Renjana Rini Merengkuh Globalisasi
Aqilah Rafifah Amga - SMA IT Imam Syafi’i 2 Pekanbaru
Rini, seorang gadis SMP berumur 14 tahun terduduk diam di kelasnya. Ia memperhatikan teman-temannya yang lain, teman-temannya yang sangat hobi membicarakan tentang cita-cita mereka. Ya, Rini sudah dengar banyak sekali tentang cita-cita teman temannya itu, seperti dokter, insinyur, arsitek, dan lain sebagainya. Rini hanya bisa terdiam dan terduduk di sudut kelas sambil mendengarkan percakapan teman-temannya dari jauh.
Rini juga punya cita-cita, Rini ingin menjadi seorang seniman karena rasa cintanya terhadap seni menggambar. Ia ingin menjadi seorang seniman yang dapat menciptakan berbagai macam karya seni yang dapat meciptakan apapun untuk menumpakhkan isi hatinya itu. Itulah kenapa Rini sangat hobi menggambar, dimulai dari menggambar di atas dinding kamarnya pada usia lima tahun, lalu menggambar di buku gambarnya meskipun sangat berantakan pada usia sepuluh tahun, dan hobi kecilnya itu terus ia lakukan hingga saat ini.
Namun, dengan semakin meluasnya globalisasi di dunia apalagi dengan globalisasi di bagian teknologi manusia yang kian lama mulai maju, Rini mulai melihat cita-citanya itu sebagai sesuatu yang kian tidak akan berguna di masa depannya. Sekarang banyak orang yang lebih memilih menggunakan bantuan ai untuk menciptakan sesuatu yang Rini sendiri tak bisa memanggilnya suatu “seni”.
Dan dengan dorongan orangtuanya yang meminta Rini untuk menjadi arsitek saja agar dia dapat bisa menjadi lebih “berguna”, Rini pun semakin meyakinkan niatnya untuk membuang saja cita-citanya itu. Hari ini, dia sudah berniat untuk membuang buku sketsanya yang dia sudah lama gunakan.
Rini berencana untuk membuangnya di sekolah, karena dia tidak sanggup melakukannya di rumah karena di pikiran Rini: ada kesempatan bahwa dia akan merasa sangat sedih jika dia harus melihat buku sketsa kesayangan dia itu berada di dalam tong sampah, jadi lebih baik bagi Rini untuk membuangnya di sekolah saja. Dia pun berdiri dari kursinya sambil memegan buku gambarnya itu dan berjalan keluar.
Ketika dia sedang berjalan, dia melihat kebawah sambil memikirkan salah satu kalimat yang orangtuanya katakan pada hobinnya. “Hey nak, di zaman sekarang mana ada orang yang mau
bayar gambar-gambar tidak berguna kayak gini, sekarang itu ya nak teknologi itu canggih, ga perlu lagi harus membayar seniman untuk menggambar, percuma nak. Mending kamu jadi arsitek aja, biar bisa menjadi berguna.”
Dan itu memenuhi keyakinannya untuk melemparkan buku gambar ke dalam tempat sampah, bersama dengan mimpinya. Namun, ketika dia hampir membuang buku gambarnya itu seorang guru meletakkan tangannya di atas pundak Rini, ketika Rini menoleh kebelakang, ternyata dia adalah guru seni Rini, pak Tono. Sedikit terkejut, Rini melihat ke mata pak Tono dengan muka kebingungan, apa dia sudah melakukan kesalahan dan terkena masalah?
Pak Tono dengan nada lembutnya bertanya kepada Rini “Nak Rini, kok buku gambarnya dibuang?” Rini hanya bisa terdiam malu. Setelah itu Pak Tono pun mengajak Rini untuk duduk di lapangan sekolah bersama. Disanalah Rini pun mulai bercerita tentang alasan kenapa dia hampir membuang buku gambar kesayangannya itu.
Pak Tono mendengarkan dengan seksama, memberikan Rini si anak murid kesayangannya itu waktu untuk meluapkan semua unak-unak di dalam kepalanya Rini. Pak Tono sangatlah bijak, ia selalu memberi saran dan pesan terhadap murid-muridnya yang sedang terkena masalah. Setelah Rini selesai bercerita; Pak Tono pun terdiam dan menoleh ke arah Rini. “Rini, coba lihat ini.” Pak Tono mengatakan sambil memberikan sebuah flyer kepada Rini.
“Ini...flyer untuk lomba menggambar..?” kata Rini dengan nada agak bingung. Pak Tono tersenyum tipis dan berkata “Nah untuk menyelesaikan masalah Rini ini, jawabannya bukanlah dari bapak. Namun ini semua tergantung kepada Rini, apakah Rini akan terus memegan erat-erat mimpi Rini atau apakah Rini sudah siap melepaskannya?”
Kata-kata itu membuat Rini terdiam sambil melihat Pak Tono berjalan pergi. Ketika sudah hampir waktunya pulang, Rini melihat sekali lagi flyer yang telah diberikan Pak Tono kepadanya. Dan disanalah dia mengerti maksud dari perbuatan Pak Tono, mungkin Rini tak perlu membuang mimpinya itu hanya karena masa depan globalisasi telah menakutinya, namun dia harus mencoba memperjuangkan mimpi itu dengan sekuat tenaga agar masa gloalisasi tidak akan memakan mimpinya.
Disanalah Rini pun membuat keputusan, ia akan membuktikan ke teman-temannya, guru gurunya, dan terutama orangtuanya bahwa mimpi yang ia miliki itu tidak akan musnah dengan begitu mudahnya, akan dia buktikan dengan membawa nama sekolahnya terhadap ajang lomba seni nasional itu.
Keesokan harinya Rini pergi menemui Pak Tono untuk menyatakan pilihannya, Pak Tono tersenyum mendengar jawaban Rini.
Mulai dari hari itu Rini mulai mencari inspirasi untuk gambar yang akan dia tunjukkan untuk ajang seni itu, ia duduk di atas meja sekolahnya dan berpikir keras. Tidak ada tema tertentu yang harus digunakan untuk lomba tersebut asalkan tema yang digunakan tidak melancang atau dapat memberikan efek negatif bagi siapapun yang melihatnya.
Rini tidak hanya ingin menciptakan suatu karya seni yang indah, namun dia juga ingin gambar tersebut menginspirasi siapapun yang melihatnya. Rini pun teringat tentang apa yang telah terjadi kemarin dan dia pun akhirnya mendapatkan satu ide untuk menciptakan karya seni yang dapat menginspirasi anak-anak yang lainnya untuk jangan menyerah untuk meraih mimpi dan cita-cita mereka.
Rini pun mulai mengsketsa semua ide yang dia punya di kepalanya dan setiap hari, dia akan mengunjungi Pak Tono di ruang guru untuk mendapatkan kritik dan saran dari Pak Tono tentang karya yang akan dia kumpulkan untuk lomba ini.
Rini mendapatkan banyak dukungan dari guru dan teman-temannya, dan itu membuat Rini merasa sangat termotivasi dan bersemangat, bahkan orangtuanya yang dulu menolak mimpi Rini dan sempat meremehkan dirinya sekarang mulai mendukung Rini dan membatunya untuk membeli alat-alat yang akan dia gunakan untuk membuat karya seni ini.
Rini merasa sangat senang atas semua dukungan yang ia dapat dan dia benar benar bersemagat saat dia menggambar, ia berharap agar karya seni yang sedang ia ciptakan ini akan memberi perasaan yang sama: rasa motivasi dan harapan yang benar agar dapat merain mimpi dan cita-cita mereka.
Tidak terasa sudah hampir satu minggu berlalu, dan sebentar lagi Rini akan harus mengumpulkan karyanya. Dia pun pergi lagi menemui Pak Tono untuk merivisi karyanya itu untuk terakhir kalinya sekalian mengumpulkannya.
Pak Tono sangat menyukai hasil karya Rini dan mengatakan kepada Rini bahwa karya seninya sudah memenuhi syarat dan sudah siap untuk dikumpulkan. Rini merasa agak gugup namun Pak Tono menenangkannya “Nak Rini, tidak perlu khawatir tentanag persoalan menang atau kalah, yang penting Rini sudah menunjukkan bahwa Rini tidak akan membiarkan era globalisasi ataupun era modern mengambil dan memakan mimpi Rini, itu sendiri sudah membuat Rini seorang pemenang di mata bapak.” Kata Pak Tono sambil tersenyum bangga.
“Pak...terimakasih banyak pak, bapak telah memberi Rini semangat lagi.” Kata Rini sambil tersenyum. Pak Tono pun menepuk pundak Rini sebagai tanda bahwa dia sangatlah bannga terhadap anak muridnya ini.
2 hari kemudian hari yang ditunggu-tunggu tiba, hari pengumuman juara ajang karya seni tersebut. Dia duduk bersama teman-temannya, gurunya terutama Pak Tono untuk menunggu hasil pemenang dari lomba tersebut di kelas mereka karena hasil lomba di umukan secara online.
Dan ternayata, Rini memenangkan juara satu dari lomba tersebut, dan semua teman temannya bersorak keras dan memeluk Rini karena mereka sangat senang untuknya. Rini pun juga merasa senang dengan dirinya sendiri dan sangat berterimakasih kepada semua orang yang telah mendukungnya selama 2 minggu ini.
Disanalah Rini belajar bahwa dia tidak perlu membuang mimpinya ataupun cita-citanya hanya karena era modern yang akan datang, namun di era itulah dia harus sepenuh hati memperjuangkan mimpinya itu.
0 Komentar