Tong Kosong - Ruth Monica Jelita

TONG KOSONG 

Ruth Monica Jelita - SMA Unggul Del 

Barangkali segalanya akan tetap sama jika aku tak membaca surat itu.  Perempuan itu terlalu. Aku tak bisa tidur. Bergulatlah berangkai-rangkai skenario  dalam benakku, selalu, semenjak kehadirannya. Aku tidak tahu apakah menyesal  adalah kata yang tepat untuk mendefinisikan perasaanku sekarang. Atau mungkin  saja, itu hanyalah upayaku untuk memvalidasi perasaanku, kalau kalau, dia yang  salah. Menggebu-gebu perasaanku, hanya untuk menyampaikan serangkaian  ungkapan. Namun, bibirku tak sanggup berdetak. Sedari kecilpun, aku sudah sadar.  Istimewa. Aku sangat mengerti, kata itu hanya kuserap dalam-dalam agar tak  terluka batinku mendengar jangkrik-jangkrik liar yang tak bisa membungkam  corongnya. Manusia memang tak tahu malu. Sudah dikaruniakan  kesempurnaanpun, masih sanggup menjelma menjadi tong kosong.  

Fajar menyingsing diikuti sepoyan angin, pagi ini terlalu kemayu untuk  menerima sambutan dingin dariku. Aku tahu angin pun malas berinteraksi dengan  makhluk membosankan sepertiku. Ia pasti merindukan validasi selayaknya orang  normal. Namun lagi-lagi, hanya berjuta maaf yang dapat kuutarakan, itupun dalam  hati. Aku harap dia juga bisa tahu itu, setidaknya sekali saja. Memikirkan sepicik  hal kecil yang baru saja terjadi, tak terasa sudah ratusan detik berlalu. Setidaknya  lumayan menggugah suasana hati untuk menjalani rutinitas yang tiada beranjak  maupun bertepi, hanya disitu dan itu-itu saja.  

Sudah terbiasa sendiri walau tak menyendiri. Aku tak merasa perlu  menyalahkan siapapun. Lagipula, aku pun turut memvalidasi perasaan mereka.  Sulit berkomunikasi dengan keistimewaanku ini. Sudahlah, akupun sudah berdamai  dengan diri ini. Aku tidak butuh semua orang mengertiku, cukup aku, pun sudah  cukup.  

Barang sekalipun tak pernah ini terjadi. Mungkin jika satu sekolah ini tahu,  gempar sudah dunia. Pertama kalinya, lokerku berisi. Biasanya, Ia enggan  membuka diri, hampir tak pernah. Jikapun pernah, hanya umpatan dan makian yang  diterimanya. Bahkan, loker sendiri pun sudah menerima keistimewaan pemiliknya.  Kali ini lain. Terdapat sebuah surat, aneh bentuknya, seperti sudah digunting dan  dipoles agar terlihat menarik. Siapapun yang melihat pasti akan berpikiran sama  sepertiku, “Pasti isinya bukan umpatan.” Tidak mungkin sebuah umpatan  diutarakan melalui surat yang dibentuk sedemikian rupa. Namun, sudah lelah hatiku  berharap. Walaupun tak mungkin dalamnya umpatan, lebih tidak mungkin lagi  seorang terasing sepertiku menerima ungkapan cinta. Aku benar-benar tak habis  pikir. Ini tidak masuk akalku. Menerima umpatan akan seribu kali lipat lebih masuk  akal bagiku. Namun, yang kudapatkan justru ungkapan cinta, cinta yang terlihat  tulus, walau tak pernah kutemukan cinta yang tulus. 

Kepada tuan pujangga tak bernama,  

Dalam keheningan yang sering kali mengelilingimu, aku menemukan kekuatan  yang luar biasa. Setiap goresan di kertasmu, setiap gerakan tanganmu, seolah  berbicara lebih dari sekadar kata-kata. Dalam dunia yang bising ini, kamu menjadi  suara yang berbeda, sebuah melodi yang unik dan indah. 

Aku ingin mengungkapkan betapa mengagumkannya caramu menjalin komunikasi  tanpa suara. Bahasamu adalah seni, suatu bentuk ungkapan yang melampaui  batasan suara. Melalui setiap isyarat yang engkau tunjukkan, aku merasakan emosi  yang mendalam. Seakan-akan engkau mengajarkanku untuk melihat dunia dari 

Terima kasih telah menjadi bagian dari dunia ini. 

Aku tak menuntut berdus-dus. Anggap aku tak ada pun cukup. Terlalu  munafik manusia Tuhan ciptakan, hingga aku tak percaya 'kan tipu muslihat itu.  Sedari awal aku pun tahu, sangat tahu. Dia ini munafiknya sangat. Harapan tinggi  menjadi wira, besok-besoknya capek, mau lebih, minta lebih, maksa lebih, padahal  tak pernah diundang dan tak pernah diharapkan datang. Aku hiraukan. Tak peduli  aku siapa yang mengirimkan itu. Kembali ke rumah, aku tetap tidak peduli. Namun,  malam ini, mataku enggan terpejam. Sulit sekali rasanya barang untuk terlelap saja.  Hari ini, kutemui lagi yang serupa. Masih sama tempatnya, di loker lusuhku. Kali  ini lebih ngeri, kutemukan pula sebuah cokelat batang yang ditempel sempurna  dengan surat yang lebih aneh pula bentuknya. Isinya pun tidak jauh berbeda, masih  juga memuja-mujaku. Mungkinkah hal seperti ini adalah trik perundungan zaman  sekarang? Sudahlah. Tak ada gunanya dipikirkan.  

Kembali melangkahkan kaki ke pusat kecewaku. Tak ada yang buatku  terluka, tak ada yang buatku berbinar, tak ada yang buatku dicinta. Pusat kecewa,  hanya kecewa. Dewasa yang berkepala lima itu hanya hilir mudik. Tidak menyapa,  tidak peduli, tidak mencinta. Dari dia, aku tahu aku makhluk tak berharga. Tak apa,  sudah mati rasa. Aku tak memikirkan Perempuan itu. Aku hanya memberi ruang  alam bawah sadarku berkreasi. Tak rindu aku, hanya sendu yang memakan habis  nalar warasku. (Apa akan lebih baik jika aku bawa pulang surat itu tadi). Aku tak  dituntut, hingga tak bisa turut menuntut. Lebih nyaman untuk berkatup, karena lelah  berpaut. Tolong jangan salah kaprah. Aku mencoba, jutaan kali. Terseyok-seyok  mengemis afeksi. Namun dewasa itu tak pernah, tak pernah sekalipun berpaling  untukku. 

Hari-hari ini semakin menjengkelkan. Sungguh mengejutkan yang dia  lakukan hari ini. Aku bahkan termangu sekian detik di depan loker lusuhku.  Sungguh, sangat, amat menjengkelkan. Aku yang sedari awal sudah  memprediksinya, tetap saja tidak menyangka manusia ini akan sebegitu  munafiknya. Aku menutup pintu lokerku, kembali masuk kelas, namun kali ini,  tanpa menggenggam apa-apa di tangan kananku. Aku tak bisa fokus hari ini. Aku  pun tak tahu kenapa kaki ku terus hilir mudik ke tempat yang sama, begitu pula  dengan tanganku yang kerap melakukan gerakan yang sama. Aku merasa bukan  diriku yang memerintahkan kaki ini untuk bergerak menuju loker, begitupun  Gerakan tanganku yang terus menerus membuka dan menutup lokerku. Aku tak  mengerti siapa yang hilang akal disini, dia atau aku? Saking tak tahunya, aku buat  sebuah surat yang kuletakkan di loker lusuh itu. Setelah sekian lama aku biarkan  pikiranku penuh dengan pro dan kontra, aku putuskan untuk kembali. Aku tidak 

ingin pergi terlalu jauh dari realita yang sudah tertanam dalam jati ku. Namun,  terlambat, aku dapat balasan. Bukannya memuaskan rasa penasaranku, justru menggugahnya kembali.  

“Aku hanya pemuja keindahan jiwamu. Aku tak muncul ke permukaan  kalau kalau engkau enggan menatapku. Namun, barangkali salah sangkaku, aku  menunggu di tempat persinggahan favoritmu. Hari ini aku muncul ke permukaan,  setelah sekian purnama kuhabiskan mengagumi dari kejauhan.” Itulah balasan dari  dua kata yang tertulis dalam suratku, “Siapa kau?” Hanya dengan dua kata itu, dia  membalasku berkali-kali lipat. Tak kusangka, tempat yang biasanya kudatangi  setiap hari, untuk sekadar menyibukkan diri dengan tulisan-tulisanku yang tak  berarti, ditahu oleh makhluk lain. Pasalnya, tempat itu bukanlah singgahan  favoritku, aku hanya kerap singgah kesana untuk kabur dari tempat-tempat ramai  yang memuakkan ku. Aku bergerak kesana, kali ini tanpa membawa buku dan pena.  Dari jauh sudah dapat kulihat sesosok perempuan berambut hitam panjang terurai,  duduk di batu besar itu. Aku menghampirinya. Aku tak tahu apa yang harus  kulakukan. Aku hanya memasang raut dingin. Dia yang mulai berbicara. Aku tak  bersuara. Selain karena keterbatasanku, aku memang tak tahu apa yang harus  kuutarakan. Terima kasih? Maaf? Selamat siang? Tapi, apakah dia mengerti  isyaratku? Terlebih, aku sama sekali tak bisa fokus sedari tadi. Aromanya terlalu  merasuk, terserap sempurna ke ubun-ubunku. Sejak dia menyapaku, bahkan  wajahnya serasa lebih bersinar ketimbang matahari yang berada tepat diatas  kepalaku. Matanya berbinar, bibirnya terangkat tersenyum tipis. Mungkin, aku  terpaku bukan karena memikirkan isyarat apa yang harus kulontarkan, melainkan  karena lembut parasnya, semerbak aromanya, damai yang terpancar lewat aura nya.  

“Selamat siang.” Akhirnya aku memilih untuk membalas sapaannya, tentu  melalui isyarat. Aku terkejut, perempuan itu menangis. Namun, yang paling rancu,  sedari aku menampakkan diri, tak pernah sedetikpun luput senyum lembutnya,  bahkan menangis pun dia sekarang, masih terangkat sudut bibirnya. Aku gunakan  isyarat, dan dia membalas aku dengan kata, terkadang ia turut menggunakan isyarat  untuk mengekspresikan kata yang keluar dari mulutnya. Kami menghabiskan terik  dan senja bersama. Kami beradu pandang sambil mengukir suasana mendalam  ditengah senja yang enggan berpamitan. Dia mengerti aku, segalaku dia tahu. Dia  tak berpaling dan hanya menampakkan senyumnya.  

Kembali aku berjalan menyusuri semaknya jalan raya kota. Aku bukan  lelaki bugar yang memang disengaja jalan di sore hari untuk tujuan tertentu.  Bayangkan saja berjalan ditengah teriknya matahari ditambah pengap dan sesaknya  kota. Namun, ini akan dua kali lebih baik dibanding jika aku harus menyewa ojek  maupun taksi. Setidaknya berjalan tak akan membuatku perlu berinteraksi dengan  siapapun. Sialnya, takdir berkata lain. Ternyata, jalan bukanlah solusi untuk tidak  berinteraksi. Tetap saja kutemukan jangkrik-jangkrik tak bernurani bahkan ditengah  keramaian. Mereka, para tong kosong yang senang melihat raut sukarku. Benar  munafik mereka ini, aku tahu mereka merencanakan sesuatu dan melontarkan  umpatan-umpatan tak pantas untuk daku hanya karena suatu keterbatasan.. Akhir  dari hari ini, tetap saja aku terima lebam lebam membekas di sekujur badanku.  Menangkis pukulan pukulan mereka mungkin bisa saja kulakukan, namun aku tahu,  semakin ditangkis semakin terpacu adrenalin para biadap itu untuk menyakitiku. 

Setidaknya dengan diam dan tidak melawan, mereka akan lelah sendirinya dan  memilih menghentikan bejatnya lebih cepat. Lebih bagik begitu.  Aku tak begitu menantikan bel pulang. Justru, semakin dekat semakin takut  diriku. Aku taku bertemu nya, hingga akhirnya jatuh padanya. Aku tak mau hilang  akal, hilang logika. Aku tak mau kecewa untuk keseribu kalinya. Aku benar-benar,  sungguh, amat, sangat lelah. Bisakah aku hanya hidup normal? Normal saja,  mengkhawatirkan tugas, menertawakan hal tak perlu, menangis bersama bila tak  tertahan luapan sendu. Aku hanya ingin berhenti menjadi terdakwa, yang tak henti hentinya mendapat tuduhan, bencian, dan hakiman. Aku tak ingin kembali menatap  manusia dengan harapan sebesar bimasakti dan dibalas dengan angkuhan. Aku  hanya, muak. Namun, waktu tak dapat dicegah. Akhirnya, bunyi itu datang pula.  Bena raku tak ingin menampakkan diri, dan aku harap demikian pun Perempuan  itu. Namun, belum sempat lima Langkah aku berjalan dari pintu kelas, dia  menghampiri. Hari ini, dia datang, menengok ku. Katanya dia ingin berjalan  bersamaku, berbincang sambil menuju ke tujuan akhir. Karena di halaman  belakang, kami hanya akan berdiam diri hingga langit memberi tanda untuk  berpamit. Dia mulai bicara, terus bicara, namun aku hanya mengangguk dan  menggeleng. Tak ada isyarat satupun yang aku beri. Mungkin, perempuan itu pun  mulai menyadarinya. Sehingga, ia mulai mempertanyakan hal yang tak mungkin  lagi kujawab dengan gelengan maupun anggukan. Walaupun begitu, aku tetap  menjawabnya seadanya. Sampailah kami ke tujuan akhir, persinggahan ternyaman.  Perempuan itu tahu, namun tetap tak luput senyum lembunya. Dia hanya  menghampiri, bertanya, apa yang aku khawatirkan. Aku sempat tersentak, apakah  dia semacam cenayan? atau manusia dengan supernatural seperti di layar kaca besar  yang belum pernah kulihat secara langsung? Atau memang dia mengerti aku? Aku  hanya menggeleng, dan masih dibalasnya dengan senyuman. Mengejutkannya  angin hari ini terasa begitu menyejukkan, mungkin hujan ingin memberi pertanda  kedatangannya. Ia pun mengambil jari-jariku untuk digenggamnya. Perasaan yang  bercampuran ini meruntuhkan segala benteng pertahananku. Sayup-sayup hujan  mulai berjatuhan, disusul oleh air yang tak kuasa ditampung oleh mataku yang jatuh  perlahan tepat di kedua pipiku. Aku dan dia sama sama tahu rintik hujan ini telah  melembabkan hampir seluruh bagian di seragamku dan seragamnya. Namun, kami  memilih mengabaikannya. Aku memilih untuk menatap sosok dihadapanku lebih  lama dibandingnkan memikirkan hujan yang mengkuyupkan seragamku, mungkin  dia juga demikian. Aku benar, betul merasakan cinta. Tanpa kata, tanpa interup dari  apapun, siapapun, manapun. Untuk sesaat, kami hanya hidup berdua di dunia yang  sebegitu besar dan luasnya. Kami hanya ingin mencinta, untuk sekejap saja. Aku  rasakan raganya yang begitu kecil dan rapuh hadir dalam dekapku. Bisakah kami  menghentikan waktu sampai di sini saja? Aku tidak menginginkan yang lain, tak  ada, asalkan detik ini berlangsung selamanya. Aku ingin berteriak bahwa aku ingin  berlari ke dekapnya selalu, namun, apakah dirinya bisa memberi tahuku, akankah  dia menetap atau pergi? Dan saat ini, sepertinya aku telah hilang akal, hingga  pertimbangan itu telah kuserap dalam-dalam. Ternyata aku manusia, yang tak bisa  menahan segala luapan emosi hanya dengan logika.  

Aku terlena, dunia begitu nikmat. Aku merasakan cinta. Aku hidup. Setiap  kali kupandang sorot matanya, aku tahu, hanya dia yang kurindu. Setiap 

kupejamkan mataku, hanya senyumnya yang terlukis. Aku rindu tatapan hangat  nya. Surai hitamnya yang terbentang, lebih indah dari samudera dan padang.  Bolehkah aku menunggu? Bisakah aku merindu? Pantaskah aku mencinta? Aku  ingin kembali mendengar si logika. Tapi, jiwaku meraung minta dicinta. Sudah  terlampau jauh, tak bisa lagi aku kembali. Kembali dalam kesendirian,  keterpurukan, kesunyian yang begitu berisik rasanya. Hilang akalku, isyaratku  berbicara. Aku ungkapkan, karena sesak rasanya. Aku melakukan ini, karena  percaya padanya. Percaya bahwa dia tak naif dan munafik seperti diriku. Percaya  bahwa dia tak mungkin salah mendefenisikan cinta. Percaya bahwa dia bukanlah  tong kosong. Percaya bahwa dia mencintai aku. 

“Kakak juga sayang sama Adek,” Ucapnya dengan tersedu-sedu. Aku  tercengan untuk sementara. Mengapa perempuan ini memanggilku “Adek”.  Biasanya, dia tidak memanggilku. Aku tak mengerti, karena aku percaya, dia tak  mungkin salah mendefenisikan cinta. Ataukah, aku yang salah mendefenisikan  cinta? Akhir dari hari ini, dia pergi. Aku hanya menatapnya dari kejauhan, menatap  dirinya yang semakin jauh dari pandangan, dan terus berharap dia akan menoleh  dan berlari kedekapku. Hingga akhirnya hilang perawakannya dari pupil mataku,  sakit rasa dadaku. Lubuk hatiku pun tahu, sejak awal memang itu yang salah.  Karena cacatku, Perempuan itu mulai menyayangiku. Namun, bukan aku yang  disayangnya, tetapi jiwaku. Dia tidak mencintaiku, dia mencintai lain yang berjiwa  persis aku. Siapa yang salah? Siapa yang langar? Apa memang orang sepertiku tak  pantas dapatkan nikmat fana? Apa memang tak tersisa lagi orang yang tulus?  Apakah dunia ini sudah berubah menjadi sedemikian jahatnya hingga yang tersisa  hanyalah orang orang munafik? Tetapi, bagiku dia tak munafik. Bagiku dia cahaya  yang tak peduli dengan gelap terdalam. Dia hanya akan bersinar dan bersinar  walaupun sekitarnya hanyalah ruang hampa. Memang benar, aku yang salah  mendefenisikannyaAku kecewa, tapi bukan atas kepergiannya. Aku kecewa pada  kenaifan dan kemunafikan ku. Aku sudah berkali kali berteguh tak akan runtuh.  Namun, snagat mengecewakan yang terjadi sekarang. Aku mengakui, terlena  diriku. Aku mencintainya, dan aku menjadi percaya diri.  

Aku tatap buah hatiku dengan tatapan yang sama selalu menatap aku. Itulah  kisah yang kuceritakan pada anak-anak kecil yang menerima kehangatan dan  ketulusan dariku tiga tahun terakgur. Tujuh belas tahun lalu, saat sendu dan bunga  ku menjadi satu. Aku tak pernah memilih melupakan tatapan itu. Bahkan hingga  saat ini, masih sama perasaannya. Setiap kutatap matanya, aku tahu, hanya dia yang  kurindu. Setiap aku memejamkan mataku, hanya senyumnya yang terukir.  Perempuan yang setia, Perempuan yang tulus, Perempuan yang hangat. Tujuh belas tahun yang lalu, tujuh tahun yang lalu, sekarang, tujuh tahun kedepan, hingga tujuh  ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh tahun yang akan datang, tetap sama perasaanku.  Aku mencintai nya, dan dia mencintaiku. Dia bukan tong kosong, bukan jangkrik  yang mengkrik-krik, melainkan jingga dalam abu-abuku.  

(Laguboti, Oktober 2024)



Posting Komentar

0 Komentar