Empat Bayang Di Kembang Sore - Muhammad Absar Al Ghifari

 


Muhammad Absar Al Ghifari-

SMK NEGERI 45 JAKARTA


Empat Bayang Di Kembang Sore

Oleh: Muhammad Absar Al Ghifari


Tahun 1988, awal dari cerita sebuah desa yang tidak tercantum namanya di peta

perjalanan. Desa Kembang Sore, yang tersembunyi di suatu balik bukit yang indah

dengan rerimbun bambu menyelimuti, jika disentuh oleh angin yang lembut, maka

akan mengeluarkan suara yang merdu bagai seruling yang dimainkan di acara

dangdut. Angin-angin itu selalu saja membawa aroma tanah basah, suara riuh

jangkrik pada setiap malam hari, membuat kesunyian malam menjadi tempat

bersenandung antar serangga, dan sorot lentera minyak di setiap rumah selalu

terpampang jelas di selasar, benda itu diibaratkan sebagai lukisan waktu yang

tenang namun menyimpan riuh di dalamnya. Di tengah keseharian masyarakat di

sana, terdapat beberapa remaja, tepatnya empat remaja yang akan kelak menjelma

menjadi sebuah bayangan yang akan menjelajahi sebuah sejarah selanjutnya di

Desa mereka.

Ranti, Galang, Sekar, dan Tama begitulah panggilan orang sekitar kepada mereka

berempat. Ada sebuah pendapa, sebagai tempat istirahat mereka disela-sela waktu

kosong, pendapa itu terakhir dipakai untuk menyimpan hasil panen dan lainnya

untuk didistribusi ke kota lain, mereka juga berdiskusi di sana bersama, dan jika

tidak berkumpul, mereka melakukan kegiatan selayaknya anak remaja lainnya,

seperti membantu orang tua mereka di sawah, dan membuat sebuah peralatan dari

besi, seperti cangkul dan pacul. Mereka berempat remaja yang tersisa disana,

karena remaja lainnya dibawa orang tua mereka pindah ke kota yang jauh lebih

layak. Masing-masing mereka memiliki keunikan diri yang berbeda, dari yang

lainnya. Ranti seorang gadis perempuan yang sangat memiliki kepekaan yang luar

biasa terhadap sebuah bahasa. Ayahnya seorang dalang keliling, dan ibunya hanya

penenun tenun lurik tradisional di desanya. Ranti sendiri tumbuh dengan cerita yang

penuh dengan warna-warna, dengan bahasa yang tak hanya untuk berbicara saja,

tetapi juga sebagai menggugah imajinasinya. Ia mudah sekali tersentuh dalam hal

kecil sekalipun, tetapi dia juga keras hati dalam hal yang ia yakini bahwa hal itu


Muhammad Absar Al Ghifari-

SMK NEGERI 45 JAKARTA


benar bagi dia. Di samping Ranti, Galang dengan rambutnya yang ikal dan kribo,

sudah bisa ditebak apa kegemarannya, ia seniman dalam jiwa dan tubuhnya. Ia anak

bungsu dari keluarga pandai besi. Suatu saat ketika ayah dan kakaknya membentuk

pacul dan cangkul, Galang diajak oleh ayah dan kakaknya, namun dia mencuri

waktu dan menghiraukan pekerjaannya untuk melukis bayangan padi, menggambar

sebuah siluet ibu-ibu yang sedang menumbuk padi di sawah, dan menorehkan

mimpi itu pada kertas bekas kalender. Ia jarang sekali berbicara, tapi sketsanya yang

selalu berkata lebih banyak dari mulut dia sendiri.

Sekar, perempuan lainnya yang tak pernah sekalipun lelah dalam hal membaca.

Ia selalu saja membawa buku ke mana pun pergi, bahkan hanya di ladang saja, dia

selalu menyempatkan diri untuk membaca. Ia sangat menghafal sajak-sajak dari

tulisan karya W.S Rendra, di sebuah potongan majalah bekas yang ada di

rumahnya, dan dia juga sembari mengajari anak-anak kecil di desanya untuk

menulis aksara Jawa di tanah merah. Terakhir Tama, remaja yang satu ini awalnya

tak ingin terlibat dan bergabung dalam kelompok itu, dia anak seorang petani yang

keras dan praktis. Ia sangat pintar, tapi juga sangat mudah pesimis. Bagi Tama,

hidup itu harus nyata dan langsung ada yang memberi hasil, dalam melakukan

sesuatu dalam hidup. Cerita, sastra, dan lukisan hanyalah pelarian dia dari

kehidupan yang begitu keras. Namun hatinya menyimpan luka dan kenangan akan

kakeknya, yang dahulu sering mendongengkan dia sebelum akhirnya dilupakan dan

ditelan zaman.

Sore tiba dengan cepat, saat mereka membersihkan balai desa yang ke depannya

akan dijadikan gudang beras, sebuah peti kayu tua ditemukan. Di dalamnya,

naskah-naskah tua beraksara Jawa ditemukan oleh diantara merek, menguning dan

berbau harum seperti masa lalu yang kembali, Ranti menggenggamnya seolah

menggenggam jantung sebuah sejarah yang tidak diperlihatkan. “Ini... ini bukan

hanya tulisan doang. Ini nyawa,” ucapnya. Tama mengernyit, “Kertas tak bisa

menanam padi.” Tetapi Sekar menjawab, “Tanpa akar juga Tam, sebuah pohon pun

akan tumbang juga, lihat nenek ini”. Mereka mempunyai rencana yang akan

berdampak untuk desanya. Pantulan Jiwa, itulah nama proyek yang mereka semua


Muhammad Absar Al Ghifari-

SMK NEGERI 45 JAKARTA


sepakat dalam sekejap, ide tersebut sebuah cerminan hati yang terdalam dari leluhur

yang menulisnya. Di bawah cahaya lampu petromaks, mereka langsung menyalin,

menerjemahkan, dan menggambarkan ulang semua isi naskah aksara Jawa tersebut.

Namun Tama, meskipun dia hadir, ia tetap menolak ikut serta. Ia hanya duduk di

pojok ruangan, dan terdiam sambil membaca sebuah buku yang dia temukan.

Warga mulai mencibir anak remaja tersebut, yang setiap hari bermain di sawah,

bukan untuk menanam atau memanen padi, melainkan latihan untuk proyek mereka

berempat. “Anak-anak aneh. Ngapain coba main-main malah di tengah sawah?

Bukannya bantu orang tuanya, malah main di sawah warga!” ucap seorang warga

yang tidak suka akan hal itu, namun mereka semua terus bekerja dalam omongan

beberapa warga yang melintas. Hingga suatu malam, Bu Sri, seorang guru Bahasa

Indonesia yang sudah lama pensiun, datang membawa map tua. “Bangsa yang besar

bukan hanya karena teknologi dan sumber dayanya, tapi karena ia tak lupa akan

cerita awal dari semua itu,” ucapnya. Malam itu juga, Tama membuka salah satu

naskahnya. Ia tertegun takjub ketika membaca nama kakeknya tercantum di sana,

tertulis sebagai penyusun cerita rakyat tentang ‘Sungai Emas’ dan ‘Lelaki yang


Mengukir Awan’. Hatinya bergetar, ia pun datang ke pendopo tempat teman-

temannya latihan, dan langsung berkata, “Kalau kalian masih terima aku, aku ingin


merekam semuanya.” Mereka semua menoleh ke arah Tama, dan tak butuh banyak

kata. Sekar tersenyum, Galang menghampirinya dan menepuk pundaknya, Ranti

mengangguk, lalu berkata, “Cerita itu tak pernah memilih siapa yang akan

menghidupkannya, melainkan cerita itu datang sendiri kepada orang yang tepat.”

Tama tersenyum dan ikut bergabung bersama mereka, membantu menyusun

rencana sebuah pertunjukan.

Malam hari keesokannya, warga dikumpulkan. Dengan properti seadanya dan

dengan pencahayaan yang hanya diterangi oleh lampu petromaks, mereka

kemudian membacakan puisi, mementaskan monolog, dan memutar sebuah video

dokumenter pendek. Di tengah lakon Dewi Anyelir, banyak ibu-ibu yang terisak.

Pak Karyo kepala desa tersebut berkata, “Ini kisah yang dulu ibuku ceritakan... aku

pikir sudah hilang.” Di Pendopo mereka berdiskusi dengan alot, tepat pada siang


Muhammad Absar Al Ghifari-

SMK NEGERI 45 JAKARTA


hari keesokan harinya setelah pertunjukan semalam. “Kita cuman tampil di desa

saja begitu? Tidak ada niatan buat yang lebih besar? Misalnya ke luar negeri

begitu?” gumam Ranti dengan meremas kertas naskah dia, Galang duduk dengan

tegak, yang sebelumnya berbaring santai, “Aku tahu, aku lihat ada poster, di

posternya ada tulisan, Festival Budaya Remaja, tempatnya di pusat kota, ikut yuk!”

ucap Galang dengan semangat. Sekar langsung menyetujui dan langsung mengisi

formulir pendaftaran, “Kita langsung ikut saja festival ini, menang tidak menang,

kita coba saja dulu! Jika menang, desa kita akan memulai masa depannya pada hari

ini!”, “Tapi bagaimana caranya? Kalau sudah daftar?” tanya Tama setelah melihat

Sekar selesai mengisi formulir, “Nanti aku ke rumah kepala desa, jelasin semuanya,

dan meyakinkan dia, desa kita harus berkembang dan dikenal seluruh Indonesia,

bahkan kalau bisa dunia! Hahaha.” Jawab Sekar dengan yakin dan teguh atas

pendiriannya. Mereka semua mengangguk setuju, sambil ketawa riang yang tulus.

Berlama-lama setelah meyakinkan kepala desa, niat mereka semua untuk

mengikuti sebuah Festival Budaya Remaja, akhirnya terwujud. Perjuangan Sekar

untuk bisa mengikuti Festival itu tidak sia-sia, festival yang dilaksanakan di kota

besar tersebut, membuahkan hasil postif, mereka berempat dikabarkan menang

dalam Festival Budaya Remaja Tingkat Nasional, yang diberitakan dan disambut

hangat oleh pemerintah pusat kota. Karya mereka mendapatkan sambutan yang

hangat dari juri internasional yang datang di acara Festival tersebut untuk mencari

peserta di seluruh dunia, dan karya mereka semua mendapatkan sebuah apresiasi,

yakni diberi undangan langsung dari Juri Prancis itu untuk ikut serta dalam Festival

Internasional Remaja Francophone, ajang tahunan internasional sastra yang

diadakan di Toulouse, Prancis tiga bulan kedepan.

Waktu itu datang dengan cepat, di kota Toulouse, Prancis. Festival Internasional

Remaja Francophone digelar di sana. Mereka berempat tampil dalam balutan kain

tradisional dibadan mereka, dan dilanjutkan dengan menyajikan puisi dan cerita

rakyat Jawa yang telah mereka sulih bahasakan ke dalam Bahasa Inggris dan

Prancis. Salah satu juri memberikan komentar yang sangat menyentuh, “Ce n’est

pas un simple folklore, c’est une âme racontée à voix douce.” (Ini bukan sekadar


Muhammad Absar Al Ghifari-

SMK NEGERI 45 JAKARTA


cerita rakyat saja, ini adalah jiwa yang dituturkan dengan suara yang lembut dan

cantik). Ranti menitikkan air mata saat berdiri di depan podium, menerima

penghargaan spesial, ‘Karya Tulis Terinspirasi’ dan ‘Budaya Terindah’, ia

menerima penghargaan dan berbicara di podium. “Kami menulis agar tahu bahwa

kami masih ingat.”


**


Tahun demi tahun berlalu, kini tahun 2027. Desa Kembang Sore menjelma

menjadi sebuah simbol budaya, khususnya di Pulau Jawa. Jalananya dipenuhi

mural, sanggar terbuka berdiri di pekarangan, dan tiap minggu diadakan pembacaan

puisi di bawah pohon randu. Turis, seniman, dan produser datang dan pergi, namun

yang tertinggal adalah semangat. Salah satunya, Giran Nagroho, seorang maestro

sinema yang terkenal dengan karya-karya puitis dan budaya, datang bersama

timnya. Ia menatap pendopo yang kini menjadi museum hidup. Ia berkata pada

Sekar, yang kini menjadi kepala komunitas sastra desa, “Tempat ini... lebih dari

sekadar lokasi. Ini adalah suara yang sudah mendunia.” Sekar menatap wajah sang

maestro dan menjawab, “Kami tak ingin menjadi terkenal. Kami hanya ingin

didengar. Karena setiap kata yang kami salin adalah doa. Dan setiap kalimat adalah

sungai yang mengalirkan dalam ingatan.” Sang maestro menepuk bahunya. “Saya

ingin filmku lahir dari tanah ini suatu saat nanti. Bukan untuk sekadar lokasi syuting

saja, tapi jantung cerita untuk kedepannya.”

Bulan terus berganti, tim produksi film dari Giran Nagroho datang kembali dan

memulai produksi di Desa Kembang Sore. Dengan melibatkan empat pemuda, yang

menjadi pilar pembangun di desanya. Ranti menjadi penulis naskah sang maestro,

Sekar sebagai konsultan budaya, Galang membuat ilustrasi storyboard, dan Tama


duduk di belakang kamera sebagai sinematografer utama. Mereka tidak lagi anak-

anak desa yang disangsikan, tetapi sebagai pelaku utama dalam kisah besar yang


lahir dari kepercayaan pada warisan. Hari pertama syuting dimulai di bawah pohon

randu yang sama. Giran berdiri di tengah lapangan, “ACTION!” Giran berseru.

Posting Komentar

0 Komentar