Ajaran untuk Si Pucuk Rebung - Fadilah Tulzahra

 


Fadilah Tulzahra_Ajaran untuk Si Pucuk Rebung_Universitas Riau


Ajaran untuk Si Pucuk Rebung


Kampung halaman adalah tempat terbaik untuk kabur dari segala hal yang

berhubungan dengan sistem kapitalisme kehidupan kota. Tempat di mana Ayah bisa

beristirahat sejenak dari kesibukan pekerjaan budak korporat dan Bunda yang ingin

ketenangan setelah dibombardir oleh kebisingan tetangga yang sibuk bertengkar

karena ekonomi melarat. Sedangkan aku, Alidya Putri, seorang anak perempuan

yang menginginkan kehidupan damai dari hiruk pikuk kerumitan peradaban yang

sedikit berat.

Senang sekali rasanya berada di sini. Menatap hamparan sawah di bawah

pohon rambutan yang menjulang begitu tinggi. Menginap di rumah Atuk selama 14

hari, lalu kembali menemui teman lama yang kurindukan dengan sepenuh hati.

Sungguh rasanya begitu hangat, apalagi ketika aku melakukan aktivitas yang

menyenangkan hingga semua itu menciptakan sebuah memori indah di dalam

kepalaku. Tepatnya seperti sekarang ini, membaca buku cerita, dan sajak-sajak

ciptaan sastrawan terkenal di bawah pohon rambutan rindang di tepian sawah milik

penduduk desa. Semua ini sudah menjadi kebiasaan yang kulakukan setiap kali

pulang ke kampung halaman. Teman-temanku di sini yaitu Alya, Bima, Lana, dan

Salsa—selalu melakukan semua itu setidaknya beberapa kali dalam seminggu.

Tentu saja tidak setiap hari, ada kalanya kami akan bermain permainan tradisional

yang masih diteruskan dari generasi ke generasi. Seperti layang-layang, guli, dan

juga galah panjang jikalau banyak anak-anak yang ikut berpartisipasi.

Tapi untuk kali ini, kami memilih membaca buku saja. Matahari sedang

terik sekali di atas sana. Kata Bunda, efek matahari yang terlalu panas bisa

menyebabkan berbagai jenis penyakit di badan anak-anak seperti kami. Jadi


daripada terkena pidato dan ceramah selama tujuh hari tujuh malam, aku dan teman-

temanku memilih untuk mematuhi perintah Bunda saja. Jikalau dilanggar, selain


terkena penyakit, juga dapat dosa anak durhaka nantinya.


Kembali pada pembahasan awal, sekarang ini aku dan teman-temanku

tengah sibuk berbagi pendapat tentang buku-buku yang kami baca. Seperti halnya

makhluk sosial yang memerlukan sudut pandang atau opini dari makhluk yang ada

di sekitarnya—kami melakukan semua itu untuk saling memahami dan melihat

cerita dari sudut pandang yang berbeda. Kadang, apa yang aku pikir biasa saja,

ternyata sangat menyentuh bagi temanku. Dari situ, aku belajar bahwa membaca

bukan cuma soal menikmati cerita, tapi juga soal mengerti cara orang lain


merasakannya. Di tengah keasyikan kami dalam menuangkan pendapat, Bima tiba-

tiba mengatakan sesuatu padaku. "Alid, kira-kira perpustakaan di tempat tinggal


kamu punya buku Tirani dan Benteng karya Chairil Anwar, nggak ya?”

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, "ga tahu juga sih, tapi kayaknya

ada deh. Soalnya teman sekolahku pernah bilang kalau perpustakaan di kota punya

buku-buku langka yang udah ga di cetak ulang sama penerbit." Bahuku kemudian

menurun kala mengingat sesuatu, "tapi ya, registrasi sama peminjaman buku langka

gitu agak susah. Harus sama orang yang udah dewasa, kayak Ayah sama Bunda."

Bima yang mendengar jawabanku juga ikut kecewa. "Yah, aku pikir pinjam

buku di sana ga akan sesusah itu. Padahal aku mau baca buku punya Chairil Anwar

yang lain. Perpustakaan di desa kita ga selengkap yang di kota, terus buku-bukunya

juga—aduh!” belum sempat Bima menyelesaikan kalimatnya, sebuah gangguan

berupa lemparan biji rambutan datang menyerang secara tiba-tiba. Kami semua

sontak terkejut melihat itu. Namun detik berikutnya kami pun mengetahui dari

mana semua gangguan itu berasal. Siapa lagi kalau bukan ulah si anak paling nakal

sejagat raya. Iqbal dan dua temannya yang sudah menjadi musuh besar anak-anak

di desa. Mengandalkan nama besar sang Papa yang menjadi bos besar di tempat ini.

Dia datang dengan wajah penuh keangkuhan, bersama dua anak lain—ibarat kata

kasar, mereka adalah kacung pesuruh. Kami pun menatap geram kelakuan Iqbal tak

kalah tajam. Dan dari lubuk hati yang paling dalam, ingin sekali rasanya aku

melempar kembali biji rambutan tadi pada kepalanya yang terlihat seperti jambul

ayam.


Sembari menahan kesabaran, aku pun bertanya padanya. “Kenapa kesini?

Kalau mau ganggu kita, kamu pergi aja sana.” Dia tersenyum sembari mengejek,

aku tahu bahwa kali ini Iqbal ingin melakukan sesuatu untuk menggores harga diri

kami.

Dan benar saja, detik berikutnya Iqbal mengeluarkan sesuatu dari saku

celananya. Sebuah ponsel pintar keluaran terbaru yang menjadi incaran anak-anak

pecandu gadget di kota. “Kamu lihat?” Iqbal dengan sengaja memamerkan benda

itu kepada kami. “Aku punya handphone mahal yang ga akan pernah bisa kalian

beli. Eh! Bisa sih, tapi sekeluarga harus makan ga pakai lauk dulu selama sebulan.”

Bersama dua temannya, Iqbal tertawa lepas setelah mengucapkan kalimat yang

sangat tidak pantas. Menghina keterbatasan seseorang, tanpa memikirkan perasaan

yang sedang di sakiti. Tidak sampai di situ saja, Iqbal juga kembali mengatakan

sesuatu yang kali ini benar-benar melewati batas kesabaranku, dia bilang, “Alid,

Alid. Panggilan kamu aja anak kota, tapi hobinya kayak anak kampung. Kamu pikir

baca buku begitu bisa bikin pintar? Heh, dengarnya ya, di handphone mahal gini,

semua udah ada. Mau cari apa aja tinggal ketik. Buku? Udah ketinggalan zaman,

Lid!” ucapnya sembari mengibaskan ponselnya di depan wajahku, seolah-olah itu

piala kemenangan.

Aku mengepalkan tangan. Panas di dada mulai mendesak naik ke

tenggorokan. Tapi, kata-kata Atuk selalu datang lebih dulu sebelum amarah

meledak: "Orang bijak tak membalas ejekan dengan kemarahan, tapi dengan

tindakan." Setelah mengingat nasehat itu, aku menatap Iqbal lurus-lurus, “kita ga

perlu tuh, punya handphone kayak kamu. Lagipun, punya handphone mahal ga

bikin kamu lebih sopan, Bal. Kalau isinya cuma nyakitin orang lain, mending

kosong aja sekalian.”

Iqbal terdiam, raut wajahnya yang sombong berubah tak senang saat aku

mengatakan itu. Aku yakin sekali bahwa harga dirinya tengah terluka, tapi itu sangat

sepadan dengan apa yang dia perbuat pada kami. Situasi kemudian semakin


memanas saat Iqbal tiba-tiba saja mengambil langkah untuk mendekatiku. Dia

mengulurkan tangannya, seakan hendak menyerang tanpa ragu. Pucuk dicinta ulam

pun tiba, sebelum jemari-jemari kotor itu menyentuh kulitku, sosok Atuk datang

menghentikan tindakan yang hendak di lakukan olehnya. “Ada apa ni?!” Tanya

Atukku dengan nada yang tegas. Seketika itu juga, Iqbal beserta dua temannya

melarikan diri dari hadapan kami. Mereka seperti ketakutan akan kehadiran Atuk

yang sudah dikenal luas karena memiliki watak keras terhadap anak-anak yang

kurang tata krama. Tapi aku benar-benar bersyukur karena kedatangannya. Atuk

seperti sudah menyelamatkan kami.

Sembari menyaksikan kepergian tiga anak-anak nakal tadi, samar-samar

aku mendengar Atuk mengatakan sesuatu. “Pucuk rebung jangan dibiar, nanti

keras tak bisa ditekuk. Anak kecil jangan dibiar, nanti besar susah diajak elok.”

Setelah mengatakan itu, Atuk menatapku dengan satu garis senyuman tipis di

bibirnya. “Lain kali kalau mereka datang buat ganggu kalian lagi, lari ke rumah dan

panggil Atuk. Anak-anak macam mereka tak akan berubah sifatnya kalau bukan

orang dewasa yang kasih nasehat.”

Alya temanku, lalu menimpali, “tapi, Tuk, waktu Iqbal dinasihati sama

Ibunya Alya, Iqbal tetap ganggu kita. Terus juga, waktu kita aduin Iqbal ke Papanya,

malah kita yang kena marah. Katanya kita yang gangguin Iqbal, dan padahal

engga.”

Setelah mendengarkan perkataan Alya, Atuk tampak menghela nafas

sembari menggelengkan kepala. Aku bisa melihat sekilas akan raut wajah

khawatirnya yang tercipta samar kala dia mengatakan, “kalau sudah begitu, agak


susah untuk ubah tabiat orang macam tu. Semua perangai yang dilakukan anak-

anak macam kalian, pasti akan selalu mencontoh dari orang yang sudah dewasa.


Baik itu jahat atau pun yang buruk.” Sejenak Atuk berhenti untuk memperlihatkan

beberapa batang rebung muda yang dia bawa dari kebun belakang rumah. Setelah

itu Atuk kembali melanjutkan, “macam rebung yang Atuk bawa ni, dalam budaya


kita, pucuk rebung di ibaratkan sebagai anak-anak yang masih bisa di didik oleh

orang tua. Diberi ajaran, nasehat, contoh yang baik. Supaya anak itu bisa berguna

dan tumbuh jadi manusia yang tahu adat, tahu malu, dan tahu hormat. Kalau rebung

ni tak dijaga, dibiarkan tumbuh sesuka hati, nanti jadinya bambu yang liat dan susah

dipakai,” ucap Atuk sembari membersihkan kotoran yang menempel di rebung.

“Sama juga macam anak-anak. Kalau kecil tak diajar baik, besar nanti susah

dinasihati. Tabiat pun jadi buruk. Ya, macam teman kalian yang satu tu, si Iqbal.

Atuk menyayangkan sikap orang tuanya yang tak ambil berat tentang didikan anak.

Entah macam mana nasib dia di masa depan.”

Aku terdiam sembari memikirkan perkataan Atuk. Semua yang dia ucapkan

ada benarnya juga, anak-anak seperti kami akan bersikap baik jika diberikan

didikan yang baik pula. Beda halnya dengan Iqbal yang tumbuh kembang dengan

ajaran manja, orang tua yang tak acuh dan selalu bersikap seenaknya. Tapi disisi

lain, aku sangat bersyukur akan didikan Ayah dan Bunda yang selalu

mengajarkanku tentang pentingnya kesopanan, rasa menghormati orang lain, dan

bagaimana menjadi pribadi yang bisa diandalkan. Tak hanya itu, ajaran tentang

menahan diri untuk bersikap tenang dalam menghadapi situasi yang rumit pun juga

menjadi acuanku untuk tidak meladeni ucapan pedas Iqbal. Apalagi itu tentang

kebiasaan membaca buku kami yang di anggap sudah ketinggalan zaman olehnya.

Aku mensyukuri itu, karena sudah menjadi rebung yang di rawat dan dibentuk

dengan sedemikian baik. Kejadian hari ini sudah menjadi pelajaran bagiku dan

untuk generasi dimasa depan nanti.

“Anak-anak dah, mari makan. Berhenti dulu baca buku tu, Nenek dah masak

gulai rebung dirumah.” Jadilah hari ini berakhir dengan didikan penuh hikmah dari

Atuk. Tak hanya itu, perut kami pun juga mendapatkan kesenangan karena gulai

rebung milik Nenek yang lezatnya tiada tandingan.

~TAMAT~

Posting Komentar

0 Komentar