Sastra dari Masa Depan - Luthfiah Rima Hayati

 


Sastra dari Masa Depan

Oleh: Luthfiah Rima Hayati

Pintu tua itu diketuk oleh seseorang. Gika yang sedang sibuk dengan

pekerjaan rumahnya pun menghentikan pekerjaannya. “Siapa pula yang mau

bertamu di waktu istirahat begini,” batinnya.

Gika dengan enggan membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu itu. Tidak

ada siapapun di halaman rumahnya. Apa hanya orang iseng? Gika sempat ingin

menutup pintu sebelum matanya mengarah ke sebuah gulungan kertas yang berada

tepat di depan kakinya. Dengan raut penasaran, Gika pun mengambil gulungan

kertas itu dan menutup pintu rumahnya kembali.

“Ibu sedang tidak ada di rumah, siapa pula yang mengirimkan surat dengan

kertas lusuh seperti ini,” ucap Gika.

Anak laki-laki itu tampak penasaran dengan isi suratnya, namun dia tidak

ingin dimarahi Ibu dengan membuka surat begitu saja tanpa sepersetujuan Ibunya.

Gika pun kembali menyelesaikan pekerjaan yang diberi oleh Ibunya, yaitu

membersihkan rumah. Anak laki-laki itu tampak cekatan membersihkan setiap

sudut rumah. Dia menyapu, mengepel, membersihkan debu, mengganti taplak

meja, dan lain sebagainya.

Gika adalah seorang anak laki-laki yang tahun ini berada di kelas 3 SMP.

Berbeda dengan anak laki-laki seumurannya yang masih sibuk bermain kesana

kemari dengan teman sebaya, Gika adalah anak laki-laki yang rajin dan menyukai

pekerjaan rumah. Baginya kebersihan adalah nomor satu. Maka tak heran rumah

kecil di sudut desa itu tampak nyaman dengan pohon mangga yang tampak rindang

mengisi sudut halamannya.

Gika hanya tinggal bersama Ibunya, Ayahnya sudah berpulang saat Gika

berumur 1 tahun. Walau begitu, Ibu Gika mampu membesarkannya dengan baik

seperti sekarang ini. Ibu Gika berjualan dipasar setiap harinya, apalagi ini hari


Minggu sudah pasti pasar sedang padat-padatnya. Gika ingin saja menyusul dan

menolong Ibunya, tetapi dia diberikan tugas untuk membersihkan rumah

dikarenakan katanya ada tamu yang akan hadir malam ini. Tentu saja dia yang

menyukai kebersihan lebih memilih untuk menetap dirumah dan membersihkan

segala sudut rumah mungil mereka.

Jika kebersihan adalah nomor satu, maka kegiatan favorit Gika yang kedua


adalah menulis. Gika berbakat dalam menuangkan imajinasinya dalam bentuk kata-

kata. Dia suka menulis apa saja yang dia inginkan. Baginya, kertas kosong seolah


tantangan yang harus diisi dengan sebuah karya seni sastra. Kecintaan pada dunia

kepenulisan juga merupakan bakat yang di dapat dari sang Ayah. Di sudut rumah

mereka terdapat perpustakaan yang berisi banyak buku peninggalan sang Ayah.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore dan Gika sudah selesai membersihkan

rumahnya. Rumah pun tampak lebih rapi saat ini. Ibunya baru akan pulang ketika

mendekati jam 6 sore. Kembali dilirknya gulungan kertas yang dari tadi menarik

perhatiannya.

“Apa tidak masalah kalau aku membuka kertas itu lebih dulu dari pada Ibu?”

tanya Gika dalam hati.

Karena rasa penasaran yang kian menjadi-jadi, Gika akhirnya mengambil

gulungan kertas itu dan segera pergi ke kamarnya yang berada di dekat dapur. Anak

itu menutup semua jendela kamarnya. Dalam keadaan kamar yang remang, Gika

membuka gulungan kertas tadi dan mulai membaca baris per baris katanya dengan

bantuan senter.

Tulisan di dalam kertas itu tampak seperti ditulis dengan tinta hitam yang

mulai pudar. Kertasnya berbau seperti kayu tua dan hujan yang mengering. Gika

membacanya perlahan.

“Untuk kamu, diriku yang selalu menyukai kebersihan. Jangan takut pada

apa yang belum kamu pahami. Bertahun-tahun setelah hari ini, kamu akan

paham mengapa menulis bisa menyelamatkan lebih dari sekadar kenangan.

Dunia tempat aku tinggal sekarang sudah berbeda. Bahasa kita hampir

dilupakan, cerita rakyat hanya jadi pajangan di toko-toko buku yang tak lagi


ada yang mengunjungi, dan manusia mulai lupa bagaimana rasanya duduk

dan mendengar dongeng dari mulut ke mulut. Tapi kamu bisa mengubah itu.

Kamu hanya harus terus menulis, Gika. Mungkin menulis tentang Ibu,

tentang pohon mangga di halaman, tentang pasar yang hiruk pikuk, atau

tentang nyamannya rumah kayu yang kau jaga. Jangan buat masa depan

merindukan masa sekarang.”

Gika terdiam. Ada getaran aneh di dadanya yang belum pernah ia rasakan

sebelumnya. Antara takut, bingung, dan penasaran. Surat itu tertulis dari Gika dan

untuk Gika.

Seketika bulu kuduknya meremang. Apa mungkin ini tulisannya sendiri? Dari

masa depan? Tapi itu konyol bukan?

Ia menatap surat itu lama, lalu menatap tangannya sendiri, seolah mencoba

merasakan hubungan tak kasat mata antara dirinya sekarang dan sosok misterius

yang mengirim surat itu. Namun belum sempat ia berpikir lebih jauh, senter di

tangannya tiba-tiba berkedip lalu mati. Kamar menjadi gelap total, padahal tadi

masih ada cahaya yang mengintip dari luar rumah. Apa sudah malam?

Tiba-tiba, dari luar kamar terdengar suara ketukan. Bukan di pintu depan, tapi

di jendela kamarnya yang tadi ia tutup rapat. Apa ini tamu yang dimaksud Ibu?

Suara ketukan itu pelan, namun cukup jelas untuk membuat jantung Gika berdetak

lebih cepat. Ia menahan napas. Dinding kayu kamar seolah ikut bergemuruh

bersama rasa penasarannya.

Dengan perlahan, Gika mendekati jendela. Ia membuka sedikit tirai kain tipis

yang menutupi kaca. Tapi tidak ada siapa-siapa di luar. Hanya pohon mangga yang

bergoyang perlahan diterpa angin yang sejuk namun kini terasa agak dingin. Gika

membuka jendela dengan ragu. Sebuah cahaya menyelinap masuk dan mengarah

ke laci meja belajarnya.

“Apa maksud semua ini?” gumamnya.

Gika beranjak dari depan jendela ke laci meja belajarnya. Anak laki-laki itu

dengan perlahan mulai membuka laci mejanya. Di dalamnya tampak sebuah


gulungan kertas lusuh. Gika membukanya dan mulai membaca kalimat yang ada

dalam kertas tersebut.

“Waktu akan membawa kamu ke tempat di mana tulisan bisa menyelamatkan

dunia. Tapi semuanya dimulai dari satu cerita. Ceritamu.”

Gika merasa dirinya memahami sesuatu: bahwa menulis bukan hanya tentang

mengisi kertas kosong. Menulis adalah cara melawan lupa. Gika melihat selembar

kertas kosong dan pulpen yang berada di meja belajarnya. Dengan tangan gemetar,

ia duduk di meja belajarnya dan mulai menulis di atas kertas kosong tadi.

“Untuk beberapa tahun ke depan. Namaku Gika. Aku anak dari masa lalu,

akan mulai menulis semua cerita di masa sekrang. Dan ini adalah cerita yang

harus kamu baca di masa depan.”


TAMAT

Posting Komentar

0 Komentar