Sultan Reynard Sadubi, Indonesian Creative School
Antara Langkah dan Hati
Setelah menempuh belasan jam perjalanan dari Prancis, akhirnya Mathieu
menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta. Ia menghela napas panjang, bukan
semata karena lega telah tiba dengan selamat, tapi juga karena sadar waktunya tak
banyak. Ia sedang menikmati liburan kuliahnya dengan berkeliling dunia. Akan tetapi,
liburannya hampir habis, dan ia masih ingin melihat lebih banyak sudut dunia -- atau
setidaknya, satu bagian dari Indonesia. Telah ia tetapkan jadwalnya dengan matang,
dari tujuh hari liburannya, tiga negara sudah ia kunjungi.
“Sisa dua hari lagi liburanku, besok aku akan terbang lagi,” tutur batin Mathieu.
Sambil menunggu di area pengambilan bagasi, Mathieu melihat-lihat seni batik yang
terpampang di bandara. Tak lepas-lepas tatapan matanya terhadap lukisan batik yang
meliputi dinding bandara itu. Tiba-tiba, seorang pria paruh baya tak dikenal
menyapanya.
“Hai kawan, apa kabar?” tanya pria tersebut. Ia terlihat cukup berumur, namun
memiliki postur tegap layaknya seorang pengusaha berpengalaman. Cara ia berdiri
yang percaya diri pun menunjukkan bahwa ia bukan orang sembarangan.
Mathieu pun terkejut setelah disapa orang tersebut. Di Prancis, orang-orang lebih
mementingkan kehidupannya masing-masing, oleh karena itu tak biasa baginya untuk
orang asing memulai percakapan secara tiba-tiba.
“Mungkin ini memang budaya orang Indonesia,” pikir Mathieu. “Kubaca di internet
kalau orang-orang di sini memang ramah.”
“Aku baik-baik saja, terima kasih. Ada apa?” jawab Mathieu, berusaha sopan.
“Oh tidak apa-apa, aku hanya ingin berbicara denganmu. Aku lihat kau begitu tertarik
melihat batik itu,” ujar pria tersebut dengan senyum hangat.
Sultan Reynard Sadubi, Indonesian Creative School
Mathieu tersenyum kikuk, tapi tetap menjaga sopan santunnya.
“Ah, ya. Saya sangat terkesan. Polanya sangat detail dan... artistik,” jawabnya sambil
melirik kembali ke seni batik yang terpampang itu.
Pria itu mengangguk, seolah bangga mendengar pujian itu. “Itu namanya Parang
Rusak. Motif ini sudah ada sejak zaman kerajaan. Dulu, hanya kalangan bangsawan
yang boleh memakainya.”
Mathieu mengangguk, sedikit kagum dengan penjelasan itu. “Anda tahu banyak soal
ini?”
“Saya lahir dan besar di sini, tentu saja. Namaku Surya. Maaf kalau namaku susah
untuk kau ucapkan.” Ia mengulurkan tangan, dan Mathieu menyambutnya dengan
hangat.
“Mathieu. Senang bertemu dengan Anda, Pak Surya.”
Mereka pun berbincang cukup lama -- tentang budaya, perjalanan, dan rencana-rencana
Mathieu menjelajahi Indonesia. Mathieu merasakan sesuatu yang berbeda dari
pertemuan ini. Ada kehangatan yang tak dibuat-buat dalam cara Pak Surya berbicara,
seperti ayah yang menyambut anak yang lama tak pulang.
“Kau orang yang sopan sekali, Matheiu, punya semangat belajar yang besar pula. Aku
suka orang-orang sepertimu,” ujar Pak Surya.
“Hahaha, bapak bisa saja,” tutur Mathieu, tetap menjaga sopan santunnya.
“Kalau kau sempat, datanglah ke pertunjukan seni di alun-alun kota malam ini. Akan
ada tarian tradisional. Saya yakin kau akan suka.”
“Oh ya? Baiklah kalau begitu, aku akan datang,” jawab Mathieu mantap.
Sultan Reynard Sadubi, Indonesian Creative School
Setelah cukup beristirahat di hotel, pergilah Mathieu ke alun-alun kota. Walau
matahari sudah terbenam, jalanan kota masih terang benderang. Ia melihat ke kiri dan
kanan. Berbagai produk lokal yang beragam berjejer-jejer tertata rapi menghadirkan
keindahan bagi malam itu. Namun, semakin Mathieu melihat-lihat, semakin heran pula
lah ia. Terlihat olehnya hadir orang yang berpostur tinggi, ada juga yang rendah. Pun
ia melihat orang berkulit terang, hadir pula yang gelap. Bahkan ia menyadari cara
bicara orang-orang di sana juga beragam-ragam. Namun, di antara keragaman itu,
mereka semua tersenyum bersama-sama. Karena itu, Mathieu pun turut berbahagia.
“Hebat sekali orang Indonesia, banyak sekali orang yang berbeda-beda, tapi mereka
terlihat begitu harmonis!” pikir Mathieu.
Namun, perhatian semua orang, termasuk Mathieu sendiri, sontak tersita oleh suara
lagu yang seketika menggema di antara kerumunan. Suara petikan gambus membuka
suasana dengan melodi yang cepat namun lembut, diiringi tabuhan marwas yang
berdetak, menggugah semangat.
Dari belakang panggung, terdengar suara, “Saksikanlah, tari Zapin Melayu!”
Lampu sorot mulai menyala, menyoroti beberapa sosok wanita yang perlahan
melangkah ke tengah panggung dengan anggun. Tubuh mereka dibalut kain songket
keemasan yang memikat mata. Serempak, tarian mereka persembahkan. Tiap ayunan
tangan yang halus diimbangi dengan hentakan kaki yang tegas, mengikuti alunan lagu.
Satu penari menarik perhatian Mathieu lebih dari yang lain. Ia berdiri sedikit di depan,
menonjol walau ditengah-tengah kelompok yang simetris. Gemulai namun bergelora,
gerakannya bagai kelopak bunga yang diterpa angin. Jikalau memang ia sekuntum
bunga, mestinya bunga itu berhias rona terindah. Terlihat dari wajahnya yang ekspresif,
penari itu amat menikmati pun menghayati tariannya. Tatapan mereka bertemu -- hanya
sepintas, namun cukup untuk membuat jantung Mathieu berdegup sedikit lebih cepat.
Sultan Reynard Sadubi, Indonesian Creative School
Saat lagu mencapai puncaknya, penari itu memutar tubuhnya dengan lentik, lalu
berhenti dalam pose yang dramatis. Sorak-sorai penonton memenuhi udara, namun
Mathieu masih terdiam. Ada sesuatu dalam dirinya yang mekar -- entah rasa kagum,
rasa penasaran, atau mungkin... sesuatu yang belum ia kenal.
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya menepuk pundak Mathieu. Dengan bangga ia
berkata, “Kau lihat dia? Itu putriku.”
“Pak Surya...?” gumam Mathieu, terkejut.
Pak Surya tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebanggaan. “Iya, itu Ayu. Sejak
kecil, dia memang sudah menekuni berbagai macam tari tradisional. Kali ini dia
mempersembahkan Zapin Melayu. Dia berlatih sangat keras mempelajari tarian asal
Riau itu.”
“Benarkah? Ayu hebat sekali,” ucap Mathieu dengan tulus. Matanya masih tak lepas
dari sosok Ayu yang tengah berbicara dengan teman-temannya. Setelah beberapa saat
kemudian, barulah pandangannya beralih ke pria paruh baya itu.
Seketika itulah, Pak Surya memahami betul isi hati Mathieu. Ia kembali menepuk
pundak Mathieu, kali ini dengan lebih halus, layaknya seorang ayah yang berbincang
dengan anaknya.
“Kalau kau mau, aku bisa memperkenalkan kalian,” ucap Pak Surya santai, seolah hal
itu adalah tawaran yang biasa saja.
Mathieu spontan menegakkan tubuh. “Apa... maksud Anda?”
Pak Surya tertawa pelan. “Anggap saja ini hadiah selamat datang di Nusantara.”
Wajah Mathieu seakan-akan tersambar petir.
Sultan Reynard Sadubi, Indonesian Creative School
“Hahaha, kau tahu? Belakangan, aku sudah jarang datang untuk menonton di alun-alun,
tapi malam ini, aku merasa perlu berada di sini. Kadang, ada saatnya kita merasa harus
berada di tempat yang benar. Mathieu, apakah kau juga merasa demikian?”
Pertanyaan Pak Surya menikam hati Mathieu. Ia merasa nyaman sekali berada di sana,
dan masih banyak hal yang ingin ia jelajahi di Indonesia. Namun, liburannya tersisa
dua hari lagi. Pantaskah jika ia mengiyakan pertanyaan Pak Surya? Lalu, apakah benar
ia akan mengorbankan sisa hari-hari liburnya hanya demi seorang wanita yang tak ia
kenal? Baru tersadar olehnya bahwa Pak Surya dan Ayu adalah orang-orang asing yang
baru ia kenali hari itu juga. Banyak keraguan tiba-tiba menyerbu pikiran Mathieu.
Ia teringat saat berjalan di alun-alun kota, di mana senyum-senyum hangat hadir dari
berbagai wajah asing yang tak saling mengenal. Di tengah keberagaman postur, warna
kulit, bahkan logat bicara, orang-orang di sana tetap hidup berdampingan, saling
menyapa tanpa curiga. Ada sesuatu yang hangat dan membumi dari cara mereka
menjalani hidup -- sesuatu yang belum pernah ia temukan di tempat lain. Mathieu
menyadari, ia tak hanya menikmati budaya Indonesia, tapi juga merasa diterima.
Seolah-olah tanah ini mengundangnya untuk tinggal lebih lama, menyelami maknanya
lebih dalam. Namun, waktu adalah musuh terbesarnya. Hanya tertinggal dua hari lagi,
dan keputusan harus segera diambil. Apakah ia harus tetap berjalan sesuai rencana, atau
membiarkan dirinya tenggelam dalam pesona negeri yang baru saja dikenalnya ini?
Pak Surya pun memecah keheningan, “Begini saja kawan, ini kartu namaku. Telepon
aku saat kau sudah siap menjawabku. Ingat, Bumi Pertiwi menunggumu.”
“Baik. Terima kasih atas semuanya Pak Surya,” jawab Mathieu. Ia pun menerima kartu
nama Pak Surya dengan wajah penuh ketulusan.
Keesokan paginya, dengan perasaan yang tak lagi goyah, Mathieu pun
menelepon Pak Surya, siap melangkah mengikuti kata hatinya.
0 Komentar