahan senyumku mengembang saat melihat kertas itu, ”Pengertian sekali temanku ini.” Ucapku kepada Jovan yang kembali menghilang tanpa penjelasan. Warna jingga dan merah memenuhi langit, menandakan telah selesainya kegiatan kami di sekolah. Perasaan bahagia terus mengelilingi tubuhku. Kuucapkan terima kasih pada Jovan yang terus memberikanku solusi. Kejadian tadi tentu tidak membuat Baskara jera, si gila itu bahkan menjadi lebih gila dengan sikapnya, namun semuanya berhasil kuabaikan dan kulawan. Aku tidak bisa memakai topeng anak baik dihadapan Baskara terus-menerus, kupastikan waktu 1 bulan dapat mengubahku. Sore ini kami pulang bersama, ke tempat yang diberi nama rumah, perjalanan kami dipenuhi canda tawa. Menikmati indahnya senja di hari itu sebelum akhirnya mengucap selamat tinggal dan berpisah.

“Assalamualaikum ... Gara pulang!” Suasana hening di rumah membuat aku penasaran akan keberadaan sang penghuni, “ Masuk mas..ibu di dapur” ku hampiri asal suara dan memeluk orang didepanku, mengucap salam, dan pamit undur diri untuk membersihkan diri. Waktu telah berlalu, kini bulan lah yang menemani kami, ayah yang baru saja pulang dari ladang bergegas untuk membersihkan diri. Kami menyantap makan malam buatan ibu dengan nikmat, sinar rembulan menemani suasana ruang makan kami yang terasa menyenangkan. Kini semua telah selesai, kubantu ibu membersihkan semuanya dan menghampiri ayah di ruang keluarga, disusul ibu dengan teh hangat di kedua tangannya. 

"Yah, bu... Gara mau ngomong sesuatu” suaraku menyapa mereka takut-takut, 

”Mau ngomong apa mas? Kok serius banget,” jawab ibu dengan suara lembut andalannya, dapat kulihat ayah yang sepenuhnya memperhatikanku.

"Mas..pengen kuliah bu, yah..” kalimat itu seakan memecah atmosfer kegembiraan kami, suasana berubah menjadi tegang, wajah ayah yang awalnya penuh senyuman kini berubah serius. Dapat kulihat tangan
lembut ibu mengelus punggung ayah. 

"Nggak usah mimpi kamu!” Suara berat ayah menyapa telingaku, “Kenapa?.” Tanyaku lirih. 

“Kita itu orang miskin, mustahil mas!.” Nada tinggi ayah mengagetkanku, 

”Sabar yah, sabar..” Suara ibu mencoba menengahi, 

"Gara bisa belajar lebih giat kok biar dapet beasiswa. Gara juga bisa kerja nanti buat nambahin uang jajan, jadi ayah sama ibu nggak perlu keluar uang sedikitpun. Gara cuman pingin kalian percaya sama Gara, sulit kah?..” Rentetan kalimat panjang yang keluar dari mulutku berhasil memotong omongan ibu. 

Kondisi semakin tidak kondusif, ayah yang semakin berteriak menolak dan aku yang masih berusaha meyakinkan. Luruh sudah pertahananku, bisa kurasakan air mata mulai menyapa wajahku, malam itu emosi ayah seakan menggetarkan rumah. Malam yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi mengerikan, bahkan tangisan ibu tidak menghentikan pertengkaran kami. Awan hitam menghiasi langit pagi ini, seakan ikut bersedih tentang apa yang terjadi. Kujalani hari seperti biasa seakan tidak ada yang terjadi. Aku bertekad akan menunjukkan pada ayah dan ibu bahwa orang miskin juga bisa berkuliah. Kulewati hari-hariku dengan belajar ditemani Jovan, kami berusaha bersama, berusaha mendapatkan hasil yang baik untuk masa depan. Tentu tidak akan mudah, ada saat dimana jiwaku sudah lelah dengan semuanya. Kuhampiri atap sekolah yang kini menjadi tempat kesukaanku dan Jovan untuk menenangkan diri.

Tubuh tegapnya menjadi pemandangan pertama yang kulihat, 

"Jo..ngapain disini?” tanyaku penasaran, kuhampiri tubuh itu dan menepuk pundaknya, 

“Lah kamu sendiri ngapain disini?” Bukannya menjawab Jovan malah melontarkan pertanyaan yang sama kepadaku. 

"Capek Jo..kata orang setiap masa ada waktunya, tapi kenapa masa ini nggak pernah berlalu, katanya roda itu berputar Jo, tapi kenapa rodaku tidak..?” Rentetan pertanyaan yang tidak pernah kutemukan jawabannya kini kutanyakan pada Jovan, 

”Itu berarti Tuhan punya jalan lain buat kamu, sabar aja. Tuhan pasti udah nyiapin yang terbaik.” Aku menatap kosong pemandangan didepan. 

Pada akhirnya hanya Jovan yang mengertiku. Waktu terus berjalan, kegiatan belajar sudah menjadi makanan sehari-hariku. Kegiatan yang mebuatku stress, tapi aku menyukainya. Seiring waktu berjalan aku mulai menyadari ayah yang semakin dekat dari jangkauanku. Dimulai dari ayah yang tiba-tiba membelikanku buku tambahan belajar. Tidak hanya itu ayah bahkan membawakan makanan ke kamar disaat aku terlalu sibuk belajar. Kulihat ayah juga mulai menabung untuk kebutuhanku kedepannya. Malam itu kuputuskan untuk meminta penjelasan dari ayah. 

"Ayah tidak sakit kan?” Tanyaku kepada ayah yang sedang menonton televisi bersama ibu, 

"Nggak lah, emang kenapa?” Jawab ayah tanpa mengalihkan perhatiannya 

"Ayah kenapa tiba tiba berubah gitu.” tanyaku dengan segala pertimbangan. 

"Berubah apanya sih, orang ayah biasa aja.” Jawaban ayah terus saja berbelit-berbelit 

"Ya terus kenapa tiba-tiba beliin mas buku?.” Muak sudah aku dengan ayah yang terus saja menghindar

”Ayah nggak berubah. Ayah cuman sadar kalau ayah terus nahan mas, gimana mas mau maju? Maaf ya ayah udah marah dan nahan mas buat gapai impian” Luruh sudah, air mataku kembali menyapa pipi. 

Bisa kurasakan ayah yang menarik tubuhku ke dalam pelukannya, dengan ibu yang mengelus punggungku lembut.

"Semangat ya mas, jangan patah menyerah ayah sama ibu akan selalu dukung mas.” 

Malam itu, malam yang menyaksikan bagaimana sedih dan senang bercampur dalam diriku. Hari penentu telah tiba, setelah melewati waktu yang panjang dan semua doa yang telah kurapalkan setiap hari layaknya penyihir merapalkan mantra. Segala perasaan memenuhi hatiku. Jantungku berdetak cepat. Tanganku bahkan bergetar, terlalu takut untuk menghadapi kenyataan di balik ini semua. Kulihat Jovan yang ada di dihadapanku, menautkan tangan kami untuk memberi semangat tanpa kata. Mengabaikan semua pikiran buruk yang terlintas, :1, 2,...3” Perlahan kubuka mataku, mengintip laman SNBP yang akan menjadi masa denpanku. 

"Wakhh.”

Kami berteriak bersama meneriakkan semua rasa bahagia dan lelah yang mencampur menjadi satu. Aku berhasil, aku berhasil menggapai impian besar yang katanya tidak mungkin. Aku berhasil diterima di kampus impianku. Kulihat laman milik Jovan. Kosong, tidak ada apapun di laman web itu. Kutatap mata tajam milik Jovan, menuntut penjelasan darinya. 

"Aku nggak kuliah di sini, bunda minta buat aku kuliah di luar negri, maaf..” hatiku seakan tersambar petir, hal yang tidak pernah kuduga terjadi. Sedih tentu saja kurasakan, tapi bundanya pasti memiliki alasan di balik ini. 

"Gpp, bunda pasti ingin yang terbaik buat kamu” ucapku berusaha menenagkan Jovan yang terus meminta maaf. Kuputuskan untuk melupakan hal ini, masih ada kabar lain yang sedang menanti sorak. Aku berhasil mendapatkan beasiswa KIP Kuliah. Aku harus memberitahu ayah dan ibu akan hal ini. Ayah dan ibu turut bahagia mendengar kabar ini, bahkan mengeluarkan air mata berharga mereka. Hari ini kami putuskan untuk mendatangi pantai yang berada di dekat rumah. Menumpahkan semua rasa bahagia yang ada. kunikmati angin sejuk yang menerpa wajah ku. Pohon-pohon bahkan menari dengan debur ombak sebagai melodinya seakan tahu kebagian kami. Kutautkan tanganku dengan ayah, ibu, dan Jovan. Menetapkan jiwa dan raga untuk menghadapi hal yang tidak terduga di masa depan nanti.

Posting Komentar

0 Komentar