Sudah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Biasanya rumah-rumah di
Kampung Terubuk telah gelap total sejak setengah jam yang lalu akibat pemadaman
listrik. Alasannya sebab di kampung ini masih sulit diakses oleh jalan yang
membuat proyek pemasangan tiang listrik terhambat. Jadi mereka memakai
generator sebagai pembangkit listrik. Kalau diamati baik-baik, terdapat satu rumah
di wilayah pesisir paling utara tampak masih ada sedikit cahaya yang keluar dari
sela-sela tingkap. Saat pukul dua dini hari atau lebih, barulah rumah panggung yang
menjorok mendekati tepi pantai itu benar-benar gelap gulita.
“Masih belum juga lengser dari bangku kerjanya. Sudah malam ke berapa
ini? entah apa yang dibuatnya dalam remang-remang kamar kelamnya itu tiap
malam.” Alina tanya penasaran dalam hatinya melihat aktifitas malam-malam
ayahnya, Bahar.
Semenjak ditinggal istrinya, Bahar lebih sering bermalam di depan meja
kerja lapuk di dalam kamarnya. Banyak tulisan yang ia buat, lalu ditumpuk dan
disimpan dalam lipatan kain songket. Bahar mengakhiri aktifitas malamnya ketika
api pada lilin yang ia pakai sebagai penerangan telah lumpuh.
***
Saat awal-awal menginjak umurnya yang ke enam pada sepuluh tahun yang
lalu, Alina sudah dibiasakan terjaga di pagi-pagi buta oleh ibunya dan ikut
membantunya dalam urusan rumah baik berberes hingga memasak. Sebab ibunya
kini telah tiada, paling lambat, Alina harus bangun sendiri sebelum pukul lima pagi.
Sementara ayahnya, Bahar masih tergeletak tak sadarkan diri di kasur kamarnya.
Bahar hilang semangat untuk bangun lebih awal. Selain ia juga terlelap lebih lambat
dari yang biasanya akibat kebiasaan barunya menulis itu.
“Ayah... sudah jam enam. Sebentar lagi Alina mau pergi ke sekolah.” Alina
memanggil ayahnya sambil bergegas menuju kamarnya untuk bersiap-siap.
Selesai mempersiapkan diri, Alina kembali menuju ke kamar ayahnya,
tetapi belum ada aktifitas yang terdengar dari dalam sana. Ia ketuk tiga kali pintu
kayu yang bolong digerogoti rayap itu, namun masih belum ada balasan.
“Yah... ohh Ayah. Ayah udah bangun atau belum? Alina mau berangkat
sekolah.” Alina memastikan ayahnya sebelum meninggalkan rumah.
Muncul bunyi decitan papan kayu. Terdengar samar-samar ada sahutan dari
dalam kamar.
“Hemm... Sebentar nak.” Sambut dengan respon kecil dari Ayahnya yang
mulai siuman.
Bahar bangkit dari tidurnya. Dalam keadaan terkantuk-kantuk, matanya
yang masih menyipit, dan berjalan sempoyongan, bahar segera menemui anaknya
yang telah menunggunya di sebalik pintu kamarnya.
“Alina pergi dulu ya, Yah”
“Iya, hati-hati di jalan”
Alina pamit dan melangkah keluar rumah. Setelah benar-benar tidak tampak
lagi dari pandangan, Bahar kembali masuk menuju ke kamar mandi untuk
membasuh rupanya yang masih berserakan. Selesai dari sana ia mencium bau yang
menggugah isi perutnya. Langkahnya mengarah ke sebuah meja kecil di dapur yang
di atasnya terdapat tudung saji terbungkus kain berwarna biru polkadot. Sambil
mengendus-endus aroma yang menyerang indra penciumannya, Bahar mengangkat
tudung saji dan melihat menu makanan hari ini,
“Apa ini? Nasi lemak rupanya. Terus ini,,, gulai ikan patin.”
Bahar mengamati dengan teliti makanan apa yang dimasak anaknya. Ia
menghirup dalam-dalam wangi masakan itu dan dengan perlahan diseruputnya
gulai tersebut. Lidah dengan langit-langit mulutnya saling bertemu beberapa kali
ketika mencicipi rasanya.
“Hmph... sedap betul rasanya. Persis seperti buatan adik dulu” Bahar takjub
dengan masakan Alina yang semakin mirip dengan istrinya, bukan cuma
perilakunya saja.
“Ini sudah waktunya, sepertinya Alina sudah siap”
Mengingat anaknya yang telah tumbuh dewasa, Bahar berniat agar Alina
bisa merawat adat dan tradisi yang ada disana. Sesudah sarapan, Bahar menemui
kepala kampung di samping balai adat yang terletak di tengah-tengah
perkampungan untuk membicarakan keberlanjutan tradisi mereka.
“Selamat pagi, Pak” Bahar menyapa kepala kampung yang sedang menyapu
pekarangan balai.
“Iya, siang. Eh Pak Bahar, silakan masuk” Kepala kampung menyambut
sapaan Bahar dan menyuruhnya untuk masuk.
Kepala kampung dan Bahar masuk ke dalam menuju ruang tamu. Mereka
bercengkrama hangat sampai akhirnya Bahar menyampaikan inti pembicaraan yang
akan dibahas.
“Jadi begini, Pak. Ini menyangkut soal keberlanjutan budaya kita” Selain
untuk menjaga tradisi kita juga demi kebutuhan masyarakat di kampung. Beberapa
waktu belakangan hasil tangkapan ikan para nelayan menurun, Pak.” Bahar mulai
serius.
“Iya, betul. Bagus itu Pak Bahar” Kepala kampung menyimak dengan
seksama.
“Nah, jadi maksud saya supaya upacara penyemahan ikan terubuk kita
hidupkan kembali, Pak”
“Waduh... gimana ya, tapi untuk bisa melaksanakan ritual itu banyak sekali
yang harus dipersiapkan. Selain itu, syarat dari kita juga belum terpenuhi semenjak
istri Bapak sudah tidak ada.”
“Saya yakin masyarakat bakal setuju kalau kita buat kembali tradisi itu, soal
persyaratan itu saya sudah menemukan seseorang yang layak untuk melakukannya.
Alina, anak saya, Pak”
“Ha? Alina kata Anda?” Kepala kampung terkejut apa yang telah
disampaikan oleh Bahar.
“Iya Pak, dia cocok sekali untuk mengisi kekurangan itu, sebagai Bomo”
“Maaf Pak Bahar, Alina belum siap untuk dibebankan dengan hal semacam
itu, dia masih sekolah, jadi tidak perlu sampai harus memberatkannya dengan
tanggung jawab itu dan dia anakmu satu-satunya, Pak” Kepala kampung tidak
setuju dengan keputusan Bahar.
“Pak... anak saya sudah mau memasuki umur tujuh belas tahun sebentar
lagi dan dia akan segera tamat dari sekolahnya pada bulan ini. Selain itu, untuk bisa
menjadi bomo butuh waktu, jadi saya ingin Alina belajar dulu. Selama dia
mendalami itu, nanti saya akan mencari istri saya ke bagian hulu perairan ini. Jadi,
selama dia mempelajari tradisi itu bersama pelaku adat yang lain, saya minta tolong
titip anak saya kepada Bapak. Saya akan pergi mencari istri saya besok pagi-pagi
sekali.”
“Anak Bapak itu sudah kehilangan ibunya, bagaimana mungkin Bapak bisa
meninggalkannya dan membiarkan dia kehilangan ayahnya juga!” Kepala kampung
murka dan bersikeras untuk tidak menyetujui permintaan Bahar itu.
“Pak! saya rindu dengan istri saya. Gimana perasaan Bapak jika
ditinggalkan oleh orang tersayang tanpa sempat tahu dimana keberadaannya?”
Bahar membalas dengan nada tinggi, ruangan itu mendadak menjadi panas.
“Maaf saya telah lancang, Pak.” Bahar minta maaf, ia diam sejenak sambil
meneguk air putih.
. “Saya menduga bahwa ia berada pada perairan payau di hulu ini, tempat
dimana ikan terubuk berkembang biak. Sebab seminggu sebelum kabar
kehilangannya secara mendadak itu, setiap malam dia mengigau tentang ikan itu,
bahkan ia selalu mengatakan akan pergi mencari ikan terubuk. Jadi tolong titip anak
saya ya, Pak. Saya pergi tidak akan lama.” Bahar melanjutkan ceritanya.
Kepala kampung mengerutkan kening dan mengambil napas panjang. Ia
cukup lama berpikir sebelum memilih keputusan.
“Baiklah Pak Bahar, saya tidak bisa melarang kalau itu kemauan dari Bapak.
Besok pagi saya akan menemui anak Bapak” Akhirnya kepala kampung luluh dan
menyetujui keinginan Bahar.
“Terima kasih banyak, Pak. Tolong sampaikan ke Alina untuk membuka
lipatan songket yang ada di atas meja kamar saya. Kalau begitu saya pamit dulu.”
Bahar pamit dengan kepala kampung.
“Iya, akan saya sampaikan, terima kasih telah mampir, Pak Bahar”
***
Tanpa sepengetahuan Alina, malam itu Bahar bersiap-siap untuk perjalanan
jauh besok pagi, sebelum anaknya itu bangun. Begitu listrik padam, Alina langsung
menuju kasurnya karena beranggapan bahwa ayahnya akan melakukan rutinitas
yang sama. Malam itu akan menjadi tulisannya yang terakhir bagi. Saat bulan
purnama berada di langit selatan, Bahar langsung berangkat dengan sampan menuju
hulu perairan.
Ketika Alina ingin berangkat sekolah paginya, ia gelisah sebab tidak
mendapat respon dari ayahnya di dalam kamar. Lalu kepala kampung menjumpai
Alina di rumahnya.
“Pagi, Alina” Sapa kepala kampung.
“Pagi juga, Pak. Tolong Pak, ayah saya dari tadi tidak menjawab panggilan
saya di kamar.” Sahut Alina yang sedang panik.
“Oh iya, jadi begini nak. Tolong dengarkan ya, ayah kamu berangkat
sejenak, jadi untuk sementara ini biar saya yang akan memperhatikan kamu ya nak.”
“Loh emangnya ayah saya pergi kemana, Pak?” Tanya Alina yang
penasaran.
“Ayahmu ada pekerjaan di luar sebentar, nanti dia pasti akan kembali.”
Jawab kepala kampung mencoba alihkan perhatian Alina dengan kenyataan
sebenarnya.
“Oh ya, ayah kamu meminta kamu untuk membuka lipatan songket yang
ada di dalam kamarnya.” Kepala kampung menyampaikan pesan ayahnya.
Alina pergi ke kamar ayahnya dan membuka lipatan itu. Betapa terkejutnya
dia melihat banyak sekali tulisan tentang tradisi lisan berupa syair-syair. Dicermati
setiap bait dari syair itu dan Alina merasa bahwa syair itu pernah dibawakan oleh
ibunya dulu.***
Pekanbaru, 2025
0 Komentar