Nama : Qazla Adina Putri
Sekolah : SMAN 9 MANDAU
Di Ambang Asmara dan Dharma
"Pernah dengar pepatah lebih baik mati anak daripada mati adat, Haris?"
Buya mengatakannya dengan tenang. “Itu terlalu sadis, Buya," terlihat tatapan
kecewa dari Haris. “Bukan Nak, bukan berarti orang tua rela kehilangan anaknya
demi adat tapi pentingnya menjaga adat istiadat di atas kepentingan sendiri," Buya
menjelaskan makna dari pernyataan yang dianggap Haris sangat keras.
Di balik jendela kokoh pada bangunan yang menjadi tempat naungannya,
Rania duduk dengan perasaan berurai air mata. Di pangkuannya terdapat selembar
surat lamaran dari keluarga Haris yang masih terbuka, dengan tinta yang hampir
pudar tertutup air mata. Haris, pria Minang dari Pariaman, telah mencuri hati yang
seharusnya tertutup rapat. Hanya dengan ucapan lembut seperti “Hm”, Haris
mengguncang lebih dari sekadar perasaan, bahkan tanaman di sekitarnya pun
tampak ikut bergetar. Sifatnya yang sopan dan cara ia menghormati perempuan,
berhasil menaklukkan Rania Putri Zaleha, gadis Melayu cantik yang berasal dari
Siak. Ia tidak mudah membantah tapi juga bukan yang mudah tunduk.
Mereka berpijak bersama di atas tahun-tahun yang terus berganti. Berdiskusi
tentang budaya, berdebat tentang puisi Chairil, mempelajari buku-buku, hingga
menyisihkan waktu untuk mendiskusikan masa depan. Sebuah masa yang terancam
oleh adat yang tidak mengizinkan kompromi, Rania dan Haris bak kapal yang siap
berlayar namun karam sebelum berjalan.
Seminggu lalu, Haris dan keluarganya tiba untuk membawa lamaran, sesuai
dengan tradisi Melayu. Proses itu dimulai dengan Merisik, saat ibu dan bibi Haris
berkunjung, secara halus meneliti kesiapan keluarga Rania. Setelah keluarga
memberikan tanda terbuka, datanglah rombongan resmi sepekan setelahnya. Pihak
pria hadir lengkap, mengenakan pakaian teluk belanga, membawa tepak sirih, buah
tangan, serta cincin belah rotan dibalut kain tenun.
Nama : Qazla Adina Putri
Sekolah : SMAN 9 MANDAU
Acara lamaran dimulai dengan pantun pembuka, disambut balasan pantun
dari pihak perempuan. Air mawar dipercikkan ke lantai sebagai tanda penyucian
niat, lalu sirih pinang disuguhkan. Tanda diterimanya maksud baik.
Buya, ayah Haris, menyampaikan hajat dengan khidmat, “Kami datang
membawa niat mulia, ingin menyambung silaturahmi lewat pernikahan, jika
keluarga berkenan menerima anak kami, Haris, sebagai calon menantu.” Datuk
Sulaiman, ayah Rania, menjawab dengan wibawa, “Jika niat sudah jernih dan budi
sudah datang, maka kami pun menyambut dengan hormat. Tapi syarat adat mesti
kita dudukkan bersama.”
Suasana masih hangat, sampai Buya menyebut satu frasa, Bajapuik.
Buya mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Suaranya tetap tenang,
namun ada ketegasan di dalamnya, “Sesuai adat kami, sebelum ikatan dipatri,
perempuan perlu Bajapuik. Menjemput calon suaminya secara adat, lengkap dengan
seserahan dan uang jemput. Sebab dalam adat Minang, lelaki akan masuk ke dalam
keluarga perempuan. Maka pihak perempuanlah yang menjemputnya secara
terhormat.”
Sekilas sunyi menyelimuti ruangan. Dari dapur, hanya terdengar bunyi halus
air mendidih di ceret tua. Teh hangat yang sedang dipersiapkan. Datuk Sulaiman
mengangkat pandang, sorot matanya berubah tajam.
“Jadi maksud Buya, anak saya harus membeli calon suaminya? Uang
diserahkan kepada pihak lelaki? Ini asing sekali. Dalam Melayu, lelaki datang
membawa kehormatan bukan dijemput,” Ia menoleh ke arah Mak Long, yang duduk
di sisi kiri, dan mengangguk pelan. Mak Long pun membuka kotak kecil berbalut
kain tenun bugis. Di dalamnya, sebuah cincin belah rotan bersanding dengan sirih
lengkap dalam tepak kuningan, uang sirih seratus ringgit, dan manisan tradisional
sebagai simbol manisnya niat. “Ini seserahan kami. Sebagai tanda jika lamaran ini
diterima, maka cincin ini akan kami sarungkan ke jari Rania, dan segala niat baik
akan kami lanjutkan ke majelis seterusnya,” ucap Mak Long, suaranya tenang.
Namun Buya menatap tanpa seulas senyum, “Maafkan kami. Tanpa Bajapuik, kami
Nama : Qazla Adina Putri
Sekolah : SMAN 9 MANDAU
belum bisa melangkah. Adat kami menuntut penghormatan kepada lelaki yang akan
berpindah ke rumah perempuan. Bila itu tidak bisa dipenuhi, maka besar
kemungkinan kami tidak bisa melanjutkan. Jika hari ini kami langgar satu adat, esok
bisa tidak berbekas lagi semuanya,” Tegas Buya. “Kami juga punya adat, Buya.
Dalam Melayu, muruah perempuan itu tinggi. Ia yang dinanti, bukan yang
menjemput,” Balas Datuk Sulaiman.
Rania dan Haris, yang sedari tadi mendengarkan, merasakan hati mereka
terasa hancur perlahan. Mereka menyadari bahwa ungkapan penuh makna itu bukan
sekadar pernyataan adat semata. Sebab, pernyataan cinta mereka ditolak oleh
benturan norma-norma yang telah ada jauh sebelum kelahiran mereka.
Saat kesepakatan gagal dicapai, rombongan Haris kembali ke rumah. Rania
duduk di hadapan ayahnya. Suasana sore terasa lebih dingin dari biasanya, seolah
turut memperberat atmosfer. Datuk Sulaiman meneguk teh yang kini sudah tidak
lagi panas. Tatapannya masih kosong, terfokus ke depan. Namun Rania tahu,
pikirannya masih terjebak di ruang tamu tadi.
Rania memberanikan diri membuka suara, “Ayah, kenapa kita tidak
melaksanakan Bajapuik saja?” Datuk menoleh dengan alis yang langsung berkerut.
“Kita bisa berikan uang seperti yang diminta pihak Haris. Kita hanya membayar
uang, bukan menyerahkan harga diri,” Lanjut Rania. “Kau bilang hanya membayar
uang? Rania, uang itu bukan sekadar benda. Di mata orang, itu lambang siapa yang
menjemput dan siapa yang dijemput. Siapa yang punya kuasa, siapa yang takluk.
Dalam tradisi kita, perempuan adalah permata yang tidak pernah diletakkan di
pangkuan, melainkan dijemput dengan penuh rasa hormat,” Datuk menghela napas
panjang. Tangannya memegang tongkat yang ada di pangkuannya.
“Tapi kita bisa ubah pandangan itu, Yah! Bajapuik bukan mahar. Mahar tetap
dari pihak lelaki. Ini hanya syarat sosial. Tidak ada sangkut pautnya dengan muruah.
Kita lakukan, agar pernikahan bisa lanjut.” Datuk menggeleng, “Nak, kau tahu apa
makna muruah itu? Itu kehormatan. Jangan pernah karena kita abai perihal adat.
Kau anak Datuk Sulaiman. Hari ini mungkin kau bisa tutup telinga dari omongan
Nama : Qazla Adina Putri
Sekolah : SMAN 9 MANDAU
orang. Tapi kelak? Saat anak-anakmu besar? Mereka akan hidup dengan cerita
bahwa ibunya membeli suaminya.”
“Tapi bukankah adat bisa berubah, Yah? Bukankah adat itu buatan manusia?
Kita bisa berdamai, mencari titik tengah asal kita mau buka hati!” Rania berdiri,
menahan air mata. “Adat bisa berubah, iya. Tapi bukan karena paksaan cinta
seorang gadis pada lelaki. Perubahan adat datang dari musyawarah kampung, bukan
dari air mata di ruang tamu,” Datuk memalingkan wajahnya, ia tahu hatinya akan
goyah melihat Rania yang hendak menangis.
Rania menggigit bibirnya. Jiwanya berkecamuk antara tunduk dan melawan.
Ia menyadari bahwa ayahnya bukanlah orang jahat. Namun sekarang, mereka
terjebak dalam dua sisi berlawanan antara cinta dan harga diri, antara melangkah
maju dan akar yang tertancap dalam.
Sementara itu, di rumah kayu tua berukir di pinggir Danau Cimpago,
Pariaman. Haris berdiri menatap wajah ayahnya, yang sedang membersihkan
gagang keris warisan keluarga.
“Buya, aku tahu apa yang Buya lakukan demi kehormatan adat,” kata Haris,
mencoba tenang. “Tapi apakah kita tidak bisa beri ruang pada cinta? Bajapuik bukan
hukum mutlak. Ia bagian dari Adat Nan Diadatkan. Bisa berubah sesuai mufakat.
Tidak semua nagari melaksanakannya.” Buya berhenti sejenak, mengangkat keris
ke cahaya lampu gantung, “Justru karena banyaknya yang meremehkan Haris,
Bajapuik merupakan warisan budaya tidak benda yang harus dijaga di tengah
kemajuan zaman yang menggeser adat. Haris Baga Dirajo, dalam namamu ada
asalmu. Kau membawa darah orang kampung ini. Jika kau langgar satu garis adat,
mereka tidak hanya menolakmu, tapi juga meragukan siapa kau sebenarnya.”
“Apakah adat dan cinta tidak bisa berjalan beriringan? Apakah karena satu
syarat, semua niat baik harus dibatalkan?” Haris berusaha meyakinkan sang ayah.
“Bukan soal satu syarat,” jawab Buya tenang. “Ini tentang siapa yang mau
meletakkan egonya demi menjaga akar kita. Jika mereka enggan Bajapuik, maka
belum saatnya kalian bersatu. Kami tidak menolak perempuanmu, tapi kami
Nama : Qazla Adina Putri
Sekolah : SMAN 9 MANDAU
menjaga tradisi kita.” Haris terdiam. Kata-kata Buya menyentak hatinya. Keras, tapi
berakar.
Hari pertemuan terakhir, langit biru cerah seolah mengejek kami yang
hendak berpisah. Rania dan Haris berdiri di bawah pohon bungur di halaman masjid
tua, tempat mereka biasa merencanakan masa depan.
“Rania, kita telah dewasa dan seharusnya memahami. Ayahmu dan ayahku
adalah sosok terhormat dalam adat masing-masing. Mereka pasti berpikir jika salah
satu adat tidak dipatuhi oleh mereka, siapa lagi yang dapat dijadikan teladan bagi
masyarakat?” Haris memulai percakapan. “Aku mengerti, Haris. Tidak ada yang
bisa aku sampaikan selain ucapan terima kasih. Dari dirimu, aku belajar banyak
tentang kehidupan.” Rania melanjutkan pernyataannya dalam hati, dari segala
pengalaman hidup yang ada, mengapa Haris menjadi salah satunya.
“Bersukacitalah, Rania. Bukan kita yang egois, bukan adat yang kejam. Tulisan
dalam buku hidupku bukan denganmu, dalam bukumu juga bukan denganku.”
Tidak ada pelukan hangat, hanya senyum yang seolah tidak pernah ada air mata,
sementara mereka masih terjebak dalam rasa yang belum sepenuhnya reda.
Haris dan Rania mengerti semua ini bagian dari cara Tuhan untuk membawa
mereka jauh mengenal adat dan budaya mereka. Bagi mereka yang asing akan
budayanya, ingatlah ragam warisan budaya yang kaya di negeri ini bukan sekedar
hiasan masa lalu. Cinta bisa tumbuh di mana saja tapi tanpa pemahaman budaya
sendiri kita mudah silau akan dunia. Budaya bukan beban, budayalah yang
menuntun langkah agar tidak patah arah di persimpangan zaman.
0 Komentar