Petang menyilaukan pandangan saat Pelita bergegas pulang dengan tas di tangan, berharap segera tiba di rumah. Setibanya, ia merapikan sepatu usangnya dan membersihkan diri. Tak lama kemudian, ibunya pulang membawa plastik yang sama sejak pagi. Melihat Pelita dikelilingi buku dan pena, sang ibu bertanya,
“Pelita, sudah makan?”
“Sudah. Kalau Ibu?” tanya Pelita. Ibunya mengangguk, meski wajahnya menunjukkan raut lapar.
Pelita ingin membicarakan sepatunya yang rusak, tetapi mengurungkan niatnya dan bertanya, “Bu, boleh aku bantu berjualan?”
Ibunya tersenyum dan menjawab, “Boleh.”
Pelita menyampaikan rencananya untuk mengubah kain batik menjadi barang jualan di sekolah, tetapi ibunya menolak tegas, “Tidak. Kalau gagal, kainnya sia-sia. Fokuslah belajar untuk jadi guru atau PNS.” Setelah ibunya menutup pembicaraan dan beranjak tidur, Pelita tetap terjaga di bawah bintang-bintang malam, dikelilingi oleh ide-ide yang terus menyala, meski ibunya menganggap kain itu hanyalah jalan sia-sia.
Angin berdesir lembut, menggiring daun melayang. Suara pensil yang menggesek kertas dan mata penuh fokus buyar oleh lemparan penghapus. “Jangan menggambar saja, Pelita! Kerjakan tugasmu, jangan malas, nanti makin miskin,” ujar Ayu sambil tertawa dengan teman-temannya. Pelita memilih mengabaikannya.
“Jangan kebanyakan tertawa, mulutmu lebar sekali,” sindir Dwi, mengambil penghapus yang dilempar Ayu. Ayu memelototi Dwi sebelum pergi.
“Gapapa, Pelita?” tanya Dwi, dan Pelita mengangguk sambil tersenyum. Dwi menegaskan bahwa orang seperti mereka harus diberi paham, sementara Pelita memilih untuk tidak mempermasalahkan. “Dia itu bodoh, nggak punya bakat tapi banyak omong,” tambah Dwi kesal dan Pelita hanya tertawa mendengarnya.
“Oh iya, kamu ikut lomba desain yang aku bilang nggak?” tanya Dwi sambil melihat gambar di meja yang sedang dibuat oleh Pelita.
Pelita mengonfirmasi bahwa ia ikut tetapi belum ada kabar. Dwi menyemangati untuk menunggu. Setelah bel sekolah berbunyi, Pelita pulang dan memandang poster lomba desain itu dengan penuh harap.
Angin lembut menemani langkah Pelita yang penuh renungan. Meski lomba desain terasa sepele dan pengumuman belum ada, ada sedikit kekecewaan menyelusup di hatinya. Ia tak akan menyerah, meskipun alatnya seadanya. Terpikir ide cemerlang, Pelita tersenyum.
Dini hari, sebelum ayam berkokok, ia diam-diam mengambil kain ibunya. Begitu ibunya terbangun, Pelita sudah sigap menyiapkan sarapan dengan seragam lengkap. “Pagi, Ibu mau sarapan juga?” tanyanya sambil tersenyum cerah.
Di sekolah, Pelita membawa tiga kreasi syal batiknya. Dwi terpesona melihat syal pink dengan aksen pita, hasil kreasi Pelita tanpa sepengetahuan ibunya. “Lucu kan!” seru Dwi bangga, memamerkan syal itu pada teman-teman. Syal itu gabungan dua kain batik dengan pola berbeda menyatu sempurna.
Melihat kerumunan, Ayu dan teman-temannya mendekat. “Oalah, kain murahan ternyata,” cibir Ayu, mengambil syal batik itu dan tertawa.
“Bisa ngga kamu ngga usah jualan? Jelek banget soalnya,” sahut Mika. “Mau ngajak ribut?” tanya Dwi kesal, menatap tajam Mika.
Ayu menjatuhkan syal dan pergi, “Dasar kampungan,” seru teman Ayu lainnya. Dwi ingin menghampiri, tetapi Pelita menahannya. Meskipun, Ayu teman masa kecilnya, mereka tidak dekat lagi.
Pelita menerima banyak pesanan syal melebihi targetnya, berkat Dwi yang rajin mempromosikannya. Pelita berencana menggunakan hasil jualan untuk membeli alat jahit dan mengikuti lomba lagi. Namun, kesibukan tersebut membuatnya kehilangan fokus pada pelajaran, dan tugas kelompoknya bersama Ayu tertunda. Melihat hal itu, Ayu marah dan berencana membuang syal Pelita.
Saat kelas kosong, ia mendekati laci Pelita. Mendengar suara langkah mendekat, Ayu cepat-cepat mengambil plastik hitam di laci dan pergi.
Sepulang sekolah, Dwi melihat Pelita panik. “Pelita, ada apa?” “Uangku hilang…” jawab Pelita, lemas dengan mata berkaca-kaca.
“Kok bisa?!” Dwi terkejut. Pelita menggeleng, Dwi berusaha menenangkannya. “Kita coba cari di sekitar sekolah, ya?”
Meski berkeliling, hasilnya nihil. Hingga petang pun tiba, mereka memutuskan melanjutkan pencarian besok. “Pasti ketemu, kok! Kita coba lagi besok ya!” ujar Dwi, menenangkan Pelita yang terlihat sedih.
Langit mulai meredup saat Pelita melangkah pulang, setiap langkah terasa berat, membawa harapan yang pudar. Di teras, ia mendapati ibunya dengan syal dan sisa kain berserakan, menandakan bahwa ibunya telah mengetahui perbuatannya. Sang ibu menunjukkan kertas ulangan sosiologi Pelita yang nilainya rendah.
“Karena ini semua nilai kamu jelek?” tegur ibu tegas. Pelita menunduk, terlalu lelah untuk menjawab.
“Ibu, nanti saja ya…” jawab Pelita letih.
“Tidak! Gara-gara ini nilaimu jadi jelek.” Ibu hendak membuang syal buatan Pelita, tetapi Pelita segera menahannya.
“Ibu, tolong jangan… IBU! Aku capek! Tolong, Ibu…” Pelita meluapkan emosinya. “Ibu bahkan nggak tahu kenapa aku mati-matian buat ini…”
Air mata Pelita jatuh, menghantam hati ibunya. “Apakah menggapai mimpi itu mustahil? Aku sudah berusaha keras berjualan, tapi selalu ada yang menghalangi. Apakah orang miskin dilarang menyentuh mimpinya?” tanyanya penuh keputusasaan. Ibu terkejut dan langsung memeluknya erat, membuat air mata Pelita mengalir deras. Setelah tenang, ia menceritakan mimpi dan penjualannya, serta uangnya yang hilang. Ibu tidak marah besar, dan pelukan hangat itu mengubah malam yang dingin menjadi terasa hangat seperti sinar pagi.
Sinar pagi yang hangat tak cukup mengembalikan keceriaan Pelita saat Ibu Guru Lika memanggilnya. “Kamu Pelita, Nak?” tanya Ibu Lika, yang kemudian menyerahkan plastik hitam yang membuat mata Pelita berbinar. “Ini punya kamu, kan?”
Pelita menjawab gembira, “Iya, Bu! Saya mencarinya dari kemarin.”
Ibu Lika lalu memberikan surat yang menyatakan, “Selamat! Kamu menang babak pertama lomba desain.” Namun, saat Ibu Lika menjelaskan bahwa babak kedua akan diadakan di luar kota, Pelita hanya menunduk dan menolak.
“Saya menolak, Bu.” Ibu Lika terkejut dan bertanya alasannya, menawarkan bantuan biaya, tetapi Pelita tetap diam dan Ibu Lika menyarankan agar ia berpikir lagi.
Setelah pamit, Dwi yang mendengar semua itu menarik Pelita ke samping. “Kenapa kamu tolak? Itu kesempatan berharga!” desak Dwi.
“Aku takut…” gumam Pelita.
Dwi tidak paham. “Takut? Kamu tidak bakalan mati jika gagal!” ujar Dwi.
Pelita emosi. “Kamu tidak tahu apa-apa! Lebih baik aku berjualan daripada buang waktu.”
Dwi merasa bersalah, namun tetap berkata, “Jadi kamu ingin buang mimpimu? Bukankah kamu ingin buktikan kain itu berarti? Kamu seperti burung yang terkurung dalam ketakutan.” Dwi pergi, meninggalkan Pelita yang tertegun.
Di rumah, ibu menyambutnya ceria setelah melihat surat yang dibawa Pelita. “Pelita, kamu menang!”
Namun, Pelita menggeleng, “Aku menolak, Bu. Lebih baik aku berjualan, Aku tidak mau hidup dalam kekhawatiran, Bu.”
Ibu tak senang dan bertanya apakah Pelita ingin meninggalkan mimpinya. Ia kemudian memberikan nasihat, “Dunia ini kejam, Nak. Berani jatuhlah, bahkan jika jatuh, jatuhlah di antara bintang. Ibu selalu mendukungmu.” Malam yang panjang, Pelita merenung hingga akhirnya tertidur dalam pelukan hangat ibunya.
Hujan deras membuat sekolah cepat sepi, sementara Pelita dan Dwi menunggu di kelas. Saat hujan mereda, Pelita menemukan surat di atas bukunya. Setelah membacanya, ia bersemangat berteriak, “Dwi, aku akan ikut!” Dwi tersenyum bangga, dan bulan ini akan menjadi bulan yang sibuk bagi Pelita untuk fokus pada babak berikutnya.
Hari lomba tiba. Saat akan memakai sepatu, Pelita melihat sepasang sepatu baru dan ibu tersenyum berkata, “Itu untukmu.” Mereka berpelukan, dan ibu berbisik, “Tunjukkan pada dunia bahwa mimpimu bukan omong kosong.”
Di lomba, Pelita merangkai kain dengan ketekunan hingga menciptakan gaun bermotif batik Riau yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Karya tersebut mengesankan para juri dan mengingatkan semua orang akan pentingnya melestarikan kebudayaan di era globalisasi. Seminggu kemudian, Pelita diumumkan sebagai juara pertama, dan sorak sorai menggema di sekelilingnya, membuatnya merasa bangga.
Sebelum pulang, ia menghampiri Ayu dan mengucapkan terima kasih, mengakui bahwa surat permintaan maaf Ayu telah memotivasi dirinya untuk ikut lomba. Ayu, yang merasa terharu, bertanya apakah mereka masih teman, dan Pelita menjawab pasti. Dengan hati penuh harapan, ia pulang membawa mimpi dan kebahagiaan baru, menyadari bahwa meski jalannya masih panjang, kini ia tidak lagi sendiri.
0 Komentar