Pintu tua itu diketuk oleh seseorang. Gika yang sedang sibuk dengan
pekerjaan rumahnya pun menghentikan pekerjaannya. “Siapa pula yang mau
bertamu di waktu istirahat begini,” batinnya.
Gika dengan enggan membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu itu. Tidak
ada siapapun di halaman rumahnya. Apa hanya orang iseng? Gika sempat ingin
menutup pintu sebelum matanya mengarah ke sebuah gulungan kertas yang berada
tepat di depan kakinya. Dengan raut penasaran, Gika pun mengambil gulungan
kertas itu dan menutup pintu rumahnya kembali.
“Ibu sedang tidak ada di rumah, siapa pula yang mengirimkan surat dengan
kertas lusuh seperti ini,” ucap Gika.
Anak laki-laki itu tampak penasaran dengan isi suratnya, namun dia tidak
ingin dimarahi Ibu dengan membuka surat begitu saja tanpa sepersetujuan Ibunya.
Gika pun kembali menyelesaikan pekerjaan yang diberi oleh Ibunya, yaitu
membersihkan rumah. Anak laki-laki itu tampak cekatan membersihkan setiap
sudut rumah. Dia menyapu, mengepel, membersihkan debu, mengganti taplak
meja, dan lain sebagainya.
Gika adalah seorang anak laki-laki yang tahun ini berada di kelas 3 SMP.
Berbeda dengan anak laki-laki seumurannya yang masih sibuk bermain kesana
kemari dengan teman sebaya, Gika adalah anak laki-laki yang rajin dan menyukai
pekerjaan rumah. Baginya kebersihan adalah nomor satu. Maka tak heran rumah
kecil di sudut desa itu tampak nyaman dengan pohon mangga yang tampak rindang
mengisi sudut halamannya.
Gika hanya tinggal bersama Ibunya, Ayahnya sudah berpulang saat Gika
berumur 1 tahun. Walau begitu, Ibu Gika mampu membesarkannya dengan baik
seperti sekarang ini. Ibu Gika berjualan dipasar setiap harinya, apalagi ini hari
Minggu sudah pasti pasar sedang padat-padatnya. Gika ingin saja menyusul dan
menolong Ibunya, tetapi dia diberikan tugas untuk membersihkan rumah
dikarenakan katanya ada tamu yang akan hadir malam ini. Tentu saja dia yang
menyukai kebersihan lebih memilih untuk menetap dirumah dan membersihkan
segala sudut rumah mungil mereka.
Jika kebersihan adalah nomor satu, maka kegiatan favorit Gika yang kedua
adalah menulis. Gika berbakat dalam menuangkan imajinasinya dalam bentuk kata-
kata. Dia suka menulis apa saja yang dia inginkan. Baginya, kertas kosong seolah
tantangan yang harus diisi dengan sebuah karya seni sastra. Kecintaan pada dunia
kepenulisan juga merupakan bakat yang di dapat dari sang Ayah. Di sudut rumah
mereka terdapat perpustakaan yang berisi banyak buku peninggalan sang Ayah.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore dan Gika sudah selesai membersihkan
rumahnya. Rumah pun tampak lebih rapi saat ini. Ibunya baru akan pulang ketika
mendekati jam 6 sore. Kembali dilirknya gulungan kertas yang dari tadi menarik
perhatiannya.
“Apa tidak masalah kalau aku membuka kertas itu lebih dulu dari pada Ibu?”
tanya Gika dalam hati.
Karena rasa penasaran yang kian menjadi-jadi, Gika akhirnya mengambil
gulungan kertas itu dan segera pergi ke kamarnya yang berada di dekat dapur. Anak
itu menutup semua jendela kamarnya. Dalam keadaan kamar yang remang, Gika
membuka gulungan kertas tadi dan mulai membaca baris per baris katanya dengan
bantuan senter.
Tulisan di dalam kertas itu tampak seperti ditulis dengan tinta hitam yang
mulai pudar. Kertasnya berbau seperti kayu tua dan hujan yang mengering. Gika
membacanya perlahan.
“Untuk kamu, diriku yang selalu menyukai kebersihan. Jangan takut pada
apa yang belum kamu pahami. Bertahun-tahun setelah hari ini, kamu akan
paham mengapa menulis bisa menyelamatkan lebih dari sekadar kenangan.
Dunia tempat aku tinggal sekarang sudah berbeda. Bahasa kita hampir
dilupakan, cerita rakyat hanya jadi pajangan di toko-toko buku yang tak lagi
ada yang mengunjungi, dan manusia mulai lupa bagaimana rasanya duduk
dan mendengar dongeng dari mulut ke mulut. Tapi kamu bisa mengubah itu.
Kamu hanya harus terus menulis, Gika. Mungkin menulis tentang Ibu,
tentang pohon mangga di halaman, tentang pasar yang hiruk pikuk, atau
tentang nyamannya rumah kayu yang kau jaga. Jangan buat masa depan
merindukan masa sekarang.”
Gika terdiam. Ada getaran aneh di dadanya yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya. Antara takut, bingung, dan penasaran. Surat itu tertulis dari Gika dan
untuk Gika.
Seketika bulu kuduknya meremang. Apa mungkin ini tulisannya sendiri? Dari
masa depan? Tapi itu konyol bukan?
Ia menatap surat itu lama, lalu menatap tangannya sendiri, seolah mencoba
merasakan hubungan tak kasat mata antara dirinya sekarang dan sosok misterius
yang mengirim surat itu. Namun belum sempat ia berpikir lebih jauh, senter di
tangannya tiba-tiba berkedip lalu mati. Kamar menjadi gelap total, padahal tadi
masih ada cahaya yang mengintip dari luar rumah. Apa sudah malam?
Tiba-tiba, dari luar kamar terdengar suara ketukan. Bukan di pintu depan, tapi
di jendela kamarnya yang tadi ia tutup rapat. Apa ini tamu yang dimaksud Ibu?
Suara ketukan itu pelan, namun cukup jelas untuk membuat jantung Gika berdetak
lebih cepat. Ia menahan napas. Dinding kayu kamar seolah ikut bergemuruh
bersama rasa penasarannya.
Dengan perlahan, Gika mendekati jendela. Ia membuka sedikit tirai kain tipis
yang menutupi kaca. Tapi tidak ada siapa-siapa di luar. Hanya pohon mangga yang
bergoyang perlahan diterpa angin yang sejuk namun kini terasa agak dingin. Gika
membuka jendela dengan ragu. Sebuah cahaya menyelinap masuk dan mengarah
ke laci meja belajarnya.
“Apa maksud semua ini?” gumamnya.
Gika beranjak dari depan jendela ke laci meja belajarnya. Anak laki-laki itu
dengan perlahan mulai membuka laci mejanya. Di dalamnya tampak sebuah
gulungan kertas lusuh. Gika membukanya dan mulai membaca kalimat yang ada
dalam kertas tersebut.
“Waktu akan membawa kamu ke tempat di mana tulisan bisa menyelamatkan
dunia. Tapi semuanya dimulai dari satu cerita. Ceritamu.”
Gika merasa dirinya memahami sesuatu: bahwa menulis bukan hanya tentang
mengisi kertas kosong. Menulis adalah cara melawan lupa. Gika melihat selembar
kertas kosong dan pulpen yang berada di meja belajarnya. Dengan tangan gemetar,
ia duduk di meja belajarnya dan mulai menulis di atas kertas kosong tadi.
“Untuk beberapa tahun ke depan. Namaku Gika. Aku anak dari masa lalu,
akan mulai menulis semua cerita di masa sekrang. Dan ini adalah cerita yang
harus kamu baca di masa depan.”
TAMAT
0 Komentar