LENTERA DI UJUNG ACEH - Keyza Anindita Burhani



 LENTERA DI UJUNG ACEH


Kabut pagi masih menggantung malas di antara pepohonan kelapa ketika Umar

membuka mata. Bau anyir laut bercampur aroma tanah basah menyusup lewat celah-celah


papan rumah panggung mereka yang sudah tua. Di kejauhan, suara ombak bergulung-

gulung seperti nafas raksasa yang tak pernah lelah. Hari ini adalah hari ketujuh tanpa hasil


tangkapan ayahnya melaut.

"Umar! Bangun! Jemuran songket harus diangkat sebelum hujan datang!" teriak

Emak dari dapur. Suaranya serak, terkikis oleh bertahun-tahun menghirup asap kayu

bakar. Umar mengusap mata, kakinya yang penuh luka kecil langsung menjejak lantai

kayu yang dingin. Di luar, langit sudah mengumpulkan awan-awan hitam seperti pasukan

perang.

Dengan sigap ia menuruni tangga yang setiap anak tangganya mengeluarkan suara

mengerang. Sepasang sandal jepit bututnya nyaris tenggelam dalam lumpur. Jemuran

songket Emak berkibar-kibar liar, seakan ingin melepaskan diri dari tali-tali yang

mengikatnya. "Bertahanlah," bisik Umar pada kain-kain itu sambil bergegas

memungutnya satu persatu. Tangannya yang kecil harus bekerja keras melawan angin

yang semakin menjadi.

Tiba-tiba, dari arah pantai, teriakan-teriakan panik memecah kesunyian. "Perahu

karam! Perahu karam!" Umar membeku. Darahnya berhenti mengalir. Ayahnya pergi

melaut sejak subuh tadi...


***


Dua Tahun Kemudian

Rumah panggung itu terasa lebih besar tanpa kehadiran Ayah. Emak kini bekerja

dua kali lebih keras, jemari-jemarinya yang kasar tak pernah berhenti menari di atas alat

tenun. Umar belajar membaca dari buku-buku bekas yang dibawa pulang Ziyad dari

sekolah desa. Malam-malam ia habiskan dengan radio tua peninggalan Ayah, mencoba

menangkap siaran dari kota yang seringkali hilang ditelan derau.

"Mak, dengarkan!" Umar tiba-tiba menjerit suatu sore. Emak yang sedang

menyulam motif rencong di songket terkejut. "Di kota akan ada pameran budaya besar!

Mereka mencari pengrajin tradisional!"

Emak menghela napas. "Kita tak punya uang untuk pergi ke kota, Nak."

Tapi Umar sudah mengambil kertas dan pensil. "Aku akan menulis surat. Katakan kita

punya songket terbaik di Aceh. Bahkan motifnya bisa bercerita tentang tsunami..."

Tangannya menari dengan tekad yang membara.

Surat balasan datang seminggu kemudian. Stan disediakan, tapi tanpa bantuan

biaya transportasi. Umar nyaris putus asa sampai ia menemukan ide gila: menjual radio

satu-satunya ke pedagang pasar.

"Mana mungkin cukup?" Emak memandangnya sedih.

"Kita bisa naik truk pengangkut ikan," bujuk Umar. "Aku sudah tanya pada

sopirnya."

Perjalanan ke kota adalah neraka. Delapan jam terhuyung-huyung di bak terbuka

truk, tubuh mereka dibaluri bau amis dan debu. Ketika tiba, stan mereka ternyata hanya

sebuah meja kecil di sudut paling gelap arena pameran.

Hari pertama, tak ada yang melirik. Hari kedua, seorang kurator menyinggung

songket mereka "terlalu kuno". Umar melihat air mata Emak menetes di atas kain yang

sudah dikerjakannya selama tiga bulan.

Di hari terakhir, ketika mereka sudah siap menyerah, sekelompok turis asing tiba-

tiba berhenti. "Ini luar biasa!" seru seorang wanita berambut pirang. "Setiap motifnya

seperti punya jiwa!" Dalam sekejap, stan mereka dikepung. Kamera-kamera berkilat,

orderan mengalir. Tapi kebahagiaan mereka ternyata...

Seorang lelaki berjas rapi mendekat. "Kami dari Galeri Nasional ingin membeli

semua koleksi ini. Dengan harga tinggi." Matanya yang dingin beralih ke Emak. "Tapi

kami mau hak eksklusif. Tidak boleh dijual lagi di tempat lain."

Umar melihat keraguan di wajah Emak. Ini berarti mereka tak bisa lagi menenun

untuk hidup. Tapi uang itu bisa mengubah segalanya...

Di bus pulang, Umar memandangi cek di tangannya. Jumlahnya cukup untuk

membeli rumah baru, bahkan menyekolahkannya. Tapi kenapa ia merasa seperti baru saja

menjual jiwa Aceh yang terakhir?

Ketika bus melewati perbatasan kota, ia melihat seorang anak kecil mengais-ngais

sampah. Di tangannya ada sobekan kain songket yang sudah kotor. Tiba-tiba, Umar tahu

apa yang harus dilakukannya.

"Mak," katanya sambil menatap Emak, "Aku punya ide. Bagaimana jika kita buka

sanggar tenun untuk anak-anak kampung? Agar songket kita tidak punah..."

Umar menggenggam cek itu erat-erat, kertasnya berderak di telapak tangannya

yang berkeringat. Angka nol yang berjejer terasa asing, seperti mimpi buruk yang

terselubung emas. Emak duduk diam di sampingnya, matanya kosong menatap jendela

bus.

Tiba-tiba, seorang penumpang di belakang mereka berseru, "Lihat! Itu truk

pengangkut ikan dari kampung kita!"

Dengan tergopoh-gopoh, mereka turun di tengah jalan raya yang sepi. Pak Salim

segera menghampiri, bau amis ikan menempel kuat di bajunya.

"Salim, ada apa?" tanya Emak.

"Kamu belum dengar?" Pak Salim menghela napas. "Lahan sanggar tenun di

kampung kita mau dijual ke perusahaan sawit. Semua pengrajin diusir!"

Umar merasa bumi berputar di bawah kakinya.

Umar melihat Emak menggigit bibirnya sampai berdarah.

Malam itu pula, di rumah panggung mereka yang sudah dikepung tanda bahaya,

Umar mengeluarkan cek itu. "Mak... kita bisa gunakan uang ini untuk melawan." Emak

menatapnya, matanya berbinar dalam kegelapan. "Dengan cara apa?"

"Kita beli lahan itu sebelum mereka tandatangani kontrak," jawab Umar.

Tapi ketika mereka menghampiri pemilik lahan keesokan harinya, harga yang

diminta membuat darah mereka membeku: Tiga ratus juta rupiah.

"Kami... kami tidak punya sebanyak itu," bisik Emak.

Si pemilik lahan, seorang rentenir bernama Bang Jali, menyeringai. "Tapi aku

dengar kalian bawa uang dari kota? Bagaimana kalau... aku pinjamkan sisa-

nya?" Matanya berkilat licik. "Bunga ringan, sepuluh persen per bulan."

Hari penandatanganan jual beli tiba. Di balai desa, para tetua duduk lesu

sementara lelaki berkemeja putih sudah siap dengan dokumen.

Umar masuk dengan langkah tegap, diikuti Emak dan puluhan warga. Di

tangannya, ia membawa koper berisi uang tunai, dua ratus juta dari cek, ditambah

tabungan Emak, dan bahkan perhiasan satu-satunya.

"Kami mau beli lahan itu," seru Umar.

Suasana menjadi ricuh. Lelaki berkemeja putih berdiri, wajahnya merah

padam. "Ini tidak sesuai prosedur!"

"Masih kurang lima puluh juta," bisik Emak gemetaran.

Bang Jali maju ke depan, senyumnya seperti pisau. "Aku bisa tutup

kekurangannya... asal..." Matanya beralih ke alat tenun antik peninggalan nenek moyang

Emak yang berdiri di sudut. "Asal itu jadi jaminan."

Umar melihat air mata Emak menetes. Alat tenun itu adalah nyawa mereka. Tapi

tanah itu adalah akar mereka.

"Setuju," desis Umar akhirnya.

Ketika kontrak ditandatangani, suara tangis dan sorak bergemuruh di balai desa.

Tapi Umar tahu: perang belum berakhir. Mereka sekarang punya utang besar, dan alat

tenun mereka, jiwa songket mereka digadaikan.

Di tengah malam, Umar duduk di tepi pantai. Ombak bergulung-gulung seperti

napas Aceh yang tak pernah padam. Ia mendengar langkah kaki.

"Kau pikir ini sudah selesai?" suara Ziyad muncul dari belakang.

Umar menggeleng. "Ini baru babak pertama."

Di kejauhan, lampu-lampu kapal nelayan berkedip-kedip seperti bintang jatuh.

Seperti lentera-lentera kecil di ujung Aceh, yang terus berjuang untuk tidak padam.

Tiga bulan setelah pertarungan mempertahankan lahan, kampung itu masih

menggigil di bawah bayang-bayang utang. Umar bangun sebelum azan subuh, kakinya

melangkah cepat menuju gubuk reyot di pinggir pantai yang kini jadi sanggar darurat.

Alat tenun pengganti, buatan kasar dari kayu bekas berdiri pincang di tengah ruangan.

"Masih kurang halus jalinannya," bisik Emak yang sudah duduk bersila di depan

alat tenun, jarinya menari pelan di antara benang-benang yang sering putus.

Umar mengeluarkan gulungan kertas dari saku. "Mak, lihat ini. Pesanan dari

galeri di Jakarta... mereka mau 30 kain songket dalam dua bulan."

Emak mengangkat alis. "Tapi tanpa alat tenun yang bagus..."

"Aku ada ide," Umar memotong, matanya berbinar seperti dulu saat pertama kali

mendengar siaran radio tentang pameran.

Malam itu, Umar dan Ziyad menyelinap ke gudang Bang Jali. Di balik tumpukan

barang gadai, alat tenun antik keluarga itu berdiri angkuh.

"Kita curi saja," desis Ziyad. "Tidak," jawab Umar tegas. "Kita akan

menebusnya." Dia mengeluarkan kain songket istimewa dari dalam bungkusan, motifnya

bercerita tentang tsunami; gelombang yang menghancurkan tapi juga menyisakan

kekuatan. "Ini nilai sejarahnya lebih dari lima puluh juta."

Ketika Bang Jali melihat kain itu keesokan harinya, tangannya gemetar. "Ini... ini

motif yang sama dengan kain penyelamat nenekku dulu saat tsunami."

Mata keruhnya berkaca-kaca. "Ambil alat tenunmu. Utangmu lunas."

Satu tahun kemudian, sanggar "Lentera Aceh" berdiri megah di atas lahan yang

nyaris hilang. Suara gemericik air pancuran kecil di halaman menyatu dengan derak alat

tenun.

Di teras, Umar memandang sekelompok anak muda asing yang serius belajar

menenun motif rencong dari Emak. Seorang perempuan berkulit putih dengan rambut

biru tersenyum. "Di kampusku di Amsterdam, kami mempelajari budaya Aceh. Ternyata

lebih indah dari buku mana pun."

Ziyad datang membawa setumpuk surat. "Pesanan dari Jepang! Mereka mau

motif baru, cerita tentang pertarungan kita mempertahankan lahan."

Emak tertawa, suaranya seperti gemerisik daun rumbia yang ditiup angin

laut. "Kita punya terlalu banyak cerita untuk ditenun, Nak."

Di sudut sanggar, radio antik yang berhasil ditebus kembali mendengung pelan.

Siarannya kali ini jernih, menyampaikan berita tentang komunitas pengrajin tradisional

yang mulai bangkit di berbagai pelosok negeri.

Umar tersenyum. Lentera kecil di ujung Aceh ini tak hanya menyala, ia mulai

menerangi jalan pulang bagi yang tersesat.

Posting Komentar

0 Komentar