Siasat Bahar Merawat Tradisi - Prayogi Hadi Santoso



Siasat Bahar Merawat Tradisi

Sudah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Biasanya rumah-rumah di

Kampung Terubuk telah gelap total sejak setengah jam yang lalu akibat pemadaman

listrik. Alasannya sebab di kampung ini masih sulit diakses oleh jalan yang

membuat proyek pemasangan tiang listrik terhambat. Jadi mereka memakai

generator sebagai pembangkit listrik. Kalau diamati baik-baik, terdapat satu rumah

di wilayah pesisir paling utara tampak masih ada sedikit cahaya yang keluar dari

sela-sela tingkap. Saat pukul dua dini hari atau lebih, barulah rumah panggung yang

menjorok mendekati tepi pantai itu benar-benar gelap gulita.

“Masih belum juga lengser dari bangku kerjanya. Sudah malam ke berapa

ini? entah apa yang dibuatnya dalam remang-remang kamar kelamnya itu tiap

malam.” Alina tanya penasaran dalam hatinya melihat aktifitas malam-malam

ayahnya, Bahar.

Semenjak ditinggal istrinya, Bahar lebih sering bermalam di depan meja

kerja lapuk di dalam kamarnya. Banyak tulisan yang ia buat, lalu ditumpuk dan

disimpan dalam lipatan kain songket. Bahar mengakhiri aktifitas malamnya ketika

api pada lilin yang ia pakai sebagai penerangan telah lumpuh.


***


Saat awal-awal menginjak umurnya yang ke enam pada sepuluh tahun yang

lalu, Alina sudah dibiasakan terjaga di pagi-pagi buta oleh ibunya dan ikut

membantunya dalam urusan rumah baik berberes hingga memasak. Sebab ibunya

kini telah tiada, paling lambat, Alina harus bangun sendiri sebelum pukul lima pagi.

Sementara ayahnya, Bahar masih tergeletak tak sadarkan diri di kasur kamarnya.

Bahar hilang semangat untuk bangun lebih awal. Selain ia juga terlelap lebih lambat

dari yang biasanya akibat kebiasaan barunya menulis itu.

“Ayah... sudah jam enam. Sebentar lagi Alina mau pergi ke sekolah.” Alina

memanggil ayahnya sambil bergegas menuju kamarnya untuk bersiap-siap.


Selesai mempersiapkan diri, Alina kembali menuju ke kamar ayahnya,

tetapi belum ada aktifitas yang terdengar dari dalam sana. Ia ketuk tiga kali pintu

kayu yang bolong digerogoti rayap itu, namun masih belum ada balasan.

“Yah... ohh Ayah. Ayah udah bangun atau belum? Alina mau berangkat

sekolah.” Alina memastikan ayahnya sebelum meninggalkan rumah.

Muncul bunyi decitan papan kayu. Terdengar samar-samar ada sahutan dari

dalam kamar.

“Hemm... Sebentar nak.” Sambut dengan respon kecil dari Ayahnya yang

mulai siuman.

Bahar bangkit dari tidurnya. Dalam keadaan terkantuk-kantuk, matanya

yang masih menyipit, dan berjalan sempoyongan, bahar segera menemui anaknya

yang telah menunggunya di sebalik pintu kamarnya.

“Alina pergi dulu ya, Yah”

“Iya, hati-hati di jalan”

Alina pamit dan melangkah keluar rumah. Setelah benar-benar tidak tampak

lagi dari pandangan, Bahar kembali masuk menuju ke kamar mandi untuk

membasuh rupanya yang masih berserakan. Selesai dari sana ia mencium bau yang

menggugah isi perutnya. Langkahnya mengarah ke sebuah meja kecil di dapur yang

di atasnya terdapat tudung saji terbungkus kain berwarna biru polkadot. Sambil

mengendus-endus aroma yang menyerang indra penciumannya, Bahar mengangkat

tudung saji dan melihat menu makanan hari ini,

“Apa ini? Nasi lemak rupanya. Terus ini,,, gulai ikan patin.”

Bahar mengamati dengan teliti makanan apa yang dimasak anaknya. Ia

menghirup dalam-dalam wangi masakan itu dan dengan perlahan diseruputnya

gulai tersebut. Lidah dengan langit-langit mulutnya saling bertemu beberapa kali

ketika mencicipi rasanya.

“Hmph... sedap betul rasanya. Persis seperti buatan adik dulu” Bahar takjub

dengan masakan Alina yang semakin mirip dengan istrinya, bukan cuma

perilakunya saja.

“Ini sudah waktunya, sepertinya Alina sudah siap”


Mengingat anaknya yang telah tumbuh dewasa, Bahar berniat agar Alina

bisa merawat adat dan tradisi yang ada disana. Sesudah sarapan, Bahar menemui

kepala kampung di samping balai adat yang terletak di tengah-tengah

perkampungan untuk membicarakan keberlanjutan tradisi mereka.

“Selamat pagi, Pak” Bahar menyapa kepala kampung yang sedang menyapu

pekarangan balai.

“Iya, siang. Eh Pak Bahar, silakan masuk” Kepala kampung menyambut

sapaan Bahar dan menyuruhnya untuk masuk.

Kepala kampung dan Bahar masuk ke dalam menuju ruang tamu. Mereka

bercengkrama hangat sampai akhirnya Bahar menyampaikan inti pembicaraan yang

akan dibahas.

“Jadi begini, Pak. Ini menyangkut soal keberlanjutan budaya kita” Selain

untuk menjaga tradisi kita juga demi kebutuhan masyarakat di kampung. Beberapa

waktu belakangan hasil tangkapan ikan para nelayan menurun, Pak.” Bahar mulai

serius.

“Iya, betul. Bagus itu Pak Bahar” Kepala kampung menyimak dengan

seksama.

“Nah, jadi maksud saya supaya upacara penyemahan ikan terubuk kita

hidupkan kembali, Pak”

“Waduh... gimana ya, tapi untuk bisa melaksanakan ritual itu banyak sekali

yang harus dipersiapkan. Selain itu, syarat dari kita juga belum terpenuhi semenjak

istri Bapak sudah tidak ada.”

“Saya yakin masyarakat bakal setuju kalau kita buat kembali tradisi itu, soal

persyaratan itu saya sudah menemukan seseorang yang layak untuk melakukannya.

Alina, anak saya, Pak”

“Ha? Alina kata Anda?” Kepala kampung terkejut apa yang telah

disampaikan oleh Bahar.

“Iya Pak, dia cocok sekali untuk mengisi kekurangan itu, sebagai Bomo”

“Maaf Pak Bahar, Alina belum siap untuk dibebankan dengan hal semacam

itu, dia masih sekolah, jadi tidak perlu sampai harus memberatkannya dengan


tanggung jawab itu dan dia anakmu satu-satunya, Pak” Kepala kampung tidak

setuju dengan keputusan Bahar.

“Pak... anak saya sudah mau memasuki umur tujuh belas tahun sebentar

lagi dan dia akan segera tamat dari sekolahnya pada bulan ini. Selain itu, untuk bisa

menjadi bomo butuh waktu, jadi saya ingin Alina belajar dulu. Selama dia

mendalami itu, nanti saya akan mencari istri saya ke bagian hulu perairan ini. Jadi,

selama dia mempelajari tradisi itu bersama pelaku adat yang lain, saya minta tolong

titip anak saya kepada Bapak. Saya akan pergi mencari istri saya besok pagi-pagi

sekali.”

“Anak Bapak itu sudah kehilangan ibunya, bagaimana mungkin Bapak bisa

meninggalkannya dan membiarkan dia kehilangan ayahnya juga!” Kepala kampung

murka dan bersikeras untuk tidak menyetujui permintaan Bahar itu.

“Pak! saya rindu dengan istri saya. Gimana perasaan Bapak jika

ditinggalkan oleh orang tersayang tanpa sempat tahu dimana keberadaannya?”

Bahar membalas dengan nada tinggi, ruangan itu mendadak menjadi panas.

“Maaf saya telah lancang, Pak.” Bahar minta maaf, ia diam sejenak sambil

meneguk air putih.

. “Saya menduga bahwa ia berada pada perairan payau di hulu ini, tempat

dimana ikan terubuk berkembang biak. Sebab seminggu sebelum kabar

kehilangannya secara mendadak itu, setiap malam dia mengigau tentang ikan itu,

bahkan ia selalu mengatakan akan pergi mencari ikan terubuk. Jadi tolong titip anak

saya ya, Pak. Saya pergi tidak akan lama.” Bahar melanjutkan ceritanya.

Kepala kampung mengerutkan kening dan mengambil napas panjang. Ia

cukup lama berpikir sebelum memilih keputusan.

“Baiklah Pak Bahar, saya tidak bisa melarang kalau itu kemauan dari Bapak.

Besok pagi saya akan menemui anak Bapak” Akhirnya kepala kampung luluh dan

menyetujui keinginan Bahar.

“Terima kasih banyak, Pak. Tolong sampaikan ke Alina untuk membuka

lipatan songket yang ada di atas meja kamar saya. Kalau begitu saya pamit dulu.”

Bahar pamit dengan kepala kampung.


“Iya, akan saya sampaikan, terima kasih telah mampir, Pak Bahar”


***


Tanpa sepengetahuan Alina, malam itu Bahar bersiap-siap untuk perjalanan

jauh besok pagi, sebelum anaknya itu bangun. Begitu listrik padam, Alina langsung

menuju kasurnya karena beranggapan bahwa ayahnya akan melakukan rutinitas

yang sama. Malam itu akan menjadi tulisannya yang terakhir bagi. Saat bulan

purnama berada di langit selatan, Bahar langsung berangkat dengan sampan menuju

hulu perairan.

Ketika Alina ingin berangkat sekolah paginya, ia gelisah sebab tidak

mendapat respon dari ayahnya di dalam kamar. Lalu kepala kampung menjumpai

Alina di rumahnya.

“Pagi, Alina” Sapa kepala kampung.

“Pagi juga, Pak. Tolong Pak, ayah saya dari tadi tidak menjawab panggilan

saya di kamar.” Sahut Alina yang sedang panik.

“Oh iya, jadi begini nak. Tolong dengarkan ya, ayah kamu berangkat

sejenak, jadi untuk sementara ini biar saya yang akan memperhatikan kamu ya nak.”

“Loh emangnya ayah saya pergi kemana, Pak?” Tanya Alina yang

penasaran.

“Ayahmu ada pekerjaan di luar sebentar, nanti dia pasti akan kembali.”

Jawab kepala kampung mencoba alihkan perhatian Alina dengan kenyataan

sebenarnya.

“Oh ya, ayah kamu meminta kamu untuk membuka lipatan songket yang

ada di dalam kamarnya.” Kepala kampung menyampaikan pesan ayahnya.

Alina pergi ke kamar ayahnya dan membuka lipatan itu. Betapa terkejutnya

dia melihat banyak sekali tulisan tentang tradisi lisan berupa syair-syair. Dicermati

setiap bait dari syair itu dan Alina merasa bahwa syair itu pernah dibawakan oleh

ibunya dulu.***


Pekanbaru, 2025

Posting Komentar

0 Komentar