Budaya Terwaris Melaui Kata - Nur Aina



Budaya Terwaris Melalui Kata

Di Pulau Jawa tepatnya di Desa Wonosari, hiduplah seorang penulis muda bernama

Dina. ia merupakan gadis kecil yang berusia 13 tahun. Dina tumbuh dalam

lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai budaya lokal. Setiap hari, Dina selalu

mendengarkan kisah-kisah menarik dari neneknya tentang desa mereka. Hingga

suatu hari, Dina terinspirasi untuk menulis sebuah buku yang menggambarkan

kekayaan budaya dan tradisi desa mereka dengan lebih mendalam. Dina ingin

menulis sebuah buku berdasarkan informasi atau cerita-cerita yang telah ia

dengarkan dari neneknya.

Dengan pena kecil yang tergenggam erat di tangannya, Dina menulis sebuah kisah

indah di depan teras rumah yang rindang. Nenek yang melihatnya pun langsung

datang menghampiri Dina.

"Dina, apa yang sedang kamu lakukan? Apakah nenek boleh melihatnya?" ucap

nenek sambil duduk di samping Dina.

"Tentu, Nek. Lihatlah apa yang aku tulis di lembar kecil buku ini," balas Dina

sambil memperlihatkan goresan tinta yang sudah ia buat.

"Dina, apakah kamu benar-benar memahami makna di balik kata-kata yang sudah

kamu tulis ini?" tanya nenek dengan penasaran.

"Tentu, Nek! Kata-kata yang aku tulis ini seluruhnya berdasarkan cerita dan

penjelasan yang telah nenek sampaikan padaku," jawab Dina dengan penuh

semangat.


Namun, Dina yang masih merasa bingung kembali bertanya kepada nenek, "Nek,

mengapa nenek selalu menceritakan tentang budaya serta tradisi yang ada di daerah

kita setiap malam? Bukankah lebih menyenangkan jika nenek menceritakanku

dongeng saja?"

Nenek memandang Dina dengan kasih sayang. "Budaya adalah warisan berharga

yang harus dijaga. Jika tidak, kamu akan kehilangan jati dirimu."

Dina merasa penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang apa yang dimaksud oleh

neneknya. Setelah berbicara dengan neneknya, Dina memutuskan untuk tidur siang

ke kamarnya, hingga waktu akhirnya menunjukkan pukul 3 sore. Pada saat itu, Dina

terbangun dan langsung bersiap-siap untuk membeli nasi di luar rumah, tetapi di

tengah jalan ia melihat banyak sekali orang yang mengenakan pakaian adat Jawa

dan sedang melakukan upacara tradisional.

Dina dengan rasa penasaran, ingin mengetahui lebih banyak tentang apa yang

dilakukan oleh orang-orang di sana, sehingga ia pergi menghampiri orang-orang

tersebut.

"Pak, apa yang sedang mereka lakukan?" tanya Dina dengan rasa ingin tahu yang

tinggi.

"Mereka sedang melakukan upacara tradisional untuk memperkuat hubungan

dengan leluhur dan masyarakat setempat tempat mereka tinggal mereka. Kemudian

pakaian adat Jawa yang mereka kenakan merupakan simbol kebudayaan kita yang

patut dilestarikan," ungkap bapak tersebut.


Dina kembali bertanya, "Lalu siapa pemuda yang ada di tengah kerumunan orang-

orang tua itu, Pak? Mengapa ia ikut dalam upacara tersebut dan saya lihat orang-

orang sepertinya segan kepada pemuda itu?"


"Dia merupakan putra satu-satunya dari pimpinan adat di desa ini. Ia selalu ikut

serta dalam upacara adat ini bersama orang tuanya," jelas bapak.


Merasa rasa penasarannya belum juga tersampaikan, ia kemudian lebih mendekat

menuju kerumunan orang-orang itu. Namun, aksinya terhenti ketika ia tidak sengaja

memecahkan cawan yang ada di dekat kerumunan tersebut. Ternyata cawan yang

ia pecahkan itu juga akan digunakan untuk upacara adat yang akan dilaksanakan di

sana, sehingga membuat Dina merasa cemas dan takut. Akibat kejadian itu,

membuat semua orang yang ada di sana terkejut dan semuanya melihat ke arah

Dina.

"Tolong maafkan aku, aku tidak bermaksud memecahkannya, aku hanya ingin

menyaksikan upacara ini saja," ucap Dina sambil memohon dengan nada yang

penuh ketakutan.

Salah satu peserta upacara itu berteriak, “Kamu pasti berbohong, kamu hanya ingin

mengacaukan upacara yang akan kami lakukan sore hari ini! Ayo, kita seret dia

mengelilingi kampung ini!".

"Tunggu! Jangan bertindak gegabah. Ini bisa diselesaikan dengan baik," kata

seorang pemuda dengan nada yang bijak.


"Tunggu apa lagi, Pak? Ini merupakan pertanda buruk bagi kita semua!" ucap salah-

satu warga.


Dengan air mata yang mengalir deras, Dina berlari meninggalkan kerumunan

orang-orang tersebut dan pergi duduk sendirian di tepi sungai. Air matanya terus

mengalir saat menatap air yang tenang. Tak lama kemudian, pemuda yang telah

menyelamatkannya dari kerumunan tadi datang dan duduk di sampingnya.

Dina menoleh ke arah pemuda itu, dengan air matanya masih mengalir ia berkata


"Mengapa mereka sangat marah padaku?" tanyanya dengan suara yang terbata-

bata. "Bukankah itu hanya kecelakaan?"


Pemuda itu tersenyum dan menjelaskan, "Mereka marah, karena upacara adat itu

sangat penting bagi mereka dan sudah menjadi identitas desa ini. Mereka takut

upacara itu gagal jika tidak sempurna."


Dina menatap pemuda itu dengan rasa ingin tahu yang besar. "Identitas?" ulang

Dina, "Mengapa mereka menganggap upacara itu sebagai identitas?"

Pemuda itu menjelaskan bahwa upacara adat yang dilakukan sudah menjadi tradisi

turun-temurun di desa mereka. Upacara itu telah diadakan sejak lama dan

dilaksanakan setiap minggu, sehingga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari

kehidupan mereka.

"Kami sangat menghormati upacara ini karena merupakan bagian dari budaya dan

tradisi kami," kata pemuda itu. "Jika kami tidak melaksanakannya, akan terasa ada

yang kurang dalam hidup kami."

Pemuda itu melanjutkan, "Ini juga bisa jadi pelajaran untukmu agar ke depannya

lebih hati-hati dan memahami bahwa setiap kegiatan penting bisa saja adalah

cerminan diri dari orang-orang yang mengikutinya. Dengan begitu, kamu bisa lebih

memahami identitasmu sendiri."

Dina merasa lebih lega setelah mendengarkan penjelasan pemuda itu. Ia mulai

memahami alasan di balik kemarahan orang-orang tadi dan berterima kasih kepada

pemuda itu yang telah menjelaskan segalanya dengan sabar.

Pemuda itu tersenyum dan mengajak Dina untuk kembali ke tempat upacara. "Ayo,

kita kembali ke sana. Kamu bisa menyaksikan bagaimana upacara yang sebenarnya

dilakukan dengan baik dan benar," kata pemuda itu dengan nada yang ramah.

Di tengah perjalanan menuju tempat upacara itu dilaksanakan, Dina tersandung dan

terjatuh, lalu ia tak sengaja terbangun dari tidurnya. Sambil terengah-engah ia

berkata "Apakah tadi hanya mimpi? Siapa pemuda itu? Mengapa aku merasa

mengenalnya?"

Dina terdiam sejenak, memikirkan detail mimpinya yang begitu nyata. Tak lama

kemudian, ia memutuskan untuk pergi keluar kamar dan menemui neneknya untuk

menceritakan mimpinya yang aneh dan membingungkan.


Saat Dina keluar kamar, ia melihat neneknya sedang mengusap foto seorang lelaki.

Dina dengan rasa penasaran bertanya, "Siapa pemuda itu, Nek?"

Neneknya tersenyum dan menjawab, "Ini adalah kakekmu. Bukankah kamu belum

pernah bertemu dengannya? Lihatlah, betapa gantengnya kakekmu. Ia merupakan

anak satu-satunya dari tetua adat di desa ini."

Dina terkejut melihat wajah kakeknya mirip dengan pemuda yang ada dalam

mimpinya. "Kakek memakai pakaian adat yang sangat khas berasal desa kita, ya

nek?"

Neneknya mengangguk dan menambahkan, "Ya, kakekmu sangat menghormati

tradisi dan budaya kita. Ia selalu mengenakan pakaian adat saat upacara adat di desa

ini."

Dina menatap foto kakeknya dengan rasa penasaran dan bertanya kepada neneknya,

"Apa karena itu, nenek sering menceritakan tentang budaya dan tradisi kepadaku

setiap malam?"

Neneknya tersenyum dan menjawab, "Tentu saja, karena kamu adalah keturunan

dari seseorang yang sangat menghormati budaya dan adat istiadat. Jika tidak

diceritakan, mungkin kamu tidak akan tahu betapa kaya budaya dan tradisi kita."

Neneknya berkata, "Budaya adalah identitas kita yang tak lekang oleh waktu.

Penting bagi kamu memahami, menjaga dan mengenali diri kamu sendiri."

"Bagaimana cara menjaganya nek?" tanya Dina dengan rasa ingin tahu.

Neneknya menjawab, "Kita bisa menjaga budaya dengan menceritakannya kepada

anak cucu kita nanti atau bahkan kisa bisa saja membuat karya tulis yang bisa dibaca

oleh generasi mendatang seperti yang kamu lakukan sekarang. Dengan begitu,

budaya kita tidak akan hilang ditelan oleh perkembangan zaman."

Setelah itu, Dina menyadari bahwa ketertarikannya terhadap budaya dan tradisi

mungkin berasal dari warisan kakeknya. Ia merasa beruntung memiliki keluarga


yang kaya akan budaya dan tradisi, dan cerita dari neneknya membuat ia merasa

lebih dekat dengan akar budaya keluarganya.

Dina bertekad dan berjanji akan terus melestarikan budaya dan tradisi keluarganya

dengan menulis buku tentang kekayaan budaya di daerahnya Dina berharap

nantinya buku itu dapat terbit serta isi di dalam buku itu akan bermanfaat ke

depannya, sehingga warisan tersebut tetap hidup dalam dirinya dan generasi

mendatang.


“TAMAT”

Posting Komentar

0 Komentar