Untung Cepat Sadar - Aisyah Nur Syafrina


Untung Cepat Sadar 
Aisyah Nur Syafrina - SMA Negeri 15 Pekanbaru

Pada tahun 2021, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di salah satu pondok pesantren di Pekanbaru. Saat itu, aku berpikir akan bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah. “Pasti seru”, pikirku. Hari yang ditunggu telah tiba. Tepat pada tanggal 14 Juli 2021 di masa pandemi Covid-19, aku melakukan tes swab sebagai syarat wajib untuk memasuki asrama. Namun sayangnya, hasil dari tes tersebut positif. Ya, aku terinfeksi virus corona dan harus kembali ke rumah untuk mengisolasi diri selama dua minggu dan menunggu hasil negatif dari petugas kesehatan. 

Setelah dua minggu berlalu, aku berhasil sembuh. Hasil swab ku negatif Covid-19. ”Alhamdulillah”, ujarku. Aku sangat bersyukur bisa sembuh dari infeksi virus Covid-19, karena sudah tidak sabar untuk memasuki asrama dan bertemu dengan teman-teman baru.

Sore itu, aku sudah bersiap untuk berangkat ke pesantren. Semua barang-barang sudah aku persiapkan. Tetapi, ketika aku sudah berada di dalam asrama tetap saja ada yang tertinggal. ”Perasaan semua barang sudah diletakkan ke dalam mobil deh, kok masih ada yang tertinggal ya?”, ujarku. Ternyata aku yang ceroboh, “Hahah!, rupanya aku yang terlalu banyak bawa barang”. Ujarku yang baru sadar telah membawa barang yang banyak.

Sesampainya di asrama, aku mendapat kamar enam yang letak nya ujung sekali. Aku meletakkan barang-barang di sudut kamar enam. Aku berpamitan dengan keluarga. Ketika berpelukan dengan mama, mama berbisik di telingaku ”Jangan nangis ya kak”, ujar mama. Aku terdiam sejenak memikirkan pesan dari mama. ”Buat apa sedih? mama kan  ngajar disini juga. Jadi bisa ketemu setiap hari”. Ujarku. Saat itu, teman-teman asrama heboh dengan kedatanganku. Ternyata mereka sudah menungguku. Mereka sempat mengira aku bangsa Palestina, karena saat itu aku memakai gamis yang warnanya sama dengan warna bendera Palestina.

Masya Allah, itu orang Indonesia atau orang Arab ya?”, tanya Athiyyah yang merupakan bendahara kamar enam.

“ Orang Palestina gak sih? soalnya gamis yang dipakainya kayak bendera Palestina”, jawab Indi.

“ Ya ampunn, ini beneran kita punya teman orang Arab?”, tanya Rifa yang berada di sebelah ranjangku.

“ Gimana ya cara kita untuk berkomunikasi dengan dia? kan kita belum mahir”.tanya Aurelia, yang masih memikirkan bahasa apa yang ingin ia pakai untuk berkomunikasi denganku, ia merupakan sekretaris kamar enam saat itu.

Mereka bingung langkah yang harus dilakukan. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan menggunakan bahasa Arab “Ma ismuki?” ujarnya. ”Ismi Aisyah” jawabku. Aku bisa menjawab pertanyaan itu karena ketika SD mempelajari bahasa Arab dasar. Aku merapikan barang-barang sembari bercerita dengan teman-teman baru. Awalnya, mereka bercerita menggunakan bahasa Indonesia. Aku hanya mendengar apa yang mereka ceritakan. Tetapi ketika berbicara denganku, mereka menggunakan bahasa Arab.

Lantas, aku tertawa melihat mereka yang mengira teman baru yang di depannya merupakan bangsa Palestina asli. Aku beri tahu kepada mereka bahwa teman barunya ini bangsa Indonesia asli, yang bersuku Minang dan Melayu. Mereka ikut tertawa dengan pernyataan itu. Waktu maghrib telah tiba, saatnya aku dan teman-teman bersiap untuk melaksanakan sholat magrib berjama’ah. Awalnya aku mengira akan sholat berjama’ah di Masjid. Ternyata untuk santri baru hanya boleh sholat di asrama. Dikarenakan takut santri yang tidak betah, akan keluar dari lingkungan pesantren. 

Bi syur’a”, ujar kakak kelas yang sudah standby di ruang sholat.

Na’am ukhtii”, jawab kami dengan serentak.

Enam bulan sudah berlalu, selama di pesantren aku merasa kesulitan dalam bersosialisasi dan kesusahan dalam belajar, pikiranku saat itu hanya ingin pulang ke rumah dan bermain handphone, rasanya sudah lama sekali aku tidak meng-update status. Saat pembagian raport di semester ganjil, nilai ku rendah. Aku menyadari hal itu, jadwal belajarku tidak sefektif dulu. Aku sibuk memikirkan bagaimana cara supaya aku bisa bermain handphone. Sejak saat itu, aku berencana untuk berubah menjadi lebih baik, dengan mengelola waktu sehingga jadwal belajarku menjadi efektif. Serta tidak memikirkan hal yang tidak berguna. Aku hanya ingin focus untuk masa depan.

Rencana itu berjalan selama semester genap dan aku berhasil menerapkan yang telah di rencanakan. Ya, aku berhasil mendapat nilai terbaik saat pembagian raport semester genap. Aku berharap akan selalu menerapkan rencana itu untuk ke depannya. Ternyata semuanya tidak berjalan sesuai dengan harapan. Aku terlena dengan lingkungan sekitar. Aku menghabiskan waktu dengan bercerita dan bermain bersama teman-teman yang diam-diam membawa handphone ke asrama, sehingga aku lupa dengan jadwal belajar yang telah di rencanakan. 

“ Aisyah ayo sini! ada cerita baru loh dari kamar sebelah, katanya handphone nya ketangkap ustadzah” ucap salah satu temanku yang berada di sudut kamar enam.

Afwan, gak dulu ya. Ana sudah gak mau bergosip lagi”, jawabku dengan penuh kesadaran.

Mereka sedikit terheran melihatku yang tiba-tiba saja berubah. Sejak saat itu, teman-teman yang berada di kamar enam mulai menjauhiku.

Malam itu, aku sadar telah berteman di lingkungan yang salah. Lingkungan yang sibuk dengan menceritakan kehidupan orang lain, menghabiskan waktu dengan bermain, sehingga lupa dengan niat awal ketika ingin memasuki pesantren. Aku mencoba untuk menyelesaikan ini semua, aku ingin menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Aku mencoba untuk menenangkan pikiranku, agar dapat menyelesaikannya.

“ Coba dekatkan diri kamu kepada Allah SWT, dengan cara sholat, berdzikir, dan berdo’a. Kamu perhatikan juga wudhu nya sudah benar apa belum?”, saran ustadzah untukku ketika di dalam ruangan bimbingan konseling.

In sya Allah zah. Aisyah lakukan zah”.

Hari-hariku dipenuhi dengan dzikir, do’a, shalat-shalat sunnah dan berpuasa untuk menemukan jalan yang terbaik dari Allah SWT. Pada akhirnya aku diberi jalan, dengan bertemu salah satu temanku yang konsisten dalam memanfaatkan waktunya. Anehnya aku tidak mengenalinya, tetapi tetap saja aku ingin mencari tahu tentangnya. Aku sangat penasaran dengan nya, apa yang ia lakukan. Sedikit demi sedikit ku intip kesehariannya. Akhirnya, aku menemukan apa yang selama ini rutin ia lakukan. Namun, aku bukan hanya melihat sisi baik darinya, aku juga melihat sisi buruk darinya dan membandingkannya dengan diriku.

Aku pun mencoba melakukan hal baik yang rutin ia lakukan. Ternyata sama saja, aku tidak berhasil konsisten yang ia lakukan. Ia melakukan shalat tahajud setiap sepertiga malam bersama teman kamarnya. Banyak sekali godaan pada saat itu, dengan rasa takut, khawatir, malas, serta mengantuk ketika ingin melakukan shalat tahajud. Aku pun mencoba cari cara lain.

“Bagaimana ya cara supaya aku bisa dekat dengan Allah SWT? Aku juga ingin seperti dia”, ujarku dalam hati.

“duaarrrr”, suara petir besar disertai cahaya kilat yang mengkagetkanku sehingga  terbangun dari tidur.

Suasana kamar enam saat itu masih sepi, gelap, sunyi, dan mulai terdengar suara rintik hujan yang turun. Aku mencoba mengingat hal apa yang terjadi.

 “Kenapa tiba-tiba saja aku tidak mengingat sesuatu?”, ucapku yang masih terduduk di atas ranjang. Setelah beberapa menit memikirkannya aku mengingat satu hal.

”Tadi kan aku mencoba untuk menenangkan diri, kenapa malah ketiduran?”, aku menyadari bahwa kejadian-kejadian itu hanyalah mimpi.

“Masuk keruang itu saja aku tidak berani, apalagi berbicara dengan ustadzah itu. kalau sampai ketahuan teman-teman, bisa saja aku jadi bahan gosipnya mereka”, ujarku yang langsung kepikiran dengan mimpi itu. 

 “Eh sebentar, apakah mimpi ini berkaitan dengan kehidupanku?”, ujarku yang langsung mengingat kondisi saat itu.

“Apakah ini jawaban dari Allah SWT untuk menyelesaikan semuanya?”. Tanyaku yang masih terheran-heran dengan mimpi itu.

Saat itu aku memutuskan untuk melaksanakan shalat tahajud, hajat dan qobliyah subuh. Aku berdoa untuk di mudahkan jalan dalam thalabul ‘ilmi ini.  Hari demi hari aku rutin melaksanakan ibadah tersebut dengan ditambah ibadah sunnah lainnya. Begitu pulang ke rumah, aku tidak peduli dengan status yang ingin di update. Aku menggunakan handphone untuk mencari tau pekerjaan apa yang sesuai dan mencari informasi tentang beasiswa kuliah. Setelah itu aku bisa memilih jurusan di jenjang SMA nanti. Walaupun teman-temanku setiap harinya meng-update status. Aku lebih memilih untuk merencanakan kehidupan di masa depanku.

“Jika sudah sukses aku tak ingin update status lagi , aku ingin bersenang-senang dengan kehidupanku” ujarku dalam hati.




Posting Komentar

0 Komentar