BAHASA RIMBA
“AH, ANJINGLAH!” katanya, dengan lantang. Semua mata otomatis menyorot padanya duduk di posisi paling pojok, seekor anjing.
“Begitu ‘kan, manusia kalau lagi marah?” Anjing itu melanjutkan. “Dikit-dikit anjing, apa-apa anjing. Aku sebagai yang anjing beneran tersinggung banget. Mereka selalu menggunakan nama aku buat perkara buruk. Teman minjam uang tapi gak dikembalikan, teman anjing. Main game terus kalah, game anjing. Kena tipu pinjol, pinjol anjing. Semua yang jelek dan hina, dibilang anjing. Sumpah, aku gak terima!”
“Sa–sabar dong, Anjing,” kata Gajah di meja paling depan. Sore itu sedang ada konferensi besar di rimba. Hewan-hewan berkumpul di sana.
“Gimana mau sabar? Nama aku tu jadi top-tier kata caci maki di mulut manusia. Padahal aku hewan setia, pelindung, penjaga, cerdas, lucu, dan tegas. Kami kaum anjing gak pernah mengkhianati anjing lain, kenapa teman makan teman dibilang anjing?”
Gajah mencatat di meja. Di sebelahnya ada Sang Raja Hutan, Harimau. Konferensi sore itu mengumpulkan banyak sekali penghuni rimba. Dipimpin oleh Harimau dan dinotulensikan oleh Gajah. Mereka membahas kekecewaan mereka pada manusia. Semua berawal saat seekor ayam menemui Raja Hutan. Ayam itu menyampaikan rasa kecewa pada manusia sebab dirinya selalu digunakan untuk melambangkan sesuatu yang negatif. Tulisan tangan yang jelek disebut ceker ayam. Orang yang berjalan tanpa alas kaki disebut kaki ayam. Tim olahraga yang main jelek dan kalah disebut ayam sayur. Orang yang dipermainkan disebut “diayam-ayamin”.
Perempuan kuliah yang nakal disebut ayam kampus. Semua yang buruk-buruk selalu pakai kata ayam. Hal itu membuatnya sedih dan kecewa. Mendengar hal tersebut, Harimau memutuskan untuk memanggil seluruh penghuni rimba untuk mengadakan konferensi di ruang terbuka. Agar apabila ada lagi yang punya kekecewaan, masing-masing dapat mengemukakan keluh-kesahnya. Ternyata oh ternyata, hampir semua penghuni datang dengan antusias dan membawa kekesalan yang sama. Mereka sudah menunggu lama untuk menumpahkan kekesalan itu. Selama ini mereka juga diperlakukan sama, namanya dipakai untuk hal buruk oleh manusia. Paling hanya serigala, kancil, atau merpati yang biasa-biasa saja karena punya citra baik di mata manusia. Yang lain, semuanya kesal mati pada manusia. Maka demikianlah sore itu, ruang terbuka tampak cerah berawan. Namun, diisi ketegangan dari masing-masing peserta yang hadir karena membawa kekesalan. Riuh-riuh terdengar di udara, bisik-bisik menimpali desis angin.
“Saya juga izin bicara, Pimpinan,” kata Tikus. Ia mulai berdiri dari tempat duduknya.
“Silakan!”
“Manusia suka menyamakan aku dengan koruptor!” katanya. “Ini tidak bisa diterima.
Mereka mengalamatkan kelakuan bejat mereka pada kaumku, itu sungguh penghinaan. Aku tahu kami hewan pengerat yang biasa menggerogoti benda keras, tapi kami tidak pernah mengoplos minyak, menggelapkan anggaran pembangunan, menyelewengkan dana haji, menilep uang bansos, apalagi mengubah konstitusi. Jijik sekali kelakuan mereka. Mereka bilang itu tikus berdasi di kantor? Itu semua kelakuan manusia, bukan tikus.”
Gajah mencatat dengan saksama. “Ada lagi?”
“Aku juga,” kata Buaya. “Mereka selalu bilang lelaki tukang selingkuh itu buaya, padahal aku hewan paling setia dengan pasangan. Fitnah banget mereka itu!” Dari dahan pohon, seekor monyet bergelantung terbalik. Berkata, “Aku juga mau angkat bicara. Tidak banyak, aku selalu dijadikan ejekan untuk muka jelek. Itu saja sih. Sialan mereka. Padahal sebagai primata, aku itu yang paling mirip dengan mereka. Memang gak tau diri!”
“Memang iya,” kata Ular, di dasar tanah ia menimpali sambil melata. “Aku juga dijadikan simbol pengkhianat. Terus, lambang cewek yang suka selingkuh atau pemain.”
“Emang iya ya?” tanya Buaya.
“Iya, liat aja emoticon yang mereka pakai kalau bicara tentang perselingkuhan. Kalau bukan kamu, Buaya, ya aku,” jawab Ular. Ekspresinya tampak muak.
“Manusia memang tidak tahu diri,” kata Babi. "Aku rasa aku yang paling hina di mata mereka. Hanya karena aku berkubang lumpur, padahal mereka berkubang dengan kebohongan dan kepalsuan. Kemarin ada yang memenggal kepala teman kami untuk aksi teror. Sial betul. Aku akui kami hewan kotor dan hina, tapi manusia ... mereka lebih babi dari babi.”
“Tenang, tenang,” kata Harimau. Ia mencoba melerai keributan sementara. Menyorot para seluruh peserta yang hadir. Ada kucing, kambing, musang, serigala, kancil, dan juga kerbau. Masih banyak lagi, tapi yang lain tampak masih menyimak saja. Suasana sudah panas sejak awal. Masing-masing berebut untuk meluapkan kemarahannya.
“Izin bertanya yang mulia,” sela Kancil.
“Iya, Kancil?” jawab Harimau.
“Memangnya kita berharap apa sih? Ini semua apa tujuannya coba? Sejujurnya, saya skeptis dengan konferensi ini. Nantinya apa? Kalian kira manusia akan mendengarkan pendapat kita?”
“Harusnya begitu, mereka ‘kan makhluk paling sempurna di kerajaan Animalia ini, masa tidak bisa?” ujar Anjing.
“Benar sekali,” timpal suara yang tiba-tiba muncul dari atas dahan. Semua memandang ke sana. Tupai rupanya. Sejenak perhatian tertuju padanya. Ia bergerak lincah dari dahan satu ke dahan sebelahnya, kemudian melompat ke meja depan, kemudian ke meja dekat Anjing, lantas ke barisan pinggir dekat meja Si Tikus. Tapi nasib, di lompatan terakhir ia jatuh terpeleset. Lekas ia kembali berdiri, kemudian duduk di dekat Tikus.
“Jatuh juga ya rupanya,” celetuk Tikus.
“Ya ‘kan aku Tupai,” jawab Tupai itu sambil tertawa tipis. Ia berdeham tipis kemudian melanjutkan, "Begini teman-teman, dan juga kancil. Aku mengerti maksudmu Kancil, tapi konferensi ini penting untuk menyampaikan suara kita kepada bangsa manusia."
“Kenapa?” tantang Kancil.
“Begini, bahasa adalah identitas suatu bangsa. Benar?” kata Tupai.
“Benar.”
“Jejak sejarah sekaligus warisan dalam bahasa ... adalah sastra, dan itu milik siapa?”
“MANUSIA!”
“Benar,” Tupai tersenyum puas. “Kalau digali lebih dalam jejak ini, rangkaian kata adalah identitas bangsa manusia. Bagaimana mungkin mereka mengaku bangsa yang bermartabat, kalau bahasa mereka kotor dan tercela? Sudah begitu, yang tercela dialamatkan pada kita. Bukankah itu tidak adil?”
“Aku juga tahu,” jawab Kancil cepat. “Maksudku, memangnya mereka peduli pada kita?”
“Harusnya,” jawab Tupai. “Mungkin kenaifan mereka tetap jadi ciri khas yang tak bisa hilang, tapi setidaknya mereka berhenti mengotori nama-nama kita dengan kelakuan bejat mereka.”
“Benar kata Tupai,” tambah Anjing. “Bangsa kita juga punya identitas. Lalu mereka seenaknya pakai identitas kita untuk makna jelek dan hina, terus identitas mereka apa? Mereka gak ngaca apa? Mereka punya cermin gak sih?”
“Katanya sih cerminnya budaya,” celetuk Tupai.
“Budaya?” Anjing terkekeh. “Budaya apa? Budaya ngerendahin orang lain pakai nama binatang padahal kelakuan mereka yang lebih rendah dari binatang?”
Ruang konferensi bergemuruh, peserta bersorak sorai.
“Sudahlah, semua ini sia-sia. Kalian tak akan dapat keadilan,” kata Kancil.
“Heh, Kancil, kamu jangan sembarangan ngomong ya!” sanggah Tikus. “Kamu mah enak, citra kamu bagus. Hewan cerdik, pintar, dan dikagumi.”
“Eh, dikagumi dari mananya?” bantah Kancil lekas.
“Aku malah dibilang nakal dan pencuri asal kalian tahu. Cerdik sih cerdik, tapi mereka suka fitnah aku pencuri timun Pak Tani.”
“Tapi emang bener, ‘kan?”
“Sekali doang kok, hehe—HEY, BUKAN ITU POINNYA!” seru Kancil.
“Maksud aku gini, konferensi ini 'kan—” Tiba-tiba suara kancil hilang. Ia terkejut dan berhenti bicara. Wajahnya tampak kebingungan. Mulutnya bergerak tapi tak terdengar apa-apa.
“Ini siapa yang matiin mic?” celetuk Tikus.
“Gak tau ya, aku bukan manusia!” sahut Monyet di tempatnya. Ia mengangkat kedua tangan seperti sedang ditodong, gestur menyangkal tuduhan.
“Aduh, parah ini,” kelakar Anjing yang melihat Kancil masih kebingungan.
“Hey, tolong dong jangan ada pembungkaman gini, kita konferensi terbuka lho ini. Di ruang rimba terbuka lho, bukan rapat tertutup diam-diam di hotel.”
Sejenak peserta konferensi tertawa ringan. Tak lama setelah bersusah payah mengembalikan suara, Kancil berdeham dan terbatuk. Segera setelah itu barulah suaranya muncul kembali. Ia melanjutkan, “Begini, kita bermusyawarah di sini untuk mengumpulkan pendapat dan nanti disampaikan Sang Raja kepada mereka. Agar mereka manusia-manusia ini, berhenti menggunakan nama kita untuk hal buruk. Tapi apakah kalian yakin akan didengar dan diindahkan, hah? Manusia itu ya, asal kalian tahu, pendapat sesama mereka saja tidak dihargai.”
Rimba langsung hening. Tidak ada yang bisa menjawab. Sorot mata menajam. Biar bagaimana pun, Kancil ada benarnya. Semuanya terdiam. Gajah pun menghela napas.
“Tapi, Kancil, setidak-tidaknya kita ada usaha.” Harimau berucap tegas penuh wibawa, menengahi situasi yang menegang.
“Iya, benar.”
“Betul.”
“Rakk ... Iya, benar,” kata Gagak. “Aku capek jadi lambang sial.”
Seru-seruan bersahut-sahutan sehingga riuh makin ramai di ruang terbuka itu.
***
Tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah hari konferensi itu. Sebab, bukannya mendapat keadilan, tahu-tahu warga rimba malah kehilangan rimba perkasa mereka. Tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah Sang Raja pergi menemui manusia. Harimau yang buas itu tak pernah terdengar lagi aumannya. Yang mereka dengar hanyalah raum bulldozer dan gemuruh pohon tumbang di rimba mereka. Dalam kurun seminggu, alat berat meratakan tempat itu dengan mudah, termasuk ruang konferensi kemarin. Sekarang lahan rimba jadi terbuka lebar tanpa satu pun pohon besar—yang dulu digelayuti monyet—tersisa. Sebagian batang kayu diangkut entah mau dibawa ke mana, sebagian lagi dibakar habis hingga udara dipenuhi asap tebal.
Berbulan-bulan setelahnya, bibit sawit mulai ditanami di sana. Rimba raya itu bertukar rupa menjadi berhektar-hektar kebun sawit baru. Hanya untuk terendam banjir dan tampak menjadi danau luas setelah curah hujan tinggi mengguyur tanpa henti. Bibit sawit mati, air pun terus naik tanpa ada serapan sebab pohon kayu sudah mati. Penghuni rimba? Hilang tercerai berai, mengungsi entah ke mana. Syukur-syukur kalau hidup, sebagian besarnya mati tanpa jejak.
Di pinggir sisa rimba, Kancil berdiri sendirian. Bergumam, “Aku sudah bilang, ‘kan? Kalian tidak dengarkan aku. Cermin identitas apanya? Mereka hanya bermanis mulut. Kata-kata manis memang racun paling maut milik mereka. Manusia serakah itu. Matilah kalian terendam banjir!”
0 Komentar