Ruang untuk Berbicara - Cahya Jauhara Dinata

 


Ruang untuk Berbicara 
Cahya Jauhara Dinata - MAN Insan Cendekia Siak

"Seorang jurnalis adalah mata, telinga, dan suara bagi orang-orang yang tidak memiliki  suara." - Sidney Schan 

Lembayung senja kala itu membuat seorang Jurnalis muda yang kerap disapa Nia  melangkah dengan lunglai sambil memikirkan sebuah pekerjaan yang baru saja diberikan  untuknya. “Nia, buatkan artikel yang berisi impian dari para masyarakat yang sering terabaikan  banyak khalayak” itulah perkataan dari atasannya yang membuatnya sangat kebingungan. Nia 

Almeda yang kerap disapa Nia adalah wanita muda yang baru saja lulus dari sebuah perguruan  tinggi negeri dan juga seorang yang sangat berbakat di bidang ke penulisan, inilah yang  membuatnya berhasil menjadi seorang Jurnalis muda di sebuah perusahaan berita yang dibilang  cukup besar. 

Saat ini Nia sedang melanjutkan perjalanan pulangnya dengan tidak henti  membayangkan banyak ide yang sudah terbesit dalam pikirannya. Sesampainya di rumah, Nia  langsung membuka laptopnya dan mencari beberapa artikel yang dirinya bisa jadikan inspirasi  untuk ditulis ulang menjadi sebuah topik baru yang menarik banyak orang. Ia juga teringat  dengan beberapa kisah dari pedagang kaki lima yang berjuang untuk mendapatkan tempat  berjualan di tengah ketatnya regulasi dan beberapa kisah lain yang menarik perhatiannya.  

Dengan semangat yang sangat membara, Nia menghabiskan malamnya dengan meriset  lebih dalam tentang artikel yang akan dirinya tulis. Ia membaca berbagai berita lama, juga  melihat berbagai dokumentasi aslinya, serta mencari berbagai sudut pandang yang dapat ia  sampaikan. Hingga beberapa jam berlalu, Nia melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan  pukul 01:00 Nia pun memilih untuk menutup laptopnya karena kelopak matanya yang kian  berat dihimpit kantuk.  

***** 

Mata Nia yang semula terpejam perlahan terbuka, dan betapa terkejut dirinya  mendapati dirinya terbangun di tengah lautan manusia yang riuh. Di sekelilingnya, orang-orang  berjejal, mereka mengacungkan poster dan spanduk tinggi-tinggi ke udara. Nia pun mengamati beberapa tulisan-tulisan yang tergurat pada poster-poster itu “Perbaiki Masa Depan Indonesia, Kami Ingin Pendidikan yang Layak” begitu salah satu spanduk yang Nia baca, sementara yang  lain tertulis lantang “Tuntaskan Kemiskinan Indonesia.” 

Dengan rasa ingin tahu yang sangat tak tertahankan, Nia berusaha menyusuri  kerumunan menerobos gelombang manusia yang berdesakan. Kian jauh ia melangkah, semakin  terlihat jelas oleh matanya kenyataan pahit yang ada di hadapannya. Ia tengah berada di antara  mereka yang berjuang, demi meraih transformasi besar dalam hidup mereka. Nia merasakan  sayatan iba merembesi hatinya, mempertanyakan nasib orang-orang di sekitarnya ini. “Apa  yang telah terjadi pada mereka?” batinnya bergumam. “Apakah mereka harus melakukan ini 

karena suara mereka tak lagi didengar? Karena mereka kerap dianggap remeh oleh mereka  yang hidup berkecukupan?”. 

Saat ia masih mencoba menelusuri lebih jauh, tiba-tiba asap pekat membubung dari  sesuatu yang dilemparkan oleh aparat. Pemandangan di depannya pun memudar begitu saja,  berganti kabut putih yang menyesakkan. “Astaga!” Nia tersentak, membuka matanya lebar lebar. Sekelilingnya kembali sunyi ia tak lagi berada di kerumunan itu, hanya kamar tidur yang  hening tersisa di hadapannya. Dengan tangan gemetar, Nia meraih segelas air di samping  tempat tidur dan meminumnya sampai habis, berharap sensasi nyata dinginnya air bisa  mengusir bayangan yang masih bergelayut di benaknya. 

Nia berjalan menuju tempat kerjanya dengan langkah pelan, pikirannya masih saja dipenuhi oleh mimpi yang baru dialaminya. Bayangan lautan manusia, spanduk-spanduk yang  menghunus langit, dan kepulan asap masih membekas di benaknya. Saat sampai di tempat  kerjanya pun ia terus merenung, mencoba memahami makna di balik mimpi itu, seolah ada  pesan yang ingin disampaikan kepadanya. 

Apa sebenarnya yang ingin diungkapkan oleh mimpinya tadi malam? Pertanyaan itu  terus berputar dalam pikiran Nia, menggugah rasa ingin tahunya tentang kondisi mereka yang  sesungguhnya dan perjuangan yang harus mereka hadapi setiap hari. Nia membuka telepon  genggamnya, berharap artikel yang dipublikasikannya di internet tadi malam mendapat respons  positif dari berbagai kalangan. Namun, pandangannya tertuju pada sebuah komentar: “Pasti  penulis artikel ini tidak pernah merasakan hidup di kalangan miskin.” Nia mengernyitkan dahi  membaca komentar itu. 

Nia kemudian memasuki ruang atasannya untuk mengevaluasi hasil artikelnya.  “Tulisanmu sudah sangat bagus, Nia, tetapi sudut pandang yang kamu berikan kurang mewakili  perspektif kalangan bawah,” kata atasannya. “Jadi, saya harus menyampaikan artikel ini dari  sudut pandang kalangan bawah juga?” tanya Nia, yang dijawab dengan anggukan setuju oleh  atasannya. Nia keluar dari ruangan atasannya dengan muka yang muram “Sepertinya aku harus  turun langsung kelapangan” Gumam Nia. 

Nia sedang menaiki kendaraan umum menuju sebuah jembatan terkenal di daerahnya.  Namun, di tengah perjalanan, ia terjebak dalam kemacetan yang membuatnya kesal karena  harus menunggu begitu lama. “Mengapa lama sekali? Aku sudah lapar sekali,” gumamnya  dengan nada lelah. Saat itu, pandangannya tertuju pada seorang anak kecil yang tengah  menjajakan jajanan di tepi jalan. “Jajanan, Kak?” tawar anak itu, yang tampaknya berusia  sekitar lima tahun. Nia terdiam, terenyuh melihat anak sekecil itu harus berjualan di bawah  terik matahari. “Kamu tidak sekolah?” tanyanya lembut. Anak itu hanya menggeleng pelan,  matanya tampak lesu. 

Setelah membayar ongkos ojeknya, Nia turun dan menghampiri anak kecil itu,  membawanya ke pinggir jalan yang lebih teduh. “Kamu tinggal di mana?” tanyanya lagi, kali  ini dengan nada prihatin. “Aku tinggal di jembatan dekat sini, Kak,” jawab anak itu, suaranya  lirih. “Kenapa kamu tidak sekolah?” Nia bertanya dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.

“Aku tidak punya uang, Kak,” sahutnya lesu, membuat Nia semakin merasa iba. “Siapa  namamu?” tanya Nia, berusaha mengenal lebih jauh. “Edo, Kak,” jawab anak itu. 

Setelah berbincang sejenak, Nia memutuskan untuk mengikuti Edo ke tempat  tinggalnya yang terletak di bawah jembatan yang ingin ia kunjungi. Perjalanan kaki mereka  sudah memakan waktu sekitar lima belas menit, menyusuri jalan-jalan kecil yang semakin jauh  dari keramaian kota. Selama perjalanan, Nia bertemu beberapa teman Edo, anak-anak kecil  lain yang juga harus bekerja keras di usia mereka yang masih sangat belia. Hatinya terasa perih,  tersayat oleh kenyataan yang terpampang di depan matanya. 

“Rumah Edo ada di dekat sini, Kak,” ujar Edo pelan. Mereka akhirnya tiba di bawah  jembatan, sebuah tempat yang tak layak disebut sebagai rumah. Kolong jembatan itu penuh  dengan bangunan-bangunan reyot, tempat tinggal seadanya bagi mereka yang hidup di pinggir  batas harapan. Nia mengeluarkan kameranya, lalu mulai memotret pemandangan yang kini  terpampang di hadapannya potret kemiskinan dan kesulitan yang terlukis nyata di setiap sudut.  Kumuh dan suram, itulah yang tergambarkan dalam benaknya saat ini. Namun, di balik lensa  kameranya, Nia juga menangkap sesuatu yang lebih dalam kisah perjuangan dan ketabahan  yang tak terucap dari mereka yang hidup di bawah bayang-bayang jembatan. 

“Ini rumah Edo, Kak,” ujar Edo ketika mereka tiba di sebuah bangunan yang terbuat  dari kayu rapuh, dengan beberapa bagian tertutup kardus. Di tengah lamunannya, Nia  mengikuti Edo masuk ke dalam rumah. “Ibu, ada tamu” teriak Edo, mempersilakan Nia duduk  di atas spanduk yang terbentang di lantai ruang tamu. Nia memperhatikan keadaan sekitar  lantainya yang masih berupa tanah, dan dindingnya terbuat dari kayu serta kardus yang tampak  tak layak dijadikan tempat tinggal. 

“Permisi, Mbak” sapa seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah, Yati, ibu  kandung Edo yang berusia sekitar lima puluhan, menyuguhkan segelas air putih kepada Nia  dan duduk di sampingnya. “Maaf mengganggu, Bu. Perkenalkan, nama saya Nia. Saya seorang  jurnalis muda yang sedang menulis artikel tentang impian dan juga perjuangan anak-anak  seperti Edo” kata Nia dengan nada sopan.  

Ibu Edo tersenyum tipis mendengar penjelasan Nia. “Jarang sekali, ada jurnalis yang  mau turun langsung ke tempat seperti ini demi sebuah berita” ucapnya dengan suara lembut  namun sarat makna. “Iya, Bu. Sebenarnya, saya sudah pernah menulis artikel tentang topik ini,  tapi rasanya tulisan itu kurang mewakili kenyataan. Itulah sebabnya saya ingin datang langsung  untuk menyaksikan dan menulis ulang. Jika Ibu berkenan, saya ingin tinggal selama beberapa  hari untuk melihat lebih dekat kehidupan Ibu dan keluarga” ungkap Nia penuh harap. “Baiklah,  Nak” jawab Ibu Yati dengan senyum mengembang. “Ibu malah senang, akhirnya ada yang mau  memberikan kami ruang untuk berbicara tentang impian anak-anak miskin seperti Edo.  Semoga cerita kami bisa membawa perubahan” Lanjut Yati dengan penuh harapan. 

Selama beberapa hari kemudian, Nia tinggal bersama keluarga Edo, ia mencoba  memahami dan meresapi kehidupan keluarga mereka sehari-hari. Nia turut membantu Ibu Yati  menjual jajanan kecil di pasar dan mengamati Edo saat sedang bermain dengan teman-

temannya, bahkan Nia turut mengajarkan Edo cara membaca dan juga menulis setiap  malamnya. Nia juga sangat senang saat melihat Edo yang sangat semangat untuk belajar  bersama dirinya “Kalau sudah besar Edo mau jadi orang sukses kak, biar keluarga Edo tidak  tinggal di sini lagi kak” Kata Edo yang membuat Nia sangat tersentuh melihat Edo yang sangat  semangat untuk belajar tetapi keadaan membuatnya tidak bisa belajar di sekolah seperti  khalayak anak seusianya. Faktanya setiap interaksi yang Nia lakukan membawa dirinya ke  dalam realitas yang sebelumnya hanya ia lihat dan pahami dari layar media. 

***** 

Pagi kala itu, Edo membangunkan Nia dengan penuh semangat “Ayo, Kak Nia kita  pergi ke tempat sampah, biasanya ada barang bekas yang bisa kita jual” Ujarnya dengan penuh  semangat. Nia pun pergi mengikuti Edo dan juga beberapa anak lainnya menuju tempat  pembuang sampah yang cukup besar di sana. Nia melihat anak-anak tersebut memulung botol,  plastik dan juga benda lainnya yang bisa ditukar menjadi sebuah pundi-pundi rupiah. “Edo,  kamu tidak merasa lelah?” Tanya Nia, “Sedikit lelah kak, tetapi jika tidak begini, kami tidak  bisa makan kak” Jawab Edo dengan wajah yang polos namun gigih. Jawaban dari Edo itu  membuat Nia termenung, ia meresapi keteguhan hati dari seorang anak yang bukan hanya  berjuang untuk bertahan hidup, tetapi seorang anak yang menjadi simbol dari ketabahan dan  harapan meski diterpa kerasnya hidup. 

Malam harinya, Nia duduk bersama Ibu Yati di depan rumah yang hanya diterangi oleh  cahaya dari lampu minyak “Selama ini, apa yang pernah ibu rasakan paling sulit dalam hidup,  Bu?” Tanya Nia, mencoba mengetahui lebih dalam lagi untuk cerita yang akan dituliskannya.  Ibu Yati terdiam sejenak sambil menatap langit malam, kemudian ia menjawab “Yang paling  sulit dalam hidup saya adalah ketika saya harus melihat anak saya yang seharusnya belajar  malah harus bekerja keras. Saya sangat ingin sekali Edo mempunyai masa depan yang cerah  tetapi mungkin itu hanya akan sekedar menjadi angan-angan" Percakapan malam itu membuat  hati Nia makin tersayat, ia sangat berharap semua mimpi dari Edo dan keluarganya itu bisa  tercapai. 

Keesokkan harinya, sebelum kembali ke kantornya Nia memutuskan untuk berbicara  dengan beberapa warga lain di sekitar jembatan. Banyak dari mereka merupakan pekerja  informal atau pengangguran yang masih terus berjuang mencari penghasilan. Cerita tentang  regulasi yang tidak adil, dan akses terbatas di dunia pendidikan menjadikan benang merah yang  menyatukan pengalaman mereka.  

Setelah berhasil mengumpulkan banyak informasi dan berbagai kisah, Nia pun kembali  ke kantornya dengan hati yang penuh tekad. Ia pun langsung memulai penulisannya dengan  semangat yang memuncak. Tulisannya saat ini berbeda dari sebelumnya, tulisannya kali ini  tidak hanya berfokus pada statistik atau fakta-fakta umum saja, tetapi tulisannya ini  mengangkat cerita nyata dari yang ia saksikan sendiri. Tulisannya menggambarkan wajah 

wajah penuh harapan dari Edo dan kawan-kawannya, perjuangan para ayah dan ibu yang tak  pernah berhenti bekerja demi sesuap nasi. Nia bertekad artikel yang ia tulis ini bisa menjadi 

suara bagi mereka, ruang untuk berbicara tentang kehidupan tersembunyi di balik hiruk-pikuk  kota. 

Setelah beberapa hari selalu berkutat dengan laptopnya, Nia akhirnya berhasil  menyelesaikan artikelnya. Ia memberikan naskah artikelnya kepada atasannya “Ini sangat  bagus dan berbeda, ini tidak hanya menceritakan tapi juga memberikan ruang bagi mereka yang  memiliki mimpi namun suaranya jarang didengar” Ujar atasannya dengan tatapan sangat  bangga dengan Nia. Artikel tersebut pun langsung dipublikasikan dan langsung mendapatkan  banyak perhatian dari masyarakat. Banyak sekali pembaca yang tergerak untuk membantu  keluarga Edo dan keluarga lainnya yang tinggal di bawah jembatan. Beberapa lembaga sosial  juga turut menghubungi Nia, mereka ingin menjadikan artikelnya sebagai dasar untuk  kampanye sosial yang besar. 

Nia juga menjadi sering mengunjungi keluarga Edo, memberikan bantuan yang dirinya  bisa lakukan dan menjaga hubungannya dengan komunitas di sana. Ia sangat bersyukur bahwa  sebuah artikel yang ia tulis itu bisa membuka mata masyarakat untuk perubahan yang lebih  nyata. Nia juga mulai terlibat dalam berbagai kegiatan penggalangan dana untuk menyediakan  pendidikan yang layak bagi anak-anak di bawah jembatan. “Ini buku untuk kamu dan teman 

temanmu" Ujar Nia saat menyerahkan buku tulis dan pelajaran lainnya kepada Edo yang  diterimanya dengan mata yang berbinar dan penuh syukur. 

Cerita Edo dan keluarganya bukan hanya mengubah pandangannya tentang profesinya  sebagai jurnalis. Ia kini yakin bahwa tugasnya bukan hanya melaporkan kebenaran, tetapi juga  menghubungkan suara-suara kepada khalayak yang lebih luas. Artikel yang telah dibuat Nia  menjadi tonggak awal kesuksesan karir dirinya sebagai seorang jurnalis dan penggerak  perubahan sosial yang sejati. Dengan tulisannya juga, ia mampu memberikan ruang untuk  berbicara bagi mereka yang terpinggirkan, dan kini ia berkomitmen untuk terus menjadi sarana  menyampaikan suara bagi mereka yang butuh untuk didengar



Posting Komentar

0 Komentar