Perjalanan
Gracia Marsha Sigit - SMA Negeri Pintar Provinsi Riau
Malam hari itu terasa sangat tenang, satu-satunya yang bisa terdengar di luar rumah hanyalah sorai daun yang berhembus karena angin malam. Sementara itu, Tingg! terdengar bunyi notifikasi pesan di ponsel seorang gadis yang sedang berbaring di kasurnya. Gadis itu menghela napas sambil meraba-raba mencari kacamatanya,
“Huft... siapa sih malam-malam begini?” dengan malas dan wajah yang penuh kantuk, ia beranjak duduk dan mengambil ponselnya. Setelah memeriksa notifikasi tersebut, mata sang gadis tampak berbinar seperti bulan sempurna di malam itu. Gadis itu adalah Kezia Anindya.
Flashback dua tahun yang lalu, di sebuah Sekolah Menengah Atas. Sore itu, di belakang sekolah yang sunyi dan banyak tumbuhan liar, plakk sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Kezia.
“Heh, kalau jadi orang itu tidak usah cari perhatian banget. Baru masuk saja sudah sombong. Muak, tahu, lihat muka kamu,” tekan seseorang yang merasa Kezia terlalu mencari perhatian.
Dengan perasaan hancur, ia hanya bisa terdiam dan seketika air mata membasahi pipinya yang merah akibat bekas tamparan sebelumnya. Hal ini terus berulang hingga akhirnya ayah Kezia pindah tugas ke kota lain. Kezia cukup senang karena akhirnya bisa terbebas dari teror itu, namun di sisi lain, ia juga takut akankah orang-orang di sekolah baru mau menerimanya?
Pagi itu terasa begitu dingin, tapi untungnya Kezia selalu punya rumah yang hangat.
“Nak, Ayah minta maaf karena kamu harus pindah-pindah sekolah terus, ya. Tapi tugas Ayah yang kali ini sudah ditetapkan, kok, jadi kita tidak akan pindah lagi,” ucap ayah sambil menyeruput kopinya.
“Hayo, bicarain apa nih?” ucap bunda yang tiba-tiba datang dengan membawa dua piring nasi goreng andalannya.
Kezia dengan cepat mengalihkan topik, “Wah, nasi goreng terenak di dunia sudah datang.”
“Bisa saja kamu. Ya sudah, yuk makan. Nanti telat, lho,” ucap bunda sambil meletakkan nasi goreng di meja makan yang beralas motif bunga.
“Siap, bos,” ucap ayah dan anak itu serempak.
Matahari mulai menghangatkan bumi dengan sinarnya. Kezia berjalan melewati koridor sekolah barunya. Ia disambut dengan majalah dinding sekolah yang cukup besar, dan ia membaca berbagai informasi yang ada di sana. Perhatiannya tertarik pada salah satu poster yang menginformasikan perlombaan komik. Seketika ia teringat pada sketsa komik yang ia buat di kamarnya. Siswa-siswi lain yang berjalan melewatinya terlihat keheranan. Kezia yang menyadari hal itu mulai gugup karena pandangan orang-orang kepadanya.
“Nak? Kezia, kan?” tutur seorang guru di sana.
“I-iya, Bu,” balas Kezia.
“Tunggu di ruangan Ibu dulu ya, nanti kita ke kelas kamu,” ucap Bu Guru sambil menepuk pundak Kezia.
Kezia pun menunggu di ruangan yang dimaksud, di sana terdapat meja yang di atasnya tertulis nama “Rolis Widya.”
“Oh... jadi nama Ibu tadi Bu Rolis,” batin Kezia.
Karena bosan menunggu, Kezia membuka tas sekolahnya yang berwarna abu-abu dengan gantungan kunci berbentuk karakter anime favoritnya. Ia mengambil buku sketsa miliknya dan mulai memainkan pensil beserta pasangannya, penghapus. Kezia memang tak pandai bercerita, tapi selalu ia tuangkan dalam gambarnya. Di tengah ketenangannya, terdengar langkah kaki seseorang yang mengenakan heels.
“Kezia, ayo ke kelas,” ucap Bu Rolis.
Kezia pun mengikuti gurunya berjalan ke kelas. Di sepanjang perjalanan, ia selalu melihat kalimat motivasi di atas setiap ruangan seperti “You’ll never know if you never try” dan masih banyak kalimat lainnya. Dengan tekad yang kuat di dalam hatinya, Kezia menyatakan bahwa ia tidak akan lemah seperti sebelumnya dan akan menjadi pribadi yang lebih baik.
Sekilas, Kezia mendengar suara hiruk-pikuk di sebuah kelas. Ia juga melihat seseorang yang mengintip lewat pintu kelas, dan saat orang itu masuk, seketika kelas menjadi hening.
“Haduh, anak-anak itu,” ucap Bu Rolis sambil menggeleng- gelengkan kepala.
Kezia hanya bisa tersenyum melihat hal itu dan lanjut mengikuti Bu Rolis. Mereka masuk ke dalam kelas yang bertuliskan “Aksara Class – X.2” di depan pintunya. Seketika kelas menjadi sangat hening kembali,
lalu ketua kelas mulai membuka suara untuk mempersiapkan kelas sebelum belajar. Setelah berdoa,
“Baik anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Silakan perkenalkan diri,” ucap Bu Rolis sambil merangkul Kezia.
Kezia maju beberapa langkah ke depan dengan semua atensi tertuju padanya.
“Hai semuanya, nama aku Kezia Anindya. Kalian bisa panggil aku Kezia atau Zia. Aku hobi menggambar, tapi mata pelajaran favoritku PPKn. Salam kenal, semuanya,” Kezia menundukkan sedikit kepalanya.
“Baik, silakan duduk di samping Rahayu ya, Kezia,” ucap Bu Rolis sambil mengarah kepada anak dengan rambut ikal yang dikepang dua dan tersenyum kepada Kezia. Setelah itu, Kezia beranjak duduk di samping Rahayu,
“Salam kenal ya, Zia, panggil saja aku Ayu,” bisik Rahayu sambil berkedip sebelah mata kepada Kezia.
“Baik, semuanya Ibu tinggal dulu ya, Ibu berharap kalian berteman baik dengan Kezia,” Bu Rolis kemudian pergi meninggalkan kelas dan digantikan oleh guru lain.
Jam istirahat pun tiba, “Okay guys, I think that’s enough. See you next week,” ucap guru yang dikenal dengan panggilan Miss Katarina.
Kezia kemudian mengambil sebuah buku dengan cover ungu yang tak lain adalah buku sketsanya. Ia ingin melanjutkan sketsanya saat di ruangan Bu Rolis tadi.
“Wah, keren banget gambarnya, Zia!” seru seorang anak yang kebetulan lewat dekat meja Kezia dan Rahayu.
“Ah, ini biasa saja, kok... t-tapi makasih ya,” balas Kezia. Anak-anak lain yang melihat itu mulai tertarik mendekati meja Kezia untuk melihat gambar yang ia buat. Mereka satu per satu memuji gambar-gambar Kezia. Hal ini sangat berbeda dengan sekolah lamanya, tempat gambar-gambarnya dianggap remeh. Namun, di tengah pujian yang diterimanya,
“Kerenan gambar aku sih,” ucap salah satu anak sambil tersenyum miring kepada Kezia. Ia bernama Salsa.
“Udah, udah, gambar kalian berdua memang paling keren deh,” ucap Dwi, sang juara kelas, sambil merangkul Kezia dan Salsa.
“Kalian sudah lihat mading sekolah belum? Ada lomba buat komik tuh, temanya tentang melestarikan budaya Indonesia. Nah, bagaimana kalau kalian berdua collab aja? Mumpung kalian bisa gambar, dan Kezia suka PPKn, aku yakin deh pasti nanti kalian juara,” sambung Dwi.
Sebenarnya Kezia masih dibayangi masa lalu di sekolahnya dulu, namun ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk jadi lebih baik.
“I-iya, Salsa, bagaimana kalau kita kolaborasi saja untuk ikut lomba? Kita coba saja dulu, ya, Salsa yang baik hati?” ucap Kezia dengan seluruh keberanian yang ia kumpulkan. “
Tuh, udah dibilang baik hati lho, Sal,” celetuk Rahayu yang duduk di samping Kezia sambil mengacungkan jempol kepada Salsa.
“Iya deh, iya,” balas Salsa sambil menurunkan jempol yang diacungkan Rahayu kepadanya.
Sontak anak-anak yang ada di sana tertawa kecil melihat seorang Salsa yang dikenal cool luluh dengan ajakan anak baru di kelas mereka hari itu. Kezia merasa senang, sangat senang, karena mendapat respons positif dari lingkungan barunya dan mulai membuat traumanya perlahan menghilang, meskipun belum
sepenuhnya.
Mereka sepakat untuk membuat komik tentang pentingnya melestarikan budaya bangsa agar tidak di-claim negara lain. Mereka mengangkat topik ini karena melihat fakta yang ada: sudah banyak budaya Indonesia yang “diambil hak ciptanya” oleh negara lain, sementara rakyatnya tidak peduli dan justru beralih ke budaya negara lain yang sedang trend. Lantas, apakah rakyat Indonesia akan meng-claim budaya negara lain seperti negara tetangga? Kira-kira seperti itulah topik komik mereka.
Dalam pembuatan komik, Kezia dan Salsa juga harus menghadapi tanggapan negatif dari lingkungan sekitar. Siang itu di sebuah taman, duduklah Kezia dan Salsa di bawah pohon rindang, menyelesaikan komik mereka. Tanpa sebab, mereka mendengar sindiran ibu-ibu yang kebetulan lewat dengan bedak yang
cukup tebal di wajahnya sehingga bisa dikikis, serta tas branded yang terlihat memang untuk dipamerkan. Ibu itu berkata,
“Aduh, anak zaman sekarang kalau gambar-gambar begitu, besarnya mau jadi apa sih?” Mendengar hal itu, sebenarnya Salsa ingin sekali membalas sindiran ibu itu, namun ia ditahan oleh Kezia yang berucap, “Sabar,” kepadanya.
Usaha tidak mengkhianati hasil, itulah pepatah yang menggambarkan mereka. Karena segala perjuangan dan pengorbanan waktu mereka terbayarkan dengan piala bertuliskan “Juara 1 Cipta Komik Nasional,” Kezia mengetahui kabar itu pada malam di awal cerita.
“Ciee ngerasa keren banget tuh, ya emang keren banget sih kata gue mah! Komik kalian sampai dibahas di podcast oleh orang luar negeri gitu,” seru Dwi di kelas setelah pengumuman siswa berprestasi di lapangan
sekolah.
“Hehe, makasih ya semuanya, ini juga tidak terlepas dari dukungan kalian sih. Apalagi orang tua Kezia yang selalu ngasih aku makanan enak waktu bikin komik di rumahnya,” ucap Salsa sambil menyenggol bahu Kezia.
“Aku makasih juga sama kamu, Sal, karena kamu yang mengusulkan ide bikin subtitle Inggris di komik kita sehingga jadi viral. Katanya, banyak orang asing yang bilang kalau budaya kita itu bagus dan harus dipertahankan,” balas Kezia sambil merangkul partnernya itu.
“Bule saja ngomong begitu. Semoga komik kalian jadi pengingat buat rakyat kita ya. Jangan waktu budayanya sudah mau di-claim sama negara tetangga sebelah baru ribut, hihi,” tambah Rahayu.
Jangan membiarkan masa lalu menjadi penghalang kita untuk berkembang dan berkarya demi bangsa. Jika kamu dijatuhkan sekali, maka bangkitlah beribu-ribu kali dengan sekuat tenaga. Menjaga lebih sulit dari mendapatkan. Jika budaya negara lain begitu hits di negara kita, mengapa budaya kita juga tidak bisa hits di negara mereka?
.png)
0 Komentar