Di era globalisasi, bahasa menjadi jembatan yang menghubungkan keberagaman budaya. Layaknya benang yang menjalin kain, setiap kata yang terucap dan tertulis berusaha untuk merajut identitas nasional. Cerita ini menggambarkan kisah mahasiswi cantik bernama Nirmala yang berusaha menemukan arti dari tiap keberagaman yang ada di sekitarnya. Segala usaha ia torehkan demi mencapai keinginannya, bak pelaut yang menavigasi lautan luas yang penuh misteri. Nirmala, atau yang kerap disapa Mala, adalah mahasiswi dari Universitas Riau. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia dikelilingi oleh teman-teman yang memiliki latar belakang beragam, bagaikan mozaik warna-warni yang menambah keindahan hidupnya. Keberagaman budaya di sekitarnya membuat Nirmala merasa bangga akan kekayaan Indonesia. Namun, di balik kebanggaan itu, ia merasakan ada sesuatu yang hilang. Seiring berjalannya waktu di era globalisasi ini, suara-suara lokal yang seharusnya menggema sering kali tenggelam dalam gelombang tinggi informasi luar.
"Teman-teman, hari Sabtu akan ada Festival Budaya Indonesia. Ayo kita ke sana?" kalimat itu terucap oleh Salsa salah satu teman Nirmala, membuat semangat berkobar di antara mereka. Tanpa berpikir panjang, mereka semua setuju. Hari yang dinanti pun tiba. Pagi menjelang dengan lembut, seakan membentang selimut sutra berwarna pastel. Sinar matahari merayap perlahan, menyentuh bumi dengan jari jari hangatnya, sementara embun menari di atas daun, berkilau bak permata yang disebar oleh dewa pagi. Suara burung berkicau memanggil setiap makhluk untuk bangkit dari mimpi. Pagi ini, waktunya
Nirmala untuk memulai penjelajahannya. Setelah semuanya sudah siap berkemas, mereka pergi ke festival itu bersama- sama. Sesampainya di sana, mereka kagum akan suasana festival begitu meriah. Festival itu bagaikan pelangi sehabis hujan yang menghiasi langit dengan warna- warna cerah yang memikat hati. Tenda-tenda warna-warni berdiri megah, menampilkan berbagai kebudayaan dari setiap tanah Indonesia. Aroma makanan tradisional menguar, menggoda selera. Ia dengan seksama memperhatikan betapa banyaknya keberagaman di Indonesia, mulai dari bahasa, pakaian adat, tarian adat, dan lain sebagainya. Banyak sekali orang yang mengucapkan bahasanya masing- masing, seperti bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Sunda, dan masih banyak lagi.
Betapa kayanya negeri pusaka ini. Saat Nirmala ingin membeli minuman, ia melihat seorang kakek yang duduk di bawah pohon, ternaungi oleh rimbun dedaunan. Hatinya bergetar, ia sangat ingin menghampiri kakek itu. Tetapi, ketakutan membekukan langkahnya. Ia melawan rasa takut itu dan pergi menghampiri kakek itu. “Selamat pagi, Kakek,” sapa Nirmala dengan lembut. “Selamat pagi, Nak,” jawab kakek, suaranya hangat seperti sinar matahari. “Kakek sedang apa di sini?” tanya Nirmala, matanya penuh rasa perhatian. “Kakek sedang beristirahat sebentar, Nak. Kakek kelelahan setelah melihat festival ini,” kata kakek, sembari mengusap peluh dahinya. Nirmala pamit sebentar kepada kakek itu, ia ingin menuju ke kios minuman. Setelah itu, ia langsung bergegas kembali pada kakek itu. “Kakek, ini saya bawa minuman untuk kakek,” Nirmala menyulurkan botol minuman. “Nak, tak usah repot-repot. Kakek tidak apa-apa” jawab kakek itu. “Tidak apa-apa, Kek. Ambil saja,” “Terima kasih ya, Nak.” Ucap sang kakek. Setelah percakapan yang panjang antara mereka berdua, Nirmala ingin kembali bersama teman-temannya. “Nak, kakek ingin memberi tahu sesuatu, kamu sebagai generasi emas di negara ini, teruslah menjaga indentitas bangsa Indonesia. Kakek terkadang sedih sekali mendengar anak muda sekarang mengucapkan bahasa-bahasa asing yang maknanya sendiri tak baik.
Kakek yakin kamu bisa melakukannya,” kata kakek pada Nirmala. Mendengar hal itu, semakin tergeraklah hati Nirmala dalam mewujudkan pencapaiannya. Melihat festival itu, Nirmala merasakan kerinduan akan melodi tradisi yang seharusnya dapat mengisi ruang hatinya. Ia bertekad untuk membangun kembali identitas nasional dengan menggali kearifan lokal, ibarat penambang yang mencari permata berharga. Ia menggali kearifan lokal melalui bahasa dan menjadikannya jembatan antara yang lama dengan yang baru, agar budaya lokal tetap bersinar di tengah gemuruh dunia. Setiap ada waktu luang, Nirmala seperti burung yang terbang bebas, mencari cerita-cerita rakyat, mitos-mitos, dan lagu-lagu daerah. Pena menari-nari di atas kertas, mencatat semua yang ia dapat dengan rapi. Nirmala selalu mempelajari makna di balik setiap bahasa yang ia temukan, seolah menganyam benang-benang budaya menjadi kain yang indah.
Suatu hari, Nirmala mendapatkan ide cemerlang, bagaikan sinar matahari yang menembus awan gelap. Ia berniat untuk menyelenggarakan lomba bercerita. Sebelum acara tersebut dibuat, Nirmala sudah memikirkan rencana ini dengan sangat matang. Biaya acara ini sepenuhnya ditanggung oleh Nirmala sendiri dengan mengandalkan tabungannya. Semua usaha ia torehkan demi sebuah acara yang ingin ia adakan. Bagaikan cahaya lilin yang berusaha menghidupi kegelapan, Nirmala terus berusaha untuk memberikan kehidupan pada setiap persiapan acara yang penuh cinta dan dedikasi.
Ia meminta sedikit bantuan teman-temannya untuk membantu mempersiapkan acara tersebut. Dalam pikirannya, lomba ini bagaikan jendela yang membuka kesempatan bagi semua orang untuk berbagi kisah yang dapat menghidupkan kembali warisan yang terpendam. “Dengan mengadakan acara ini, aku yakin aku dapat menunjukkan betapa kayanya negeri ini,” gumamnya saat menatap catatan yang ia tulis terkait acara itu. Nirmala mengundang banyak orang terutama anak-anak dari latar belakang yang berbeda untuk berpartisipasi. Tibalah momen yang dinanti, saat segalanya bersatu dalam kebahagiaan. Peserta berdatangan, mengenakan pakaian adat yang berkilau, seolah bintang-bintang menghiasi langit malam. Setiap sudut festival dipenuhi tawa dan keceriaan, menciptakan suasana yang hangat seperti pelukan orang tua kepada anaknya.
Dengan bahasa sebagai alat mereka masing-masing, mereka bisa saling memahami dan menghargai perbedaan. Nirmala melihat betapa gembiranya anak- anak dari berbagai budaya dapat berdiri di panggung untuk bercerita. Mereka sangat bersemangat, bak bunga yang mekar di musim semi, mereka bercerita dengan alunan melodi yang merdu. Suara tepuk tangan dan sorak-sorai mengalun seiring dengan penampilan-penampilan mereka. Ditengah sorak-sorai yang menggema, Nirmala melihat kakek yang ia temui saat Festival Budaya Indonesia yang lalu. Sang kakek tersenyum bangga dan mengacungkan jempol pada Nirmala dari kejauhan, Nirmala yang melihat itu langsung membalas senyum sang kakek. Saat Nirmala ingin menghampiri, ternyata kakek itu sudah pergi. Ia akan selalu mengingat pesan kakek di festival itu.
Nirmala berterima kasih kepada teman-temannya atas bantuan yang telah mereka berikan. “Teman-teman, terima kasih banyak karena sudah membantu aku menyelenggarakan acara ini,” Nirmala berkata sambil tersenyum. “Aku tidak menyangka ide ini akan berjalan dengan begitu meriah!” “Kita juga senang sekali bisa ikut berkontribusi!” ucap Aditya. “Sebagai ungkapan terima kasih, aku akan traktir kalian besok. Mari kita rayakan keberhasilan ini bersama” Nirmala melanjutkan. Nirmala menyadari bahwa setiap cerita yang disampaikan bukan hanya sekedar memperkenalkan budayanya masing-masing, tetapi juga dapat membangun identitas nasional yang kokoh. Berita tentang acara itu tersebar luas secepat kilat dan membuat Nirmala di undang di acara-acara televisi. Ia tak menyangka, seolah bintang jatuh yang datang tiba-tiba, membawa kebahagiaan yang melimpah. “Sebagai bagian dari bangsa ini, saya ingin keberagaman kita menjadi pelita yang menerangi jalan Indonesia di tengah gelombang globalisasi,” kata Nirmala berulang kali di setiap acara televisi yang ia datangi, berharap pesannya dapat menginspirasi banyak orang. Dari sanalah ia membangun komunitas “Sutra Bahasa Lembut Menyapa,” sebuah wadah bagai jembatan yang menghubungkan beragam budaya, merayakan keberagaman, dan mempromosikan pemahaman antarbudaya melalui cerita dan bahasa yang lembut. Nirmala berharap apa yang dilakukannya ini dapat meningkatkan pandangan orang-orang mengenai pentingnya membangun warisan nasional.
Di suatu malam yang tenang, angin berbisik lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Di bawah rembulan yang memancarkan cahayanya, Nirmala duduk di tepi jendela. Dengan mata berbinar, ia merasa bangga pada dirinya. Setelah melewati berbagai tantangan yang berliku-liku, Nirmala tak menyangka bahwa dirinya dapat menyelesaikan target yang sangat ingin ia capai. Semangat dalam diri Nirmala berhasil tersalurkan bagi masyarakat Indonesia, membuat masyarakat Indonesia menjadi sangat peduli terhadap warisan yang ada. Nirmala tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Ia bertekad untuk terus membangun jembatan antarbudaya, agar setiap orang merasa saling terhubung dan merasa dihargai. Dia berdoa agar cinta terhadap budaya dan bahasa terus tumbuh untuk menyalakan semangat bagi generasi berikutnya. Dengan tekad membara, ia membayangkan masa depan yang cerah, di mana sutra-sutra bahasa akan terus terjalin, membentuk jembatan antarhati dan jiwa. Nirmala akan selalu mengajak masyarakat Indonesia untuk terus menjalin persatuan, karena perbedaan adalah warna yang memperkaya lukisan kehidupan.
Dengan langkah kecil namun berarti, Nirmala sukses mengajak masyarakat Indonesia untuk terus merajut keberagaman budaya sebagai identitas nasional di tengah era globalisasi. Ia yakin meskipun dunia terus berubah, akar budayanya akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Ia berharap agar kisah ini akan mengalun jauh, menjadi melodi-melodi yang akan dikenang oleh zaman. Dalam setiap ucapan, Nirmala menenun harapan untuk masa depan yang lebih harmonis, dimana setiap suara dihargai dan setiap budaya bersatu dalam identitas nasional.
0 Komentar