Selembar Kertas dan Sebatang Pena
NAJWA ASSYFA RAHAYU - SMAN 1 TAMBANG
Malam yang mendung dan dingin menyelimuti seluruh kota. Di antara gedung-gedung tinggi, awan mulai bergemuruh, mengeluarkan kilatannya. Di tengah kota besar yang bising dengan suara kendaraan, seakan tidak pernah tidur, perlahan rintik hujan menetes di jendela kaca. Tak lama, hujan deras pun melanda kota. Gemerlap lampu terpantul di jalanan yang basah.
Jam menunjukkan pukul 12 malam, tampak di balik sebuah jendela kaca kamar yang mengembun, terlihat monitor komputer yang masih menyala. Azril seorang anak berusia 15 tahun, duduk terpaku di depan layarnya dengan konsol gim dan perangkat jemala yang melingkar di kepalanya. Dia sedang asyik menekan tombol-tombol pada konsol gimnya, ia tenggelam dalam petualangan yang tampak lebih nyata daripada hidupnya. Setiap bunyi serangan dan efek suara yang menyalur dari perangkat jemalanya yang membuat petualangan terasa semakin realistis. Hujan tak lebih hanya sekedar latar belakang, gemuruhnya seolah tak di dengar. Tenggelam ke dalam dunia yang ia buat.
Di dunia yang modern ini semua dapat terhubung dengan mudah. Teknologi memfasilitasi penyebaran gim online. Semua orang dapat terhubung dan berpartisipasi dalam gim global. Awalnya itu hanya hobi yang dia lakukan saat waktu luang. Namun seiring waktu Azril mulai kecanduan.
Azril, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun, ia seorang siswa kelas 10 di sekolah Andromeda. Ia sudah terpengaruh dan kecanduan oleh gim dan gawai. Nilainya menurun tetapi dia seakan tidak peduli. Dunia nyata dan sekolah mulai menjadi tempat yang asing baginya. Ia selalu menghabiskan waktu dengan gimnya. Seakan dari situlah dia mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Dia terjebak dalam fatamorgana kehidupan digital. Di dalam kesunyian relung hidupnya. Orang tuanya kerap menegurnya, namun ia selalu menunda-nunda dengan alasan “Besok saja Bu.” Baginya, komputer dan gim adalah tempat ia menemukan kebebasan.
Pagi hari, jam menunjukkan pukul 07.15. alarm bergetar dari gawai Azril. Ia selalu bangun terlambat dan tergesa-gesa. Malam yang dihabiskan untuk bermain gim membuatnya sering kali telat datang ke sekolah. Ia bergegas bersiap-siap, lalu melaju ke sekolah tanpa sempat sarapan. Ia sampai ke sekolah tepat pada bel masuk berbunyi.
Di kelas, kepalanya terasa sangat berat, matanya sangat sulit untuk terbuka hingga tidak fokus saat guru menjelaskan. Bu Intan wali kelas Azril, mengajar kelas bahasa Indonesia di lokal Azril pagi itu, kelas sedang membahas materi teks anekdot. “ Cerita lucu sekaligus mengandung kritik tentang fenomena sosial adalah pengertian dari teks anekdot “ jelas Bu Intan menyampaikan materi dengan penuh semangat. Di tengah-tengah penjelasan, saat itu matanya tertuju pada bangku baris ketiga dari sebelah sisi kirinya, dia melihat Azril yang tampak tertidur. Ia segera membangunkan Azril dan menyuruhnya ke depan. Sontak Azril terbangun, dan dengan wajah ragu ia berjalan ke depan, “Halo, Azril bisa tolong jelaskan apa itu teks anekdot beserta ciri-cirinya” tanya Bu Intan dengan tenang namun tajam. Azril yang setengah nyawanya masih berada di alam lain pun termenung “ Maaf bu, saya tidak tahu” jawab Azril panik. “ Apa kamu ada masalah? Sehingga selalu tidak semangat untuk belajar “ tanya Bu Intan kepada Azril. “ Silakan kamu nanti ke ruangan saya” Ucap Bu Intan, yang di iyakan oleh Azril.
Pelajaran bahasa Indonesia sudah selesai, jadwal berikutnya pelajaran fisika, ibu Elvi tidak datang hanya memberi tugas. Azril memanfaatkan waktu ini untuk termenung, ia duduk di bangkunya, termenung lama merasakan kekosongan yang tidak bisa ia ungkapkan, bagaikan lautan yang dalam dia tenggelam dalam pikirannya. “Hai menung saja kamu” Sapaan Gibran yang membuyarkan lamunan nya. “eh, iya” jawab Azril dengan wajah terkejut.
Pukul 10.15 bel istirahat berbunyi. Azril harus pergi ke ruangan Bu Intan, ia menyusuri lorong-lorong kelas, melewati setiap rak-rak sepatu yang berjejer di depan kelas, dengan suasana riuhnya sekolah yang dipenuhi oleh canda dan tawa para siswa di saat jam istirahat, sampailah di ruangan Bu Intan ia mengetuk pintu berwarna putih minimalis itu sembari mengucapkan salam. “Silakan masuk nak” terdengar suara bu intan yang ada dibalik ruangan itu. Azril pun masuk, dan dipersilahkan duduk di bangku yang ada di depan Bu Intan. “Ibu lihat kamu ini tidak pernah semangat saat belajar, guru-guru yang lain juga melapor kepada Ibu, di kelas kerja mu hanya tidur, tidak mengerjakan tugas, kenapa kamu seperti ini?” Tanya Bu Intan kepada Azril. Azril hanya diam membatin, tidak sepatah dua patah kata keluar dari mulutnya, “Apakah kamu ada masalah yang dipendam?” Bu Intan berusaha mencari tahu namun Azril hanya terdiam, ada rasa yang tidak bisa diungkapkan. Bu Intan merasa bahwa Azril tidak mau bercerita, ia memberi kesempatan kepada Azril untuk bercerita lain waktu, Bu Intan tidak tahu bahwa Azril selalu mengantuk dan tidak semangat belajar karna dia selalu bermain gim hingga larut malam.
Bel pulang berbunyi, hal yang sangat di nanti-nanti oleh Azril tiba, waktunya untuk kembali ke dunia digital, ia pulang ke rumahnya dengan mengendarai sepeda motor. Ia berjalan melewati kendaraan kendaraan lain yang berjalan pelan di sore itu, melewati pohon-pohon yang rindang di tepi jalan, burung-burung berkicauan di atas kabel listrik yang menjalur di atas sana. Terlihat wajah-wajah letih setiap orang di sepanjang jalan, semua orang telah melewati hari yang melelahkan, terlihat pelajar-pelajar yang menggendong tasnya, orang-orang dewasa yang pulang dari kerjanya. Memenuhi pemandangan pulangnya sore itu, seperti sore-sore lainnya. Namun semua itu hanya sekelebat di pikirannya yang sudah tertutup oleh keinginan untuk segera bermain gim.
Sesampainya di rumah, ia memarkirkan motornya di halaman belakang rumah, membawa helm berwarna biru muda ke teras rumahnya, ia pulang. Tidak ada satu orang pun di rumah itu, karna orang tuanya masih sibuk bekerja. Ia masuk ke kamar dan langsung duduk di kursi gamingnya. Menyalakan komputer dan membuka gim, ia akan memulai petualangan yang menyenangkan ini. Jemari tangannya menari-nari dengan lincah di atas papan keyboard, menyerang setiap musuh yang datang, menjadi pahlawan yang melindungi rekan-rekan nya dan menyelesaikan misi demi misi. Jarum jam terus berputar detik demi detik, waktu demi waktu sudah ia habiskan hanya untuk bermain gim hingga larut malam, besok pagi ia datang pas-pasan, tidur di kelas, tidak mengerjakan tugas, dan selalu seperti itu hari-hari yang ia lalui. Hari yang sama terus berulang. Hingga pada suatu sore di akhir pekan, Azril duduk di balkon kamarnya, matahari tampak tenggelam di balik gedung-gedung kota, udara sore yang hangat menemani lamunannya, pandangannya dipenuhi dengan pancaran kilauan cahaya yang menenangkan. Di tengah lamunan, serta pertanyaan.
Senja mulai membiru, Azril masuk ke dalam kamar, ia duduk di tepi ranjang, pandanganya kosong ke depan. “Apa yang telah aku dapatkan selama ini?” “Aku sibuk tetapi kehidupan ku terasa sangat hampa, aku selalu bermain, hingga kepalaku terasa pusing, mata ku merasa lelah, tubuh ku terasa lemas” tanyanya pada diri sendiri. Ia bertanya untuk apa hidup jika hanya mengerjakan hal yang sia-sia, tidur tengah malam, belajar tidak bersungguh-sungguh, ia selalu dihantui rasa gelisah dan ingin selalu mengejar kemenangan dalam gim. Dia juga sudah jarang berkumpul dengan ayah dan ibu, bermain dengan teman-teman, di saat waktu luang Azril selalu menyibukkan diri dengan monitornya. Pikirannya tentang ayah dan ibu juga terlintas dalam kesadarannya, dia terbayang dengan orang tuanya yang sedih dan khawatir.
Ia menghela napas panjang, seolah ingin mengusir segala pikiran berat yang menggelayut di hatinya. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada meja belajar di sudut ruangan. Di sana, tergeletak sebuah kertas dan pena, tertutup oleh lapisan debu tipis. Lama ia tak menyentuh meja itu, apalagi pena dan kertas yang dulu menjadi teman setianya. Ia tergerak bangkit, menghampiri meja tersebut, lalu duduk di kursi belajarnya yang sudah lama tak ia duduki. Azril menatap kertas itu dengan tatapan sendu. Ia ingat, kertas dan pena ini dulu saksi bisu segala impiannya. Saat membuka lembaran kertas tersebut, ia menemukan puisi yang dulu pernah ia tulis. Puisi sederhana yang ia beri judul Mimpi. Setiap kata dalam puisi itu seolah berbisik lembut, mengingatkannya akan cita-cita dan semangat yang pernah ia genggam erat. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipinya. Ia menyadari betapa jauhnya ia tersesat dari jalan yang dulu pernah ia impikan. Dimulai dari memperbaiki waktu tidurnya, walaupun tidak mudah karna ia sudah terbiasa, ia selalu berusaha karna Azril bersungguh-sungguh.
Di tengah keheningan yang hampa, Azril meraih pena itu. Ia menyadari bahwa mungkin inilah saatnya ia kembali, kembali menemukan dirinya yang dulu. Tanpa berpikir panjang, ia mulai menulis. Kata demi kata mengalir dengan lancar, mencurahkan segala isi hatinya yang selama ini terpendam. Setiap tarikan dan goresan pena membawa ketenangan yang tak ia rasakan dalam waktu yang lama. Ia menulis tentang penyesalan, tentang kehampaan, dan tentang harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Ketika ia selesai menulis, Azril merasa hatinya lebih ringan. Ia tahu, menulis puisi ini hanyalah langkah kecil, tapi dari sinilah ia akan memulai perubahan yang lebih besar. Ia tersenyum pada dirinya sendiri, menguatkan tekadnya untuk memulai hidup baru, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang membuatnya terjebak.
Pagi hari, matahari dengan lembut menyelinap ke dalam jendela kamar Azril, silau cahaya membuat ia terbangun, Azril beranjak dari ranjangnya menuju jendela, ia membuka jendela, udara bertiup lembut menerpa wajahnya seakan membisikkan suasana awal yang baru, udara segar mengisi paru-parunya, seolah menandakan bahwa hari ini adalah permulaan hidup yang berbeda. Di dalam hatinya, Azril merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, karna ia telah bertekad untuk menjalani hidupnya dengan lebih baik dan penuh makna dan menemukan kembali diri sejatinya. Azril mandi dan bersiap-siap.
Setelah selesai bersiap. Azril turun ke ruang makan, aroma sarapan menyambutnya dengan hangat. Tampak orang tua Azril sedang menyeruput teh hangat di meja makan, mereka sangat terkejut melihat Azril. Sudah lama sekali ia tidak berkumpul dengan orang tuanya, meski satu rumah, Azril selalu bangun pas-pasan hingga tidak sempat sarapan, bahkan tidak berpamitan, karena orang tuanya sudah pergi lebih dulu, di malam hari pun ia hanya sibuk di dalam kamar dan memilih makan sendiri di kamarnya.
Ibu dan ayahnya sangat senang. Lalu Azril pun duduk bergabung di antara ayah dan ibu. Ibu menuangkan susu coklat untuk Azril,” Maafkan Azril ya ayah, ibu, Azril tidak mendengarkan kalian, Azril sudah membuat khawatir ayah dan ibu dengan sikap Azril, mulai hari ini Azril akan berubah menjadi anak yang baik” maaf Azril kepada ayah dan ibu. Mereka berbincang bincang hangat. Azril bercerita kepada ibu dan ayahnya tentang apa yang dia rasakan, dia sudah sadar bahwa hal yang dia lakukan salah.
Hari-hari berlalu, Azril mulai menemukan keseimbangan dalam hidupnya. Ia tak sepenuhnya meninggalkan dunia gim, namun kini ia tak lagi menjadikannya pelarian. Ia mengejar mimpinya dengan semangat baru, dan percaya bahwa dunia nyata masih memiliki banyak hal indah yang perlu ia jelajahi. Dalam hati, ia tahu, ini adalah awal dari kehidupan yang penuh makna.
Di sekolah, Bu Intan menyapanya dan menyadari perubahan kecil dalam diri Azril. Ia tak lagi terlihat lesu dan mulai mencoba memperhatikan pelajaran. Perlahan, Azril mulai berusaha mengatur waktu antara belajar dan bermain, lebih sering berbicara dengan orang tuanya, dan merasakan kembali momen kebersamaan yang dulu ia abaikan. Azril merasa hidupnya mulai menemukan arah yang baru, dan dia tak lagi merasa hampa seperti dulu.
Ketika ia melihat meja belajarnya yang sekarang tertata rapi dengan buku dan catatan, ia teringat kembali pada selembar kertas dan pena yang dulu menjadi titik baliknya. Dengan senyum kecil, Azril bertanya pada dirinya sendiri: Inikah awal dari kehidupan yang selalu aku cari?
0 Komentar