Tarian di Atas Kertas
Nama: Risa Aura Ramadani
Asal: SMAN 2 Mandau
Setitik air dari langit menetes jatuh ke bumi. Musim hujan telah datang. Gerimis
membungkus malam, yang terus mengguyur tanpa henti sejak kemarin. Jendela
mobil berembun, udara malam itu terasa dingin. Seorang gadis menghela nafas
panjang menenggelamkan dirinya dalam balutan baju hangatnya.
Lelaki paruh baya menoleh ke belakang, menatap sendu sang anak.
“Meautia, kamu tidak apa-apa, sayang?” tanya Ayahnya. Sejenak Ayahnya menatap
ke arah Meautia, lalu mengembangkan payung untuk segera keluar.
Aku mengangguk. Pandanganku tertuju ke luar jendela mobil. Ayah terlihat
berlari kecil sambil membawa payung ke arah bangunan indah itu—setidaknya,
dulu bagiku.
“Hoi!”
“Heee!”
“Yoo!”
Suara yang tidak asing terdengar di telingaku. Aku turunkan kaca jendela
mobil, membiarkan tempias air hujan membasahi wajahku. Kutemukan sumber
suara di ujung sana.
Lihatlah mereka,sekelompok penari Tari Saman sedang berlatih. Tak terasa,
air mataku mengalir deras, memukul dada yang sangat sesak rasanya. Berulang kali
memaki kejadian itu, kejadian yang tidak pernah terpikir olehku, kejadian yang
membuat aku kehilangan sahabatku dan mimpi-mimpiku
Ayah keluar membawa tas berisikan barang-barangku sewaktu aku masih
berlatih di sanggar ini. Di belakangnya tampak sesosok wanita yang dulunya aku
sebut pelatih. Melambaikan tangan ke arahku, sedetik sebelum aku kembali
menutup jendela mobil dan segera menghapus air mataku. Ayah tidak boleh tahu
aku menangis. Mobil kembali melaju, meninggalkan separuh jiwaku di bangunan
itu.
****
“Meautia! Tunggu aku!” Teriakan itu membuat sang pemilik nama yang dipanggil
menutup telinganya sambil terus berjalan. “ Meautia! Tunggu! Jangan tinggalkan
aku!” Meautia memutar bola matanya malas, akhirnya ia berhenti. “Cepat, Diana!
Aku tidak mau ketinggalan bus lagi, ini sudah pukul 5 sore, nanti tidak ada bus yang
lewat.” Kini gantian dia berteriak menyuruh temannya untuk segera menyusul.
Diana terengah-engah berlari mengejar Meautia yang raut wajahnya tidak merasa
bersalah karena meninggalkan temannya. “Kamu jalan apa lari? Aku sangat lelah
mengejarmu. Aku tadi lama karena membantu pelatih membersihkan ruangan
sanggar yang kalian tinggalkan begitu saja. Untung aku baik, tidak aku paksa kamu
membantuku, kalau tidak kamu pasti sudah merengek karena lelah.” Meautia
tersenyum karena penjelasan Diana. “Kenapa tersenyum?” Diana mengernyitkan
dahinya. “Tidak apa, kamu memang sahabat terbaik, tahu saja aku malas
membersihkan sanggar, ruangannya besar sih, kamu pasti lelah, bukan?” Tanya
Meautia yang membuat Diana bergidik geli.
Mereka berjalan sambil bercerita tentang latihan hari ini.
“ Terima kasih ya Meautia.”
“Kenapa tiba-tiba? Ada apa?”
“Tidak mengapa, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah
memperkenalkanku dengan Tari Saman ini. Sampai kapanpun kita harus menjadi
sahabat dan mewujudkan mimpi kita menjadi penari Tari Saman yang hebat”
Senyum mereka mengembang, saling menautkan jari kelingking satu sama lain.
Mimpi yang indah bukan? Setidaknya beberapa menit yang lalu. Karena di detik
ini sebuah bus yang kehilangan kendali menuju lepas ke arah mereka.
Tabrakan terjadi. Janji mereka telah ikut bersamaan dengan hembusan terakhir
Diana. Meautia berusaha menggapai tangan Diana. Namun, yang dituju sudah
terbujur kaku. Tidurlah dalam damai, Diana.
****
Di ruangan 3×4, cahaya redup seperti menusuk kulit. Meautia yang duduk di kursi
roda menatap ke arah cermin di depannya. Ia sudah lelah dengan menangisi
nasibnya setiap hari. Akibat tabrakan itu, salah satu kakinya harus diamputasi
karena cedera yang cukup parah. Menjadi penari? Ahh, hanya mimpi semata.
Ia memutar roda, mendekat ke meja belajarnya. Membuka benda pipih berwarna
biru muda. Matanya berkaca-kaca, sulit melanjutkan ke halaman selanjutnya. Di
halaman pertama tertulis:
“Saman bukan hanya sekedar tarian, namun hidup seorang penarinya dan bahasa
cinta untuk tanah kelahiran.”
Tubuhnya bergetar, tangannya meraih pena. Entah dorongan darimana jarinya
mulai menari, namun kali ini bukan menari menggunakan kaki, akan tetapi
menggunakan kata-kata. Meautia berusaha mengingat apa apa saja yang sudah
diajarkan pelatihnya dulu.
Ia menggoreskan tinta, dimulai dengan kalimat, “Apa itu Tari Saman?” Satu
kalimat sebagai pembuka. Kalimat itu terus berlanjut hingga bertahun-tahun
kemudian.
Buku tersebut sudah penuh dengan tulisannya dan cintanya. Mulai dari asal usul
Tari Saman, makna dalam setiap gerakannya kekuatan dan kekompakan perempuan
Aceh yang menyatu dalam hentakan. Ia menulisnya sambil membayangkan
bahagianya ketika sedang menari Tari Saman.
Pintu tiba-tiba terbuka, menampilkan Ibu yang membawa susu dan obatnya. Ibu
tertegun, melihat Meautia sudah punya kesibukan lain—selain berdiam diri. Ibu
langsung memeluk Meautia, dan berkata, “Tia, memang kamu tidak bisa menari
seperti dulu lagi, namun dengan tulisanmu ini, bisa mengantarkan puluhan bahkan
ratusan manusia di luar sana untuk bisa menjadi penari Tari Saman, sayang.”
Sesaat ia terdiam, lalu kemudian ia sadar. Yang ia tulis sedari tadi adalah sebahagian
dari hidupnya. Ia membalas pelukan ibunya dengan erat. Ibu benar, aku memang
tidak bisa lagi untuk menari di atas kaki ini, akan tetapi lewat tulisan ini, aku bisa
menciptakan panggung baru untuk siapapun, batin Meautia.
Tempat dimana budaya tidak akan pernah mati.
Tempat dimana budaya akan terus terkenang.
Bertahun-tahun kemudian, Meautia menjadi seorang penulis dengan karyanya
tentang Tari Saman. Ia dan kursi rodanya sebagai saksi bisu atas segala
perjuangannya selama ini. Hari itu, Meautia mengunjungi sanggar tempatnya dulu
berlatih. Pelatihnya menghampiri Meautia, lalu berkata. “ Saya bangga denganmu,
Tia. Saya yakin Diana juga bangga denganmu di atas sana.”
Lewat tinta dan kenangan, Meautia membuktikan. Bahwa kehilangan satu kaki
bukan menjadi penghalang untuk membuat budaya tetap berdiri.
0 Komentar