Rara Tri Anggraeni
MAN 1 Pekanbaru
Suluk di Ujung Pena
Angin berembus pelan dari arah Sunagi Siak, membawa serta aroma
lumpur, daun kering, dan kenangan yang mengendap di antara riak air. Tampak dari
kejauhan di beranda rumah panggung yang sudah lapuk habis dimakan usia, duduk
seorang remaja perempuan memeluk sabuah peti tua berbalut kain songket warna
emas. Songket itu telah usang termakan usia dipenuhi debu, tapi tidak memudarkan
warna emas nya yang menunjukkan betapa istimewanya dia.
Padmalisha Nuchifera. Aku adalah cucu dari seorang pujangga Melayu yang
masyhur di negeri itu pada zamannya, Tok Awang orang sering sebutnya. Sepanjang
hidup Tok Awang habiskan untuk menjelajahi tanah Nusantara, menulis syair,
pantun, dan suluk tentang kehidupan, ragam budaya di tanah yang disinggahi, dan
Tuhan. Peti kayu tua yang sekarang aku peluk adalah peninggalan Tok Awang yang
aku temukan di loteng rumah peninggalan keluarga. Sudah bertahun-tahun aku
tidak pulang semenjak Atok meninggal dunia tapi sampai sekarang aku masih ingat
kata-kata yang pernah beliau ucapkan, sesuatu yang bukan hanya tentang pantun.
Dulu, Ketika Tok Awang masih hidup ia selalu berkata, “Pantun bukan sekadar
bersajak, Nak. Ia adalah jantung Melayu. Bila tak lagi berpantun, nadi kita ikut
diam”.
Peti itu perlahan terbuka, didalamnya tersimpan 5 buku bertulis tangan,
dengan aksara Jawi dan kertas yang mulai menguning. Tanah Melayu, Tanah Jawa,
Tanah Borneo, Tanah Celebes, dan Tanah Irian Jaya. Aku rasa setiap buku
mewakili satu pulau besar di Nusantara ini. Tanah Melayu, buku ini sangat menarik
perhatian aku sebagai anak Melayu. Aku mengambilnya dan perlahan membuka
lembaran pertama, disana tertulis satu kalimat:
“Suluk Hati Anak Sungai: Warisan Jiwa Melayu.”
Buku itu penuh dengan pantun, syair, gurindam hingga kisah rakyat Melayu.
Mulai dari cerita tentang Putri Mayang Mengurai hingga tentang Datuk Laksamana
Rara Tri Anggraeni
MAN 1 Pekanbaru
Siak yang setia menjaga kehormatan negeri, dan juga suluk. Aku tertegun sebab aku
tidak sepenuhnya paham isinya, tapi hati ini bergetar membaca baris demi baris
yang lirih dan mendalam. Setiap kata seakan memanggil ingatan aku pada suara
Atok yang dahulu sering berdendang sambil menatap matahari terbenam di balik
Sungai Siak. Kini, suara itu tinggal gema, dan buku inilah satu-satunya warisan
yang tersisa–lebih dari sekadar tulisan, tapi napas budaya.
Hampir setiap sore aku duduk di pojok warung kopi pinggir sungai,
menghadap arus air yang tenang, sambil menekan-nekan tuts laptop dan aku tulis
dalam catatan pribadi. Aku bertekad untuk kembali menghidupkan apa yang telah
tertulis di buku itu. Apa yang ada didalam buku ini bukan sekadar sastra—mereka
ruh yang berbisik dari masa lalu. Dalam satu syair, aku membaca:
“Jangan hilang ditelan zaman, Karena akar tetap pulang ke tanah.”
Aku merasa seolah Atok sedang menasehati. Namun, semangatku goyah
ketika teman-teman lamaku menertawakanku dari arah pinggiran sungai.
“Sudah 2025, Padma. Kau masih sibuk dengan puisi kuno? Mending bikin
konten viral,” ejek salah satu dari mereka.
Namun, hatiku tetap bergelora. Aku tidak mau menyerah begitu saja.
“Makanlah ini, Padma. Baru dari penggorengan, masih hangat.” Dari dalam
warung datang Mak Lang, seorang guru di kampung ini, beliau kemudian duduk
tepat di sampingku.
“Ini kisah Datuk Laksamana Siak, ya?” tanyanya sambil tersenyum. “Kamu
tahu Padma, kisah ini dulu dipentaskan dalam bentuk dendang dan syair. Sekarang
orang lebih kenal drama modern.”
“Itulah, Mak Lang... Padma takut semua ini akan hilang. Buku ini dan
buku-buka lainnya adalah peninggalan Atok.”
“Kalau kamu takut hilang, maka buat agar jejaknya abadi.”
Rara Tri Anggraeni
MAN 1 Pekanbaru
Aku termenung sejenak, memikirkan ucapan Mak Lang. Ada benarnya yang
diucapkan Mak Lang dan sepertinya aku tahu harus memulainya darimana. Aku
memutuskan untuk memulainya dari membuat ini menarik perhatian semua orang
terutama generasi muda dengan menjadikannya sebuah konten tulisan. Setiap sore,
di tepi Sungai Siak aku duduk untuk menulis ulang sajak dan cerita yang ada dan
menjadikannya konten di media sosial, aku menyebutnya: #SulukSenja.
Beberapa minggu telah terlewati, aku rutin mengunggahnya dalam berbagai
bentuk konten. Aku beri nama kontennya: #SulukSenja, #PantunHarian, dan
#Ceritasungai. Selain aku menuliskannya, tidak jarang aku juga mengisahkan
ulang kisah-kisah itu dalam gaya bahasa kekinian. Orang-orang bukan hanya
mengenalku sebagai cucu Tok Awang, tapi juga sebagai si penulis. Banyak
komentar positif di media sosial, mereka tertarik dan semangat untuk membacanya.
Puncaknya, aku mengikuti Festival Budaya Melayu dan mengirimkan satu
karya tulis yang aku ambil idenya dari buku Tanah Melayu dengan judul “Syair
Perahu yang Hilang Arah”. Di malam pembacaan karya, suasana berubah hening.
Ceritanya begitu menyayat, tetapi lembut, penuh kearifan lokal. Saat aku membaca:
“Jika dirimu lupa asal, seperti perahu tak berlayar—hanyut tanpa arah,
karam tanpa tujuan.”
Beberapa penonton tertunduk, sebagian mulai meneteskan air mata.
Seorang juri berkata, “tulisanmu membuat kami melihat budaya Melayu tidak
sedang punah, ia bernapas lewat kamu”.
Beberapa hari setelah festival, seorang kolektor asing datang ke rumahku.
“Kami bisa bayar mahal atau kamu bisa menentukan harganya. Ini akan kami rawat
dengan baik di museum pribadi kami. Kamu juga akan dapat royalti, bahkan kami
bisa kuliahkan kamu sampai luar negeri.”
Aku terdiam memandangi peti tua yang sedang aku genggam erat. Uang?
Siapa yang tidak tergiur? Ibuku masih menjahit siang malam, rumah kami perlu
diperbaiki, dan buku-buku ini bisa menjadi tiket hidup baru. Tapi malamnya, aku
membuka kembali buku Tanah Melayu. Tanganku menyusuri tulisan tangan Atok
Rara Tri Anggraeni
MAN 1 Pekanbaru
yang sudah mulai pudar. Aku membaca satu baris yang membuatku menelan ludah,
“Jual emas, tak hilang bangsa: Jual akar, hilang jiwa.”
Esok paginya, kutemui kolektor itu dan menolaknya dengan sopan. “Maaf
Tuan, buku-buku ini bukan milik saya saja. Tapi milik seluruh anak Melayu dan
anak tanah lain.”
Ia hanya tersenyum kecil. “Baiklah, tak apa. Tak banyak anak muda seperti
kamu. Teruskan, Padma.”
Beberapa bulan kemudian, aku memutuskan untuk menyerahkan buku-buku
itu ke perpustakaan setiap pulau sesuai dengan judul buku tersebut, tapi dengan
syarat: boleh diakses publik dan dijaga sebaik mungkin. Aku juga diberi ruang
khusus untuk bisa bekerjasama dengan universitas setempat untuk menerjemahkan
dan menyebarluaskan isi suluk melalui proyek penulisan dan digitalisasi isi buku.
Sore ini, seperti biasa, aku duduk di tepi Sungai Siak. Kamera sudah
menyala. Angin membelai rambutku, suara air mengalun perlahan. Aku membuka
halaman terakhir buku Tanah Melayu peninggalan Atok. Ada satu suluk yang belum
aku tulis, isinya:
“Biar kata zaman berlari, Pena tetap bisa mengejar. Budaya bukan untuk
disimpan, Tapi untuk terus diajar.”
Aku membuka ponselku dan mengunggahnya di media sosial. Tidak perlu
menunggu lama, banyak like dan komentar yang masuk. Salah satu komentar itu
berasal dari seorang sastrawan terkenal. Dia berkata, “Dan suluk itu, kini bernafas
kembali, di ujung pena seorang anak Melayu yang menjaga jejak langkah
leluhurnya dengan cinta dan kata-kata.”
Aku tersenyum membacanya, layar ponselku perlahan menggelap. Tapi aku
tahu, dari balik layar itu, ada ribuan anak muda yang ikut menikmati. Aku berharap
buku-buku tanah lain juga akan kembali hidup seperti buku Tanah Melayu di tangan
anak tanahnya agar ragam warisan budaya ini tetap ada dalam goresan tinta anak
tanahnya sebagai identitas bangsa.
0 Komentar