Tema cerpen: “Menggali Jejak, Merangkai Kata: Sastra sebagai Cermin Budaya
dan Identitas Bangsa”
Satu Tangan Pewaris Mengudara Ikuti Bayangan Cindaku
Kukuruyuk...kukuruyuk... Bunyi ayam jantan memecah kesunyian pagi di desa
Sungai Liuk, di kaki gunung kerinci. Saat itu, sang surya masih malu-malu untuk
tampil dimuka bumi, sementara kabut lembut dengan berani menyelimuti bumi.
Suara air beriak bak simfoni yang mengalun syahdu diiringi nyanyian burung murai
batu. Daun- daun terlihat menari akibat angin yang berlari. Tok...tok...tok...Suara
gesekan ranting pohon yang sudah mati mengetuk jendela rumah tua yang
berpenghuni. Tampak dari balik jendela seorang nenek tua yang dianggap sesepuh
di desa tersebut sedang menjahit tas lusuh penuh robekan. Nek Asih, biasa orang
memanggilnya. Nek Asih menjadi satu-satunya tokoh masyarakat yang masih
melestarikan budaya di daerah tersebut. “Nek... tas sekolahku dimana?” Tanya
seorang anak bertubuh kecil yang hanya memiliki satu tangan. Anak itu bernama
Raka, saat masih bayi ia ditemukan oleh Nek Asih di tengah hutan bersama peti
misterius. Nek Asih merawat Raka dan sangat menyayanginya, meskipun dunia
sekitar sering mencemooh dan menghina Raka karena kekurangannya.
“Uhuk...uhuk... Raka disini tas mu nak” Jawab Nek Asih. “ Mengapa tas mu bisa
robek-robek begini nak?” sambung Nek Asih. “ Tas Raka sudah lama, wajar jika
rapuh dan robek Nek” jawab Raka. Seolah katanya tersebut mengandung pesan.
“Baiklah Nek, Raka pergi sekolah dulu, doakan Raka bisa sukses menuntut ilmunya
ya Nek”, “ Iya , nenek selalu mendoakan kamu nak” ujar Nek Asih. Raka pun pergi
ke sekolah dengan berjalan kaki melewati sebuah sungai yang dijembatani oleh
kayu pohon yang sudah tumbang. Ia benar-benar anak yang tangguh, meski dengan
kekurangannya, ia tetap semangat untuk menuntut ilmu. Di sepanjang perjalanan
menuju sekolah, Raka sangat bahagia, ia disambut dengan bunga-bunga yang
bermekaran dan kupu-kupu yang beterbangan disekelilingnya. Singkat cerita, Raka
pun sampai di sekolah. Seperti biasanya, baru menginjakkan kaki di pagar sekolah,
Raka sudah dihina oleh teman-temannya. Baginya hinaan sudah menjadi makanan
sehari-hari, sehingga ia tidak merespon dan langsung masuk ke kelas. Di kelas,
Raka mempunyai dua sahabat yang sangat baik padanya, mereka adalah Rina dan
Anjung. Seperti biasa Raka belajar dengan sangat serius.
Sepulang sekolah, Raka menyaksikan semua teman-temannya di jemput oleh
ibu dan ayahnya. “ Ayah... aku ingin pergi ke taman bermain”, “Ibu, aku mau es
krim itu”, ujar beberapa anak di luar pagar sekolah. “Iya sayang... ayo kita pergi
sekarang”, “ Beli es krim sepuas kamu ya Nak”, ucap orang tua mereka. Sontak
Raka yang menyaksikan itu, merasakan kerinduan yang mendalam kepada sosok
yang disebut orang tua. Ia berlari pulang sambil menangis. Sesampainya di rumah,
ia tak bercerita kepada neneknya, ia langsung masuk ke kamar dan menuangkan
semua perasaannya di buku hariannya. Beragam coretan yang ia hasilkan dengan
satu tangannya, semuanya terlihat abstrak namun bermakna dalam. Setelah
menuangkan isi hatinya, ia selalu tertidur dan bermimpi sosok bayangan misterius
yang entah apa itu. Nek Asih yang meski tidak pernah diberi tahu, sebenarnya
mengerti keadaan Raka. Setiap Raka ke kamar, Nek Asih selalu melihat dari balik
tirai kamarnya.
Di hari itu, Nek Asih mengingat sebuah peti misterius yang selalu ia simpan sejak
menemukannya bersama dengan Raka di hutan. Sebenarnya Nek Asih sudah pernah
membukanya, peti itu berisi sebuah kertas kuno yang berlukiskan sosok hitam
bermisai. Sejak Nek Asih membukanya, ia selalu mencari tahu sosok apakah itu.
Hingga di hari itu, Nek Asih masuk ke gudang dan mengambil peti itu. Peti tersebut
tampak sudah tua dan penuh dengan debu. Nek Asih, dengan tangan keriputnya
menyeka tutup peti itu. Benar saja, Nek Asih menemukan kertas kuno berwarna
kuning bernoda yang berlukiskan sosok hitam berrmisai itu. Kemudian Nek Asih
mengingat, dahulu ada cerita di tanah Kerinci yang konon ada seorang Datuk
Cindaku yaitu makhluk yang dapat berubah wujud menjadi manusia setengah
harimau. Ia dipercayai sebagai penjaga gunung Kerinci yang memiliki kekuatan
magis. Konon katanya, cindaku itu adalah jelmaan manusia yang bernama Tingkas.
Nek Asih masih sangat mengingat legenda-legenda bahkan masih menyimpan
peninggalan leluhur yang ia terus lestarikan.
Suatu hari, Raka sedang bermain bersama Rina dan Anjung, dua orang
sahabatnya yang menerima dan memperlakukan Raka dengan sangat baik. Sore itu
di lapangan pinggir hutan, mereka bermain bola bersama. Awalnya mereka sangat
asik bermain hingga giliran Rina menendang bola, ia meleset dan membuat bolanya
masuk ke arah hutan. Mereka saling tatap-tapapan. Tak berselang lama, Raka
mengajak temannya untuk ikut mengambil bola tersebut, namun Anjung
menyanggah. “Jangan masuk hutan itu Raka, hari sudah petang, kata ibuku jika kita
masuk hutan saat petang, sosok misterius akan menculik kita dan kita tidak dapat
kembali lagi”. Meskipun sudah diperingatkan oleh Anjung, Raka tetap kekeh
masuk hutan itu dan mencari bolanya. Entah dari mana, seekor kupu-kupu tiba-tiba
datang menghampiri Raka, kupu-kupu itu sangat cantik sehingga Raka lupa kalau
ia masuk ke hutan itu untuk mencari bola. Raka mengikuti kemana kupu-kupu itu
terbang, hingga kupu-kupu itu mengudara tinggi dan Raka baru sadar jika ia sudah
terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Ia sangat ketakutan, “Nek... Rina...Anjung....”
Teriaknya. Namun hal itu sia-sia, tidak ada yang mendengarnya.
Ditengah isak tangis Raka, ia sejenak tertegun melihat bayangan sosok bermisai.
Ia sangat terkejut, bukan karena takut di makan, tetapi karena sosok misterius itu
sama persis dengan sosok yang ada di mimpi Raka. Tak berselang lama, Raka
pingsan. Rina dan Anjung yang melihat Raka masuk hutan, langsung berlari ke
rumah tua Nek Asih, Nek Asih terkejut dan mengikuti mereka berdua ke hutan
tempat Raka masuk tadi. Singkat cerita, Nek Asih sudah menemukan Raka yang
pingsan dan membawanya ke rumah. Di rumah, Nek Asih membaringkan Raka ke
kasur. Tidak lama kamudian Raka pun sadar dan langsung saja napasnya tersengal-
sengal. Nek Asih mencoba menenangkan Raka, lalu tidak lama setelah Raka
tenang, ia menceritakan semua yang ia lihat tadi di hutan. Mendengar hal itu, Nek
Asih menenangkan Raka dan menceritakan bahwa yang ia lihat tadi adalah sosok
yang dikenal sebagai Cindaku yaitu manusia setengah harimau. Nek Asih
menceritakan semua asal-usul Cindaku tersebut dan mulai mengajarkan Raka satu
persatu tentang sejarah, penemuan seperti kitab kuno, dan barang-barang lainnya
yang menjadi budaya yang harus di lestarikan di desa tersebut. Raka mulai tertarik
akan hal yang berbau dengan budaya dan sastra seperti membuat puisi, pepatah-
petitih, pantang larang dan kata- kata indah yang berisi perasaannya setiap hari.
Suatu ketika, ada seorang penulis dari kota besar yang sangat terkenal datang ke
desa Sungai Liuk. Ia tak sengaja menemukan sebuah buku catatan usang yang berisi
sastra yang indah. Penulis itu kemudian mencari tahu siapa pemiliknya, singkat
cerita,penulis itu tahu pemilik buku itu ialah Raka. Penulis itu mendatangi raka lalu
berkata “ kita akan selalu dipertemukan dengan seseorang dihidup kita, entah kita
yang mendapatkan pelajaran dari orang itu atau orang yang akan mendapatkan
pelajaran dari kita”.Penulis itu sangat tertarik dengan kisah hidupnya Raka dan
berniat membuat buku tentangnya. Ternyata Raka yang dulunya dihina kini
namanya mengudara tinggi.
0 Komentar