Satu Tangan Pewaris Mengudara Ikuti Bayangan Cindaku - Fauziah Yenika Putri

 


Tema cerpen: “Menggali Jejak, Merangkai Kata: Sastra sebagai Cermin Budaya

dan Identitas Bangsa”


Satu Tangan Pewaris Mengudara Ikuti Bayangan Cindaku


Kukuruyuk...kukuruyuk... Bunyi ayam jantan memecah kesunyian pagi di desa

Sungai Liuk, di kaki gunung kerinci. Saat itu, sang surya masih malu-malu untuk

tampil dimuka bumi, sementara kabut lembut dengan berani menyelimuti bumi.

Suara air beriak bak simfoni yang mengalun syahdu diiringi nyanyian burung murai

batu. Daun- daun terlihat menari akibat angin yang berlari. Tok...tok...tok...Suara

gesekan ranting pohon yang sudah mati mengetuk jendela rumah tua yang

berpenghuni. Tampak dari balik jendela seorang nenek tua yang dianggap sesepuh

di desa tersebut sedang menjahit tas lusuh penuh robekan. Nek Asih, biasa orang

memanggilnya. Nek Asih menjadi satu-satunya tokoh masyarakat yang masih

melestarikan budaya di daerah tersebut. “Nek... tas sekolahku dimana?” Tanya

seorang anak bertubuh kecil yang hanya memiliki satu tangan. Anak itu bernama

Raka, saat masih bayi ia ditemukan oleh Nek Asih di tengah hutan bersama peti

misterius. Nek Asih merawat Raka dan sangat menyayanginya, meskipun dunia

sekitar sering mencemooh dan menghina Raka karena kekurangannya.

“Uhuk...uhuk... Raka disini tas mu nak” Jawab Nek Asih. “ Mengapa tas mu bisa

robek-robek begini nak?” sambung Nek Asih. “ Tas Raka sudah lama, wajar jika

rapuh dan robek Nek” jawab Raka. Seolah katanya tersebut mengandung pesan.

“Baiklah Nek, Raka pergi sekolah dulu, doakan Raka bisa sukses menuntut ilmunya

ya Nek”, “ Iya , nenek selalu mendoakan kamu nak” ujar Nek Asih. Raka pun pergi

ke sekolah dengan berjalan kaki melewati sebuah sungai yang dijembatani oleh

kayu pohon yang sudah tumbang. Ia benar-benar anak yang tangguh, meski dengan

kekurangannya, ia tetap semangat untuk menuntut ilmu. Di sepanjang perjalanan

menuju sekolah, Raka sangat bahagia, ia disambut dengan bunga-bunga yang


bermekaran dan kupu-kupu yang beterbangan disekelilingnya. Singkat cerita, Raka

pun sampai di sekolah. Seperti biasanya, baru menginjakkan kaki di pagar sekolah,

Raka sudah dihina oleh teman-temannya. Baginya hinaan sudah menjadi makanan

sehari-hari, sehingga ia tidak merespon dan langsung masuk ke kelas. Di kelas,

Raka mempunyai dua sahabat yang sangat baik padanya, mereka adalah Rina dan

Anjung. Seperti biasa Raka belajar dengan sangat serius.

Sepulang sekolah, Raka menyaksikan semua teman-temannya di jemput oleh

ibu dan ayahnya. “ Ayah... aku ingin pergi ke taman bermain”, “Ibu, aku mau es

krim itu”, ujar beberapa anak di luar pagar sekolah. “Iya sayang... ayo kita pergi

sekarang”, “ Beli es krim sepuas kamu ya Nak”, ucap orang tua mereka. Sontak

Raka yang menyaksikan itu, merasakan kerinduan yang mendalam kepada sosok

yang disebut orang tua. Ia berlari pulang sambil menangis. Sesampainya di rumah,

ia tak bercerita kepada neneknya, ia langsung masuk ke kamar dan menuangkan

semua perasaannya di buku hariannya. Beragam coretan yang ia hasilkan dengan

satu tangannya, semuanya terlihat abstrak namun bermakna dalam. Setelah

menuangkan isi hatinya, ia selalu tertidur dan bermimpi sosok bayangan misterius

yang entah apa itu. Nek Asih yang meski tidak pernah diberi tahu, sebenarnya

mengerti keadaan Raka. Setiap Raka ke kamar, Nek Asih selalu melihat dari balik

tirai kamarnya.

Di hari itu, Nek Asih mengingat sebuah peti misterius yang selalu ia simpan sejak

menemukannya bersama dengan Raka di hutan. Sebenarnya Nek Asih sudah pernah

membukanya, peti itu berisi sebuah kertas kuno yang berlukiskan sosok hitam

bermisai. Sejak Nek Asih membukanya, ia selalu mencari tahu sosok apakah itu.

Hingga di hari itu, Nek Asih masuk ke gudang dan mengambil peti itu. Peti tersebut

tampak sudah tua dan penuh dengan debu. Nek Asih, dengan tangan keriputnya

menyeka tutup peti itu. Benar saja, Nek Asih menemukan kertas kuno berwarna

kuning bernoda yang berlukiskan sosok hitam berrmisai itu. Kemudian Nek Asih

mengingat, dahulu ada cerita di tanah Kerinci yang konon ada seorang Datuk

Cindaku yaitu makhluk yang dapat berubah wujud menjadi manusia setengah


harimau. Ia dipercayai sebagai penjaga gunung Kerinci yang memiliki kekuatan

magis. Konon katanya, cindaku itu adalah jelmaan manusia yang bernama Tingkas.

Nek Asih masih sangat mengingat legenda-legenda bahkan masih menyimpan

peninggalan leluhur yang ia terus lestarikan.

Suatu hari, Raka sedang bermain bersama Rina dan Anjung, dua orang

sahabatnya yang menerima dan memperlakukan Raka dengan sangat baik. Sore itu

di lapangan pinggir hutan, mereka bermain bola bersama. Awalnya mereka sangat

asik bermain hingga giliran Rina menendang bola, ia meleset dan membuat bolanya

masuk ke arah hutan. Mereka saling tatap-tapapan. Tak berselang lama, Raka

mengajak temannya untuk ikut mengambil bola tersebut, namun Anjung

menyanggah. “Jangan masuk hutan itu Raka, hari sudah petang, kata ibuku jika kita

masuk hutan saat petang, sosok misterius akan menculik kita dan kita tidak dapat

kembali lagi”. Meskipun sudah diperingatkan oleh Anjung, Raka tetap kekeh

masuk hutan itu dan mencari bolanya. Entah dari mana, seekor kupu-kupu tiba-tiba

datang menghampiri Raka, kupu-kupu itu sangat cantik sehingga Raka lupa kalau

ia masuk ke hutan itu untuk mencari bola. Raka mengikuti kemana kupu-kupu itu

terbang, hingga kupu-kupu itu mengudara tinggi dan Raka baru sadar jika ia sudah

terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Ia sangat ketakutan, “Nek... Rina...Anjung....”

Teriaknya. Namun hal itu sia-sia, tidak ada yang mendengarnya.

Ditengah isak tangis Raka, ia sejenak tertegun melihat bayangan sosok bermisai.

Ia sangat terkejut, bukan karena takut di makan, tetapi karena sosok misterius itu

sama persis dengan sosok yang ada di mimpi Raka. Tak berselang lama, Raka

pingsan. Rina dan Anjung yang melihat Raka masuk hutan, langsung berlari ke

rumah tua Nek Asih, Nek Asih terkejut dan mengikuti mereka berdua ke hutan

tempat Raka masuk tadi. Singkat cerita, Nek Asih sudah menemukan Raka yang

pingsan dan membawanya ke rumah. Di rumah, Nek Asih membaringkan Raka ke


kasur. Tidak lama kamudian Raka pun sadar dan langsung saja napasnya tersengal-

sengal. Nek Asih mencoba menenangkan Raka, lalu tidak lama setelah Raka


tenang, ia menceritakan semua yang ia lihat tadi di hutan. Mendengar hal itu, Nek


Asih menenangkan Raka dan menceritakan bahwa yang ia lihat tadi adalah sosok

yang dikenal sebagai Cindaku yaitu manusia setengah harimau. Nek Asih

menceritakan semua asal-usul Cindaku tersebut dan mulai mengajarkan Raka satu

persatu tentang sejarah, penemuan seperti kitab kuno, dan barang-barang lainnya

yang menjadi budaya yang harus di lestarikan di desa tersebut. Raka mulai tertarik


akan hal yang berbau dengan budaya dan sastra seperti membuat puisi, pepatah-

petitih, pantang larang dan kata- kata indah yang berisi perasaannya setiap hari.


Suatu ketika, ada seorang penulis dari kota besar yang sangat terkenal datang ke

desa Sungai Liuk. Ia tak sengaja menemukan sebuah buku catatan usang yang berisi

sastra yang indah. Penulis itu kemudian mencari tahu siapa pemiliknya, singkat

cerita,penulis itu tahu pemilik buku itu ialah Raka. Penulis itu mendatangi raka lalu

berkata “ kita akan selalu dipertemukan dengan seseorang dihidup kita, entah kita

yang mendapatkan pelajaran dari orang itu atau orang yang akan mendapatkan

pelajaran dari kita”.Penulis itu sangat tertarik dengan kisah hidupnya Raka dan

berniat membuat buku tentangnya. Ternyata Raka yang dulunya dihina kini

namanya mengudara tinggi.

Posting Komentar

0 Komentar